Bagikan:

JAKARTA – Presiden Soeharto dikenal sebagai sosok serius dan jarang bercanda. Tindak-tanduknya itu membuat khalayak umum segan dengan Soeharto. Ia akan bicara bila mana ada hal penting atau sesuatu yang mendesak saja. Beda hal jika melihat Soeharto dari kacamata keluarga dan tetangganya.

Soeharto adalah sosok yang hangat dan dekat dengan anak. Semua itu dibuktikan dengan kiprah Soeharto yang tak menolak kepercayaan tetangganya memegang jabatan ‘penting’ Ketua Rukun Tetangga (RT).

Sosok Soeharto banyak dikenal orang sebagai sosok pendiam dan serius. Tak banyak orang –utamanya pejabat—yang dapat akrab langsung dengan Soeharto. Kondisi itu telah dihadirkan Soeharto sejak masa Revolusi.

Ia dikenal sebagai pejuang yang tegas dan serius. Ia bukan figur yang banyak bicara seperti kebanyakan orang. Ia bicara seperlunya. Namun, pandangan berbeda justru diungkap keluarga dan lingkungan terdekatnya.

Mereka menganggap Soeharto adalah sosok yang hangat dan penuh kasih sayang. Apalagi kala Soeharto menikah dan punya enam orang anak. Tiga laki-laki dan tiga wanita. Kondisi itu membuat Soeharto jadi sosok yang hangat.

Soeharto yang pernah menjabat sebagai Presiden Indonesia selama 32 tahun (1967-1998). (Wikimedia Commons)

Ia tak mau banyak kehilangan momentum membesarkan anaknya. Sebab, ia memiliki cita-cita untuk membesarkan anak-anaknya dengan baik. Ia siap sedia hadir dalam setiap momen penting anak-anaknya. Dari kelulusan hingga menikah.

Anak-anaknya kemudian diarahkan untuk tumbuh dengan menjaga budi pekerti. Pun Soeharto mengajarkan anak-anaknya untuk dekat kepada siapa saja. Anak-anaknya diminta tak membeda-bedakan seseorang.

“Untuk mendidik mereka sedemikian rupa sehingga mereka juga menjadi orang-orang yang takwa, yang beriman kepada Tuhan. Pengertian saya, takwa, iman kepada Tuhan adalah selalu berbuat baik. Baik untuk dirinya sendiri, untuk keluarga, maupun sesama.”

“Saya membekali keluarga saya dengan budi pekerti. Lantas dengan kepandaian. Saya lebih mementingkan hal itu daripada membekali mereka dengan harta benda. Tidak ada di antara anak –anak saya yang saya uja, yang saya manjakan. Tidak ada! Dan alhamdulillah, sampai sekarang tidak ada yang neko-neko dan sebagainya. Apalagi terpengaruh oleh kejahatan atau oleh narkotika,“ terang Soeharto sebagaimana ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989).

Jabat Ketua RT

Sosok Presiden Soeharto yang hangat tak hanya melulu dirasakan keluarganya. Soeharto juga dikenal hangat oleh tetangganya kala masih tinggal di Jalan H. Agus Salim, Menteng, Jakarta Pusat. Kedekatan itulah yang membuat segenap warga memilih Soeharto yang kala itu sudah jadi petinggi militer sebagai Ketua RT.

Soeharto menerima jabatan itu dengan amanah. Ia kerap mengajak warganya untuk menjaga kebersihan. Ragam kerja bakti pun dilanggengkannya setiap hari Minggu. Kerja bakti itu untuk bersih-bersih got hingga taman.

Agenda rutin itulah yang menambah kedekatan Soeharto dan warga. Karenanya, agenda rutin bersih-bersih itu membuat tetangga lainnya saling kenal dan akrab satu sama lain. Pun anak-anak Soeharto ikut kecipratan manfaaat.

Anak-anaknya, utamanya Siti Hediati Hariyadi mengemukakan ia sampai kenal akrab dengan tetangga-tetangganya karena kerja bakti. Sebab, tiap kerja bakti digelar wanita yang akrab disapa Titiek Soeharto ikut berpartisipasi bersama adik dan kakaknya.

Presiden Soeharto sedang bersantai dalam sebuah kunjungan kerja. (Pak Harto: The Untold Stories)

Setelahnya, Soeharto akan mengajak anak-anaknya jalan dan makan di suatu tempat. Kegiatan itu rutin dilanggengkan setiap hari Minggu. Namun, kegiatan rutin tersebut tak lagi digelar kala Soeharto menjadi Presiden Indonesia dan keluarga mereka pindah ke Jalan Cendana. Sebagian besar waktu Soeharto mulai dibaktikan untuk bangsa dan negara.

“Di masa kecil saya, sebelum Bapak menjadi presiden, kami tinggal di jalan H. Agus Salim, Jakarta Pusat. Rumah kami persis di depan bundaran. Sebagai Ketua RT setiap hari Minggu, Bapak mengajak kami sekeluarga ikut kerja bakti besama-sama warga membersihkan lingkungan, baik itu got, taman, maupun perkarangan rumah sehingga kami dan tetangga saling mengenal dengan baik.”

“Biasanya usai kerja bakti, Bapak membawa kami sekeluarga jalan-jalan ke daerah Kota untuk makan Bakmi Pinangsia, bakmi Gang Kelinci, atau bubur ikan. Begitulah cara Bapak meluangkan waktu untuk menghibur kami keluarganya. Dan itu saya rasakan sebagai kemewahan dan kebahagiaan yang saya kenang sampai sekarang,” terang Titiek Soeharto dalam buku Pak Harto: The Untold Stories (2011).