JAKARTA – Memori hari ini, 22 tahun yang lalu, 5 Juni 2001, Presiden Abdurrahman Wahib (Gus Dur) menandatangani surat ke DPR untuk pembentukan UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Upaya itu dilakukan Gus Dur supaya banyak pejabat korup dapat dihukum setimpal karena merugikan negara.
Sebelumnya, korupsi bukan barang baru di Indonesia. Sekelompok pejabat telah melanggengkannya sejak era Orde Lama. Pun memasuki era Orde Baru (Orba) korupsi mulai menggila. Beberapa di antaranya dilakukan secara terang-terangan.
Narasi korupsi telah menemani tumbuh kembang Indonesia sebagai negara baru. Gegap gempita revolusi nyatanya tak mampu membuat pejabat Orde Lama melulu memikirkan nasib rakyat.
Banyak di antaranya justru melanggengkan korupsi. Mereka bertujuan memperkaya diri sendiri sekalipun korupsi yang dilanggengkan di bawah meja. Apalagi, kala Indonesia diterpa resesi ekonomi. Banyak pejabat negara justru tak peka dengan kehidupan rakyat, mereka hanya peduli dengan gaya hidup mewah dan korup.
Kondisi itu terus berlangsung hingga kuasa Orde Lama berganti ke Orba. Korupsi justru berlaku semakin masif. Banyak di antara pejabat negara mulai terang-terangnya korupsi. Alias korupsi di atas meja. Korupsi itu kian langgeng karena dilakukan secara sistematis. Mulai dari atasan hingga bawahan.
Pemerintah Orba pun tak kuasa melawan korupsi. Empunya kuasa bak melakukan pembiaran. Sebab, ikut terlibat. Fakta itu membuat perlawanan terhadap korupsi jauh dari kata efektif. Sekalipun ada pejabat yang berani mengusut, maka pejabat itu akan segara diasingkan, alias didubeskan.
“Berbagai kasus korupsi dikamuflase dengan metode Ges: tukar barang, tukar otoritas, administrasi ganda, retorika birokrasi, tanpa ketahuan. Dan ternyata orde sesudah reformasi tidak kalah Orba dibanding Orde Lama. Pencurian kayu hutan di sebuah kabupaten di JawaTengah meningkat 300 persen sesudah Orba. Orba adalah periode monopoli pencurian.”
“Reformasi adalah desentralisasi korupsi. Di zaman Orba iblisnya jelas, sesudahnya iblis setan berpakaian malaikat. Perusahaan-perusahaan besar di zaman Orba kalau harus kasih upeti, nomor rekeningnya jelas untuk dikirim tiap bulan,” terang Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) dalam buku Jejak Tinju Pak Kiai (2008).
Kondisi korupsi yang merajalela itu membuat para tokoh bangsa prihatin. Mari’e Muhammad, salah satunya. Mantan Menteri Keuangan era 1993-1998 yang dikenal bersih itu kemudian meminta pemerintah untuk membentuk sebuah lembaga khusus yang mampu membuat pejabat berperilaku lurus.
Pucuk dicinta ulam tiba. Keinginan segenap tokoh bangsa disambut dengan kesungguhan pada era pemerintahan Presiden Gus Dur. Ia mendukung sekali berdirinya KPK. Utamanya, karena KPK di negara lain telah berhasil mencegah terjadinya korupsi. Indonesia pun kepincut untuk melakukan hal yang sama.
BACA JUGA:
Gus Dur lalu berupaya menulis dan menandatangani sebuah surat ke DPR pada detik-detik terakhir pemerintahannya. Surat yang bernomor R-13/PU/VI/2001 itu berisi narasi pengantar pembentukan UU KPK bertanggal 5 Juni 2001. Ajian Gus Dur pun berhasil. Keinginan membentuk KPK dilanjutkan penggantinya, Megawati Soekarnoputri.
“Bahkan mungkin ada yg belum tahu, siapa yg menandatangani surat ke DPR-RI untuk pembentukan UU KPK saat itu. Surat Presiden tertanggal 5 Juni 2001 yg ditandatangani oleh: Abdurrahman Wahid. Itu dulu saja ya. saya ceritakan ini karena menyimak timeline Twitter akhir-akhir ini dan tersentuh sekali membaca kisah Alm. Gus Dur. Sesungguhnya beliau meletakkan satu dasar penting di negeri ini: KPK,” terang Jubir KPK era 2016-2020, Febri Diansyah dalam akun Twitternya @febridiansyah, 6 Januari 2020.