Bagikan:

JAKARTA - Maskapai dagang Belanda, VOC tak pernah peduli urusan membangun kota Batavia (kini: Jakarta). Kompeni hanya peduli pada keuntungan monopoli perdagangan rempah semata. Segala macam urusan yang tak melibatkan keuntungan diabaikan.

Urusan menjaga kebersihan, misalnya. Petaka pun muncul. Sampah-sampah berseliweran dan jadi penyakit. Angka kematian pun meninggi. Kompeni baru kebakaran jenggot. Gebrakan mengatasi masalah sampah dilakukan, sekalipun berujung kegagalan.

Semuanya hanya sebatas bisnis. Itulah pesan yang kerap diperlihatkan oleh Kompeni dalam kuasa penjajahannya di Nusantara. Penaklukan demi penaklukan yang dilakukan murni untuk memonopoli perdagangan rempah.

Alasan itu yang membuat Kompeni tak memiliki semangat membangun pusat kuasanya di Batavia. Empunya kuasa hanya melihat Batavia bak lokasi stategis sebagai pusat pemerintahan VOC semata. Tak lebih.

Kuasa itu hanya membuat Batavia dan Ommelanden (kawasan di luar tembok Batavia) hanya diekploitasi secara masif. Mereka melanggengkan pembukaan lahan baru dengan merusak ekosistem hutan. Pohon-pohon di tebang tanpa perhitungan. Sebagai gantinya, mereka membangun pabrik dan membuka lahan perkebunan tebu yang dikelola orang China untuk menghasilkan keuntungan.

Masalah sampah di Jakarta yang tak pernah mampu diselesaikan, bahkan sejak masih bernama Batavia di masa Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

Kompeni pun tak melarang aktivitas pembukaan lahan. Mereka mendukung penuh hal itu. Apalagi, aktivitas itu memiliki keuntungan bejibun. Ekploitasi secara besar-besaran tak jadi soal. Mereka bahkan tutup mata ketika lahan yang ditanami bukan cuma milik Kompeni belaka.

Kerakusan itu sampai membuat bantaran sungai juga ikut dimanfaatkan untuk budi daya tebu. Aktivitas itu mendatangkan masalah. Sampah-sampah dari penanaman ilegal menumpuk. Kondisi yang ada makin diperparah oleh Kompeni yang tak memiliki sistem pengelolaan sampah. Alhasil, empunya pabrik atau lahan secara sembarangan membuang sampah-sampah itu ke sungai.

“Sumber utama air bersih di Batavia adalah Sungai Ciliwung. Seperti sebagian besar sungai di Asia Tenggara, Sungai Ciliwung relatif pendek, dengan total panjang kurang dari 120 kilometer. Sepanjang periode VOC, hampir seluruh penduduk kota mengambil air minum dari Sungai Ciliwung. Benda apa pun yang dibuang ke hulu Sungai Ciliwung.”

“Aktivitas itu dengan pasti akan mencemari saluran air kota di masa-masa awal Batavia, sebab aktivitas industri dan pertanian terpusat di sepanjang sungai tersebut. Hampir semua limbah yang dihasilkan dari aktivitas-aktivitas tersebut berakhir di sungai ini. Dapat dibayangkan bagaimana semua ini berdampak negatif terhadap kualitas air bersih yang disalurkan ke kota,” terang Bondan Kanumoyoso dalam buku Ommelanden: Perkembangan Masyarakat dan Ekonomi di Luar Tembok Kota Batavia (2023).

Kewalahan Urus Sampah

Aktiivitas eksploitasi berlebihan ala Kompeni membawa masalah baru. Sampah-sampah yang menumpuk dan mencemari sungai itu mendatangkan wabah penyakit. Malaria dan kolera jadi yang paling mengancam.

Saban hari kematian orang Belanda karena penyakit malaria dan kolera makin sering terdengar. Kondisi itu membuat banyak rumah sakit maupun petugas pemakaman ikut kewalahan. Semua terjadi karena keengganan Kompeni mengeluarkan pundi-pundi pendapatannya untuk mengurus sampah.

Semua warga Batavia kemudian harus menanggung nestapa. Dari pejabat tinggi hingga rendahan. Apalagi masih banyak orang Belanda yang melanggengkan ritual buang hajat di sungai. Sebuah aktivitas yang makin mencemari sungai.

Kompeni pun akhirnya terpaksa turun tangan. Sebab, bisnis mereka di Batavia bisa rusak karena keengganan mereka membersihkan sampah. Opsi pengerukan sungai pun kerap dilanggengkan. Bahkan, Belanda sampai mengeluarkan aturan khusus perihal buang sampah.

Kondisi sebuah kampung di Batavia pada masa Hindia Belanda. (Wikimedia Nusantara)

Barang siapa yang masih membuat sampah di sungai maka dikenakan hukuman membayar denda. Namun, pelaksanaannya jauh dari efektif. Kompeni dianggap tidak tegas. Orang-orang masih buang sampah sembarangan.

Kompeni akhirnya mengaku kewalahan mengurus sampah – jika tak boleh dikatakan tak becus. Alhasil, wabah kolera dan malaria makin menjadi-jadi. Opsi terakhir pun dilakukan. Namun, bukan dengan mengurus sampah. Kompeni justru memiliki keinginan untuk memindahkan pusat pemerintahan Oud Batavia (Batavia kala: Kawasan Kota Tua) ke lokasi lainnya. Siasat itu supaya Kompeni tak repot-repot urusi sampah dan baru terealisasi saat pemerintah kolonial Hindia Belanda mengambil alih kekuasaan.

“Ada banyak usaha dilakukan pemerintah kota untuk memperbaiki keadaan yang tidak sehat itu. mulai dari soal sampah, penggalian got, selokan, kanal, riool atau gorong-gorong yang penuh dengan lumpur, sampai pada usaha membebaskan daerah sepanjang pantai dari segala limbah dan tanaman merusak. Soal membuang sampah sebenarnya sudah diatur sejak tahun 1630.”

“Aturan itu melarang orang membuang kotoran manusia, sampah rumah tangga dan berbagai jenis sampai lainnya ke dalam kali dank anal yang mengalir di dalam kota. Aturan itu diundang lagi pada 28 Februari 1747, 4 Desember 1777, 1 April 1788, dan yang ketahuan akan kena denda sebesar enam riksdalders,” ujar Sejarawan, Mona Lohanda dalam buku Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia (2007).