Gus Dur Memilih Golput Kala Pilpres dalam Memori Hari Ini, 29 Mei 2004
Gus Dur menyalami Ketua Dewan Pembina PDIP, Taufik Kiemas dalam Muspimnas PKB pro Gus Dur di Hotel Accacia Jakarta, Kamis 11 Juni 2009. (Antara/Andika Wahyu)

Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 19 tahun yang lalu, 29 Mei 2004, mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) membuat gempar. Ia mengumumkan Partainya, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) mendukung pasangan Capres Wiranto- Salahuddin Wahid. Namun, Gus Dur sendiri memilih untuk golput dan berada di luar sistem dalam Pilpres 2004.

Sebelumnya, kehadiran Gus Dur mampu membawa warna baru bagi peta politik Indonesia. Ia tak saja dikenal jenaka, tetapi juga berani. Sekalipun keberaniannya kerap dianggap kontroversi dan membuat kegemparan.

Nyali Gus Dur dalam membela hajat hidup orang banyak tiada dua. Ia telah memulainya dari jauh hari. Bahkan, sebelum dirinya jadi orang nomor satu Indonesia. Gus Dur yang notabene tokoh Nahdlatul Ulama (NU) berani memilih untuk berseberangan dengan pemerintah Orde Baru (Orba).

Ia kerap menentang tindak-tanduk Orba yang merugikan orang banyak. Keberanian itu membuat nama Gus Dur mencuat sebagai calon pemimpin Indonesia di masa depan. Pucuk dicinta ulam tiba. Gus Mampu menjadi Presiden Indonesia. Namun, daya kritisnya tak pernah hilang.

Semasa jadi Presiden Indonesia Gus Dur kerap mengeluarkan kebijakan berani. Ia membebaskan etnis China untuk menyelenggarakan seluruh agenda keagamaannya tanpa gangguan. Utamanya perayaan Imlek. Ia ingin dikenang sebagai Presiden Indonesia yang berdiri di atas semua golongan.

Gus Dur dan Theys Hiyo Eluay, Ketua Dewan Presidium Papua. (nu.or.id)(

Gus Dur pula muncul sebagai pengusul supaya Tap MPRS No XXV/1966 soal pembubaran PKI dan pelarangan penyebaran ajaran Marxisme, Komunisme, dan Leninisme segera dicabut. Namun, orang-orang memandang langkah Gus Dur tak selalu positif. Banyak yang justru menganggap langkah Gus Dur kontroversial. Karenanya, eksistensi Gus Dur di panggung pemerintahan banyak digoyang.

“Sembilan bulan jalannya pemerintahan, Presiden Gus Dur justru tampil sebagai sosok yang penuh kontroversi, baik dari segi ucapan maupun dari segi tindakan dirasakan lebih banyak memunculkan rasa bingung di masyarakat.”

“Dari berbagai ucapan yang dilontarkan, misalnya, dalam sebuah kesempatan secara reaktif presiden menuduh tiga orang menterinya terlibat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Kesempatan lain, ia ingin mengampuni mantan Presiden Soeharto, membuka hubungan dagang Israel, mencopot lima orang anggota kabinetnya, ingin menghapus ketetapan MPRS mengenai pelanggaran ajaran Marxisme, Leninisme, dan Komunisme, dan beberapa ucapan kontroversial lainnya,” tertulis dalam buku Perjalanan Politik Gus Dur (2010).

Langkah berani Gus Dur nyatanya tak lantas hilang kala ia tak lagi di pucuk pemerintahan. Ia berani memberikan kritik ke pemerintah. Apalagi, Gus Dur berani berbeda dengan pilihan partainya, PKB ketika persiapan Pilpres 2004 berlangsung.

Gus Dur menyampaikan pilihan partainya mantap kepada pasangan Wiranto-Salahuddin Wahid. Sedang, Gus Dur sendiri memilih untuk golput (tidak memilih) dalam Pilpres 2004. Keputusan golput yang menggemparkan sudah dipikirkan jauh-jauh hari. Namun, keputusan itu secara perdana muncul ke khalayak umum pada 29 Mei 2004.

Keputusan golput dianggap dianggap Gus Dur sebagai kritik terbuka kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Gus Dur merasa KPU kala itu telah mencederai demokrasi dengan mengahalanginya maju sebagai Capres. Alhasil, langkahnya untuk golput --boleh jadi-- senjatanya melawan ketidakadilan.

“Teriakan untuk bersikap golput dan berada di luar sistem jika Gus Dur benar-benar diganjal menyembul dari PKB, terutama dari Gus Dur sendiri. Namun, namanya juga demokrasi, ada yang mendukung dan ada yang menolak.”

“Beberapa usulan bermunculan: PKB mengajukan calon lain, PKB mendukung calon lain yang telah ada. Di PKB sendiri, terutama dari daerah-daerah dan para kiai yang selama ini menjadi tempat PKB bertanya, rasa simpati dan hormat kepada Gus Dur tidaklah meluntur sedikit pun,” terang Mahfud M.D. dalam buku Gus Dur: Islam, Politik, dan kebangsaan (2010).