JAKARTA - Soekarno dan Soeharto adalah pribadi yang berbeda. Arah perpolitikan keduanya berbanding terbalik. Begitu pula corak kepemimpinannya. Namun, keduanya memiliki sisi kesamaan. Keduanya sama-sama melek urusan seni. Baik Soekarno ataupun Soeharto paham benar jika karya seni dapat jadi medium membakar semangat rakyat. Soekarno membangun Patung Pahlawan. Sedang Soeharto tak mau kalah. Ia membangun Patung Arjuna Wijaya. Patung itu kesohor dan langgeng dikenal sebagai Patung Kuda.
Tiada yang menyangsikan darah seni milik Bung Karno. kecintaannya akan seni tak henti-hentinya diungkapkan dalam ragam kesempatan. Ia senang menyebut dirinya sebagai seorang yang maha pecinta. Ia mencintai negerinya, rakyatnya, wanita, dan yang paling utama seni.
Kecintaan akan seni itulah yang paling besar. Bahkan lebih besar daripada kecintaan akan dirinya sendiri. Dominasi darah seniman itulah yang membuatnya selalu tertantang untuk menyingkap makna tersirat dari tiap karya seni yang ada di dunia.
Kecintaan akan seni juga diperlihatkan Soekarno kala menjadi Presiden Pertama RI. Jakarta laksana kanvas baginya. Ia dengan bebas melukiskan Jakarta sesuai keinginannya. Jakarta sebagai mercusuar perjuangan bangsa, katanya. Artinya Jakarta dianggap wajah utama Indonesia.
Kota yang menjadi latar belakang banyak peristiwa penting –dari kebangkitan nasional hingga proklamasi kemerdekaan. Baginya, cara paling masuk akal untuk melegitimasi kebesaran Jakarta adalah dengan menghadirkan ragam karya seni bernilai tinggi di tiap sudut Jakarta. Dan Soekarno jadi arsiteknya.
“Orang mengatakan bahwa Presiden Republik Indonesia terlalu banyak memiliki darah seorang seniman. Akan tetapi aku bersyukur kepada Yang Maha Pencipta, karena aku dilahirkan dengan perasaan halus dan darah seni. Kalau tidak demikian, bagaimana aku bisa menjadi Pemimpin Besar Revolusi, sebagairnana 105 juta rakyat menyebutku? Kalau tidak demikian, bagaimana aku bisa memimpin bangsaku untuk merebut kembali kemerdekaan dan hak‐asasinya, setelah tiga setengah abad dibawah penjajahan Belanda?”
“Kalau tidak demikian bagaimana aku bisa mengobarkan suatu revolusi di tahun 1945 dan menciptakan suatu Negara Indonesia yang bersatu, yang terdiri dari pulau Jawa, Bali, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan bagian lain dari Hindia Belanda? Irama suatu‐revolusi adalah menjebol dan membangun. Pernbangunan menghendaki jiwa seorang arsitek. Dan di dalam jiwa arsitek terdapatlah unsur‐unsur perasaan dan jiwa seni,” ungkap Soekarno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
Dalam berkarya, Soekarno mendapatkan ilham dari mana saja. Termasuk kala melangsungkan kunjungan ke Uni Soviet pada 1960. Kala itu, Soekarno langsung kepincut dengan karya pematung kesohor Uni Soviet, Matvei Manizer.
Tanpa berlama-lama, secara khusus Soekarno meminta Adam Malik --yang kala itu menjabat sebagai Dubes Di Moskow—mencari Manizer. Pesan Soekarno jelas. Ia menitipkan pesan kepada Manizer untuk membantunya membuat patung perjuangan pembebasan Irian Barat.
Gambar dan bentuk patung merupakan inisiasi Bung Karno sendiri. Bung Karno memiliki ide saat itu untuk membuat patung seorang ibu yang rela dan bergembira melepaskan pejuang untuk merebut Irian Barat. Dalam adegan perpisahan itulah sang ibu memberi sebungkus nasi kepada pemuda pejuang yang akan berangkat ke medan juang. Namun, seluruh gambaran itu masih berbentuk coretan kasar.
Manizer langsung mengajak anaknya, Otto ke Indonesia untuk merealisasikan patung sesuai pesanan Bung Karno. Manizer lalu melakukan riset ke berbagai wilayah Indonesia. Setelahnya, Manizer kepincut dengan cerita rakyat Jawa Barat tentang seorang ibu yang mengantarkan anaknya pergi berjuang di medan perang. Karenanya, Manizer makin yakin mewujudkan Patung yang kemudian dikenang sebagai Patung Pahlawan di Tugu tani.
“Manizer dan Otto terinspirasi cerita rakyat dari Jawa Barat, yaitu kisah mengenai seorang ibu yang mengantar anaknya pergi berjuang dan memberikan bekal berupa nasi pada anak laki-lakinya. Mereka lalu membuat patung pahlawan dalam bentuk Pak Tani dari bahan perunggu,” ungkap Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-1970 (2018).
Soeharto bangun Patung “Kuda” Arjuna Wijaya
Bedanya corak kepemimpinan antara Soekarno dan Soeharto terlihat jelas. Pola kepemimpinan antar kedua cenderung bertolak belakang. Tapi di satu sisi keduanya sama-sama menyukai seni. Pun Soeharto secara lihai membungkus tiap karya seni yang hadir pada masa Orba untuk menegakkan citra harumnya sebagai pemimpin besar.
Seperti Bung Karno, seni juga digunakan Soeharto sebagai medium untuk membakar semangat rakyat Indonesia. Kehadiran Patung Arjuna Wijaya, misalnya. Patung Arjuna Wijaya awalnya diilhami oleh lawatan Soeharto ke Turki. Dalam tugas kenegaraan itu, Soeharto berkunjung ke banyak tempat. Di tengah-tengah perjalanan, Soeharto lalu kepincut dengan banyaknya keindahan monumen di sepanjang jalan.
Tiap monumen yang dijumpai oleh Soeharto selalu mengandung cerita filsafat yang menginspirasi. Soeharto pun menyadari jika di Indonesia monument serupa tak banyak. Ia lalu berinisiasi untuk membuat patung yang mengandung epos-epos kepahlawanan lokal. Kisah pewayangan, misalnya. Alhasil, Soeharto berniat mengadaptasi epos-epos pewayangan Jawa. ia menyampaikan niatan itu langsung kepada pematung kesohor asal Bali, Nyoman Nuarta.
"Pak Harto waktu itu bilang jalan-jalan protokol kita belum punya monumen yang ada cerita filsafatnya. Dia kemudian nyuruh cari dong cerita yang memuat fillsafat Indonesia. Akhirnya kita bikinlah dari kisah Perang Baratayuda," kata Nyoman Nuarta sebagaimana ditulis Kompas.com.
Kisah Bharatayudha adalah salah stau fragmen dalam Mahabharata. Yang mana, Sri Kreshna berdialog mengantarkan Arjuna yang ragu-ragu untuk pergi ke medan perang. Karenanya, terciptalah sebuah patung yang menggambarkan orang tua yang mengendarai sebuah kereta dan seorang anak muda yang memegang busur dan anak panah. Tambah menarik lagi, kereta tersebut ditarik dengan delapan ekor kuda.
Pembuatan patung Arjuna Wijaya itu digarap serius oleh Soeharto. Di dalam pembuatannya saja, Soeharto melibat 40 orang seniman, dengan Nyoman Nuarta sebagai pemegang komando. Pengerjaannya dilakukan di Bandung Jawa Barat. Dana yang dikeluarkannya pun cukup besar untuk ukuran tahun 1987. Total biasa yang dihabiskan berkisar antara Rp290 juta – Rp300 juta.
Soeharto pun puas dengan hasilnya. Ia sendiri tak mau ketinggalan dalam meresmikan Patung Arjuna Wijaya pada 16 Agustus 1987 di Jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat. Patung itu memiliki panjangnya mencapai 23 meter, tinggi sekitar 5 meter, dan beratnya 3.600 pon itu. Kehadiran Arjuna Wijaya diharapkan Soeharto dapat membakar semangat generasi muda untuk membela tanah air. Golongan tua maupun muda harus saling dukung. Selebihnya, karya itu jadi pembuktian Soeharto memiliki darah seni tinggi dan mampu disandingkan, bahkan, menandingi Bung Karno.
“Demikianlah, pembangunan citra Soeharto yang demikian massif itu bukan hanya di bidang sosial, politik dan ekonomi, tetapi juga di bidang seni dan sastra. Karya-karya seni dan sastra harus tunduk pada kebijakan pemerintah. Karya seni dan sastra harus merupakan media yang terlibat dalam konstruksi-konstruksi citra baik dan positif tentang pemerintah Orba.”
“Demikian pula syair-syair lagu, iklan, materi khutbah, kegiatan-kegiatan kesenian dan pementasan drama atau ketoprak harus menyajikan kepentingan-kepentingan pemerintahan Soeharto. Semua kegiatan seni dan sastra harus menghindari masalah-masalah politik dan anti kritik. Inilah yang oleh Ariel Heryanto disebut sastra apolitis dan depolitis,” tutup ujar FX Baskara Tulus Wardana dalam buku Menguak Misteri Kekuasaan Soeharto (2007).
*Baca Informasi lain soal ORDE BARU atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.