Kwik Kian Gie Sebut Jalan Tol Kemewahan Khusus Orang Kaya
Ekonom Kwik Kian Gie yang juga kemudian dikenal sebagai Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri 1999-2000. (Antara)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Soeharto dan Orde Baru (Orba) membawa perkembangan pesat bagi Indonesia. Pembangunan dilanggengkan di mana-mana. Pembangunan jalan bebas hambatan (sering kali disebut jalan tol), misalnya. Kehadiran jalan tol dilakukan untuk memperlancar lalu lintas barang hingga manusia.

Segenap rakyat Indonesia mengagumi jalan tol. Namun, tak sedikit pula yang melemparkan kritik. Ekonom Kwik Kian Gie bahkan menyebut jalan tol adalah kemewahan khusus orang kaya saja. Padahal, jalan tol di Indonesia harusnya gratis.

Imej Bapak Pembangunan yang disematkan dalam nama Soeharto bukan pepesan kosong belaka. Pembangunan era Orba dilakukan cukup masif. Bahkan, dapat mengungguli pembangunan pada pemerintahan Orde Lama.

Orba jadi pionir dalam pembangunan jalan tol. Pembangunan itu dilanggengkan karena Soeharto sendiri yang menaruh minat lebih. Ia menganggap kehadiran jalan tol dapat memperlancar jasa distribusi lalu lintas barang ataupun manusia.

Kehadiran jalan tol juga dapat membuat keseimbangan antara daerah. Semuanya bermuara pada peningkatan aktivitas ekonomi. Karenanya, Soeharto mulai menargetkan pembangunan jalan tol di kota-kota yang notabene menunjukkan perkembangan aktivitas ekonomi tinggi.

Presiden Soeharto menandatangani prasasti peresmian Jalan Tol Jagorawi pada 8 Maret 1978. (Perpusnas)

Tonggak besar pembangunan jalan tol dilakukan Orba adalah pembangunan Jalan Tol Jagorawi (Jakarta, Bogor, dan Ciawi). Pembangunan itu jadi yang pertama sekaligus menjadi tonggak pembangunan nasional pada 1978.

Pembangunan jalan tol Jagorawi menjadi awalan dari pembangunan banyak jalan tol lain di Indonesia. Apalagi kala kemacetan mulai melanda kota-kota besar di Indonesia. Banyak waktu dan uang yang terbuang karena macet.

Jalan tol pun muncul sebagai alternatif yang pengelolaan dilakukan dengan swakelola. Soeharto pun bersiasat untuk menarik bayaran kepada siapa saja pengedara roda empat yang ingin masuk tol. Opsi itu dilakukan supaya pembangunan dan perberdayaan jalan tol lebih optimal. Alias, pemerintah Orba jadi bisa fokus membangun hal lainnya.

“Presiden Soeharto pernah mengemukakan ketika meresmikan jalan tol Surabaya-Gempol bulan Juli tahun 1986 pembangunan jalan-jalan tol harus bermutu tinggi. Karena itu biayanya sangat mahal. Jika semua jalan bebas hambatan dibiayai dengan anggaran negara, maka itu akan merupakan beban berat. Anggaran negara yang terbatas dapat digunakan untuk membangun hal-hal lain yang diperlukan masyarak luas.”

“Dan dalam hal pembangunan jalan-jalan di daerah yang belum berkembang. Dengan cara itu kita laksanakan azas keadilan dan pemerataan. Menghadapi dilema seperti itulah jalan keluarnya adalah menerapkan sistem tol pada jalan-jalan tertentu. Sehingga pembangunannya dan pemeliharaan jalan tersebut dibiayai oleh pemakainya sendiri,” terang Salman A.S. dalam tulisannya di Majalah Dharmasena berjudul Jalanan Bebas Hambatan sebagai Sarana Peningkatan Kamtibnas (1987).

Jalan Tol Untuk Orang Kaya

Alih-alih hanya membawa kekaguman, kehadiran jalan tol di Indonesia justru banjir kritik. Ekonom, Kwik Kian Gie, misalnya. Ia menilai langkah pembangunan jalan tol yang dibangun Orba justru tak memihak rakyat kecil.

Kwik menganggap pembangunan jalan tol yang pembiayaannya masih dari APBN seharusnya penggunaanya gratis. Alias, tanpa dipungut bayaran. Kalaupun berbayar, maka pemerintah hanya menarik bayaran hingga modal pemerintah kembali. Setelahnya jalan tol digratiskan.

Ia berkaca dengan jalan raya bebas hambatan yang ada di berbagai macam negara. Jalan bebas hambatan itu banyak pula disebut highway, freeway, autobahn, snelweg. Istilah-istilah itu menegaskan jalan bebas hambatan itu gratis.

Ajaibnya, di Indonesia jalan tol justru jadi barang dagangan. Yang mana, cita-cita Orba menegakkan keadilan sosial lewat jalan tol menjadi buyar. Pemerintah melulu mencari untung, sementara kalangan yang disasar bukan dari kalangan rakyat kecil.

Mereka yang menjadi sasaran terbatas pada orang-orang kaya. Orang-orang kaya dapat melaju bebas di jalan bebas hambatan selama mereka memiliki duit. Kasarnya jalan tol bak dibangun untuk memenuhi kenyamanan orang-orang berduit. Narasi itu sesuai dengan anggapan kalau mau akses jalan bagus, bayar.

Ilustrasi - Ruas jalan tol dalam kota Semarang. (Antara/HO-Jasa Marga)

Rakyat kecil dipaksa menggunakan jalan lainnya. Apalagi rakyat kecil yang tanahnya dibebaskan untuk pembangunan jalan tol. Belum tentu mereka dapat menikmati hasil dari jalan tol.

Pemerintah Orba harusnya berkaca dengan jalan bebas hambatan di luar negeri. Jalan bebas hambatan di sana banyak yang gratis. Pun mereka hanya memberlakukan ruas-ruas tertentu untuk menarik bayaran. Itupun dengan jumlah yang sedikit. Kesimpulan pun ditarik bahwa pemerintah Indonesia hanya membangun tol untuk memuaskan dahaga orang kaya saja.

“Apakah di negara lain tidak ada jalan tol? Ada, tetapi seluruhnya hanya tiga persen. Kita bisa merasakan sendiri bahwa di Eropa, AS, Australia, Malaysia, China dan praktis di semua negara, memakai jalan raya bebas hambatan tidak bayar. Untuk ruas-ruas tertentu memang membayar tol, tetapi jumlahnya sedikit sekali.”

“Mengapa begitu? Karena jalan tol dianggap sebagai kemewahan, yang tanpa itu juga bisa menikmati jalan raya bebas hambatan yang mulus dan nyaman. Bahwa disediakan ruas-ruas tertentu berbayar, karena ingin memberikan pilihan kepada orang kaya supaya bisa lebih nikmat lagi, asalkan mau membayar untuk kenikmatan mewah yang tidak mempunyai dampak negatif untuk strategi pembangunan,” terang Kwik Kian Gie dalam buku Nasib Rakyat Indonesia dalam Era Kemerdekaan (2016).