JAKARTA - Recep Tayyip Erdogan adalah sosok pemimpin populer di Turki. Ajiannya memadukan nasionalisme dan konservatisme ada di baliknya. Narasi itu membuatnya memimpin Turki sedari 2003. Ia pernah jadi Perdana Menteri (PM) hingga Presiden Turki.
Reputasinya gemilang. Ia tak pernah kalah dalam pemilu. Namun, pamornya meredup pada Pilpres 2023. Banyak survei ‘meramalnya’ kalah. Erdogan bak kebakaran jenggot. Ia diduga lawan politiknya memainkan siasat curang supaya menang kontestasi politik.
Sosok Erdogan bukan orang baru dalam dunia politik Turki. Ia pernah dielu-elukan sebagai juru selamat yang membawa turki dari ancaman kemerosotan moral dan ekonomi. Ajian itu diperlihatkan Erdogan sejak ia terpilih sebagai Wali Kota Istanbul pada 1994.
Ia mampu membawa Istanbul berkembang pesat. Namun, sisi lainnya ia pernah dianggap ancaman bagi sekulerisme yang dianut Turki. Erdogan yang notabene seorang Muslim ingin menegakan moral, salah satunya dengan melarang alkohol.
Ia juga secara terang-terangan mulai mengganggu paham sekuler yang dianut Turki. Pemerintah Turki berang. Erdogan pun dianggap menghasut kebencian agama. Ia pun harus menerima konsekuensi di penjara selama empat bulan pada 1999. Simpati rakyat Turki kepada Erdogan meninggi.
Nyatanya, penjara tak membuat Erdogan menjauhi politik. Ambisi politiknya kian meningkat. Erdogan mendirikan kendaraan politiknya sendiri, Partai Keadilan dan pembangunan (AKP). Hasilnya gemilang. Popularitas Erdogan sebagai 'pembela Muslim' mampu membawa AKP unggul dalam pemilihan Parlemen pada 2002.
Ia pun mampu menjadi PM Turki tiga periode, dari 2003-2014. Prestasi itu justru tak membuat Erdogan puas. Ia ingin mengabdikan diri memimpin Turki kembali. Namun, kini bukan sebagai PM, tetapi Presiden Turki.
Ia mampu mengalahkan segala macam pesaingnya dalam kontestasi politik Pilpres dua periode. Kemenangan itu membuktikan bahwa eksistensi Erdogan tak mampu dibendung. Apalagi, Erdogan kerap menunjukkan kepeduliannya terhadap isu-isu terkait kaum Muslim di Turki, kemudian dunia.
“Kemenangan itu menunjukkan, hegemoni Erdogan atau bisa disebut fenomena Erdoganisme di Turki, yang kukuh sejak 2002 atau lebih dari dua dekade, tidak tergoyahkan. Dalam sejarah modern Turki lahir dua isme, yaitu Kemalisme yang merujuk pada Mustafa Kemal Ataturk, sang pendiri Turki modern tahun 1923, dan Erdoganisme yang merujuk pada Erdogan.”
“Era Kemalisme berlangsung dua periode. Periode pertama, era Mustafa Kemal Ataturk, mulai tahun berdirinya Turki modern (1923) hingga wafatnya pada 1938. Periode kedua, era pengikut Kemal Ataturk, dari setelah wafatnya Kemal Ataturk tahun 1938 hingga naiknya Erdogan sebagai perdana menteri (PM) tahun 2002. Periode Kemalisme dari 1938 hingga 2002 diselingi periode PM Adnan Menderes (1950-1960) dan PM Necmettin Erbakan (1996-1997) yang dianggap antitesis Kemalisme,” terang Musthafa Abd Rahman dalam tulisannya di Harian Kompas berjudul Mengapa Erdogan Selalu Memenangi Pemilu Turki? (2023).
Diduga Curang
Ambisi Erdogan terus berkuasa tak pernah meredup. Ia bahkan ingin memimpin Turki sebagai presiden untuk periode ketiga. Namun, urusan mengikuti Pilpres 2023 tak mudah. Kepemimpinan Erdogan sedang diuji dengan banyak cobaan, dari merosotnya ekonomi hingga penanganan gempa bumi besar yang amburadul.
Survei-survei yang ‘meramal’ Erdogan akan kalah bermunculan. Narasi itu kian menguat kala pemimpin Partai Rakyat Republik (CHP), Kemal Kilicdaroglu muncul sebagai penantang. Ragam partai oposisi lainnya mulai menyatukan kekuatan mendukung Kilicdaroglu.
Kilicdaroglu dianggap mampu keluar sebagai pemenang karena membawa panji partai sekuler berhaluan tengah-kiri yang dibangun pendiri Turki, Mustafa Kemal Ataturk. Kondisi itu membuat Erdogan bak kebakaran jenggot.
Erdogan diduga berlaku curang dengan memanfaatkan jabatannya sebagai orang nomor satu Turki. Ia segera melecut pemerintahannya mengeluarkan serangkaian kebijakan populer. Erdogan menggelorakan penaikkan upah minimum.
Langkah itu dilakukan pula dengan meningkatkan intensif tenaga kesehatan. Pun kebijakan yang mentereng adalah pemberian insentif kepada mereka yang jadi korban gempa. Siasat itu membuat persaingan Pilpres 2023 terasa tak adil.
Oposisi jadi ketar-ketir. Sebab, Erdogan kian diperkuat dengan kendali besar pemerintahannya terhadap lembaga peradilan, pengusaha, hingga media. Nestapa untuk oposisi tak berhenti. Ragam lawan politik Erdogan yang mendukung lawan politiknya segera diamankan.
Erdogan pun dalam kampanyenya tak segan-segan melontarkan pernyataan merendahkan lawan politiknya. Ia menyebut Kilicdaroglu tak kompeten jadi pemimpin. Kilicdaroglu juga dianggap telah bersikap lunak terhadap militan kurdi, yang notabene dianggap teroris oleh pemerintahan Erdogan.
Narasi yang dibangun Erdogan bukan cuma lewat orasi belaka. Erdogan sampai ikut menyebarkan video terkait milisi Kurdi yang mendukung Kilicdaroglu dalam Pilpres 2023. Padahal, Erdogan justru menyebar video hoax. Video yang sebar justru diambil dua kejadian berbeda untuk menyerang lawan politiknya.
Serangkaian aksi yang diduga curang pun menguntungkan Erdogan. Hari pemungutan suara pun dilangsungkan pada 12 Mei 2023. Hasil pilpres putaran utama menunjukkan 49,5 persen suara diraup Erdogan dan 44,9 persen suara diraup Kilicdaroglu. Keduanya mampu mengalahkan dua calon lainnya, Muharrem Ince dan Sinan Ogan.
BACA JUGA:
Hasil itu membuat Pilpres digelar untuk putaran kedua karena tiada meraup suara di atas 50 persen pada 29 Mei 2023. Putaran kedua pun juga dimenangkan Erdogan. Erdogan telah memenangkan 52,3 persen, sementara lawannya Kilicdaroglu meraih 47,7 persen.
“Erdogan berulang kali melontarkan argumen ini kepada para pemilih, berdasarkan pada oposisi yang mendapat dukungan dari partai utama Turki yang pro-Kurdi. Pemerintah sering menuduh partai tersebut berkolaborasi dengan militan dari minoritas Kurdi di Turki yang telah berperang dengan negara Turki selama beberapa dekade untuk mencari otonomi.”
“Erdogan bahkan sampai menyiarkan video-video yang telah direkayasa. Video itu sengaja dihadirkan untuk menunjukkan Kilicdaoglu dan pemimpin militant Kurdi bernyanyi bersama lagu kampanye. Banyak pemilih yang mempercayainya, dan mengatakan dalam wawancara bahwa mereka tidak mempercayai oposisi untuk menjaga keamanan negara,” terang Ben Hubbard dalam tulisannya di laman The New York Times berjudul Five Takeaways From Turkey’s Presidential Election (2023).