Momen 25 Tahun Reformasi: Keluarga Cendana Minta Soeharto Mundur
Soeharto menuruni tangga Istana Negara bersama Siti Hardijanti Rukmana (Tutut) di hari pengunduran dirinya sebagai Presiden Indonesia, 21 Mei 1998. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Kuasa Soeharto dan Orde Baru (Orba) pernah dianggap kuat. Golkar, ABRI, dan birokrasi jadi ajiannya. Tiada yang berani mengganggu eksistensi Soeharto. Namun, semuanya berubah kita resesi ekonomi melanda Indonesia.

Soeharto ketar-ketir menghalau kekacauan ekonomi. Fakta itu membuat banyak tokoh politik meminta Soeharto untuk lengser dari kursi kepresidenan. Pun Keluarga Cendana tak ketinggalan meminta Soeharto mundur. Soeharto diminta turun supaya lebih banyak waktu bersama keluarga.

Awal kuasa Soeharto sebagai Presiden Indonesia direstui segenap rakyat Indonesia. Ia dielu-elukan sebagai pemimpin yang mampu membawa Indonesia unggul dalam segala bidang. Bahkan, lebih unggul dari pemerintahan Orde Lama. Soeharto membuktikan langkahnya dengan sederet keputusan menentukan. Pembangunan ekonomi, utamanya.

Rakyat Indonesia juga menganggap Soeharto mampu membawa era kebebasan berpendapat, tak seperti Orde Lama. Namun, kuasa itu tak berlangsung lama. Soeharto dan Orba justru tampil represif. Empunya kuasa tak mau menerima segala kritikan.

Langkah itu didukung pula dengan ajian teror yang disebar oleh Orba. Barang siapa yang menolak tirani Orba, niscaya akan menerima ganjarannya. Semua berkat Soeharto mampu mengoptimalkan tiga pilar kekuatan: Partai Golkar, ABRI, dan birokrasi.

Momen Soeharto mengumumkan pengunduran diri sebagai Presiden Indonesia di Istana Merdeka pada 21 Mei 1998. (Wikimedia Commons)

Ajian itu dijadikan Soeharto untuk menangkal segala macam serangan terhadap Orba. Soeharto dapat menjadikan ABRI sebagai alat 'menggebuk' rakyat. Mereka dapat memaksa rakyat melepaskan tanahnya untuk pembangunan.

Soeharto kerap pula menggunakan segala cara untuk memenangkan partainya, Golkar dalam tiap kontestasi politik. Cara-cara itu membuatnya langgeng berkuasa. Bahkan, tiada rakyat Indonesia yang mampu menebak kapan Soeharto akan jatuh dalam waktu dekat. Semuanya karena Soeharto terlampau kuat.

“Soeharto menggunakan tiga pilar kekuatan, yaitu Golkar, ABRI, dan birokrasi untuk memenangi pemilu dan menguasai MPR RI dan DPR RI. Golkar selalu menang sejak pemilu 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, hingga 1997, dan slelalu menjadi mayoritas tunggal di DPR. Oleh Karena itu, sejak 1971, Golkar telah menjadi alat penopang kekuasaan pemerintah. Semua kebijakan Orba diciptakan oleh Golkar dan dilaksanakan oleh militer dan birokrat. Selama berpuluh-puluh tahun berkuasa, para kader Golkar menguasai jabatan-jabatan pentingdi lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, baik pusat maupun di daerah-daerah.”

“Kemenangan Golkar dalam setiap pemilu didukung oleh tindak kekerasan politik dan militer. Kekerasan militer di masa Orba ditujukan untuk mengendalikan dan memobilisasi massa pemilih guna memenangkan Golkar. Rakyat dipaksa dan diancam untuk memilih Golkar. Dengan demikian, para elite Golkar dapat dipastikan terpilih mewakili rakyat dalam menjalankan sistem pemerintahan, termasuk di pemerintahan daerah,” terang Laksamana Sukardi dalam buku Di Balik Reformasi 1998 (2018).

Permintaan Mundur

Soeharto terlampau kuat bagi lawan politiknya. Eksistensinya tak dapat digoyang dalam waktu yang lama. Semuanya baru berubah ketika resesi ekonomi melanda Indonesia pada 1997-1998. Kekacauan ekonomi itu membuat nilai tukar rupiah jatuh pada titik terendah.

Segenap rakyat Indonesia pun terkena imbasnya. Daya beli masyarakat menurun. Pun perusahaan-perusahaan yang ada banyak yang merugi. Pengangguran muncul di mana-mana. Fakta itu membuat hajat hidup rakyat Indonesia terganggu.

Narasi protes muncul di mana-mana. Mahasiswa yang notabene kerap diredam kekuatannya oleh Orba mulai turun ke jalan. Mereka menginginkan Soeharto bertanggung jawab atas kekacauan politik yang terjadi. Apalagi kondisi itu diperparah dengan banyak pejabat yang tak peka kondisi rakyat.

Gerakan meminta Soeharto turun pun bergema di mana-mana. Soeharto sendiri dalam posisi menolak tuntutan mundur. Ia memberikan perintah untuk 'menggebuk' mereka yang menginginkannya lengser. Nyatanya, kondisi Soeharto dan Orba justru makin terancam.

Mereka yang menginginkan Soeharto lengser saban hari makin bertambah. Bahkan, pejabat politik, termasuk Harmoko (Ketua MPR) yang orang dekat Soeharto menyarankan untuk berhenti. Pun secara tak terduga anak, memantu, dan cucu Soeharto yang dikenal sebagai Keluarga Cendana ikut menyarankan Soeharto mundur.

Demonstrasi mahasiswa menuntut penurunan Soeharto dari kursi Presiden RI pada 21 Mei 1998. (BBC/Eka Prasetya)

Keluarga Cendana merasa Soeharto telah terlalu lama berdiam di puncak kekuasaan. Mereka justru berharap Soeharto segera pensiun. Keinginan itu supaya Soeharto dapat menikmati hari tua dengan tenang. Utamanya, supaya memiliki banyak waktu untuk bermain bersama anak cucu.

Saran itu diutarakan Keluarga Cendana secara personal ke Soeharto. Bukan berbentuk saran resmi. Apalagi disampaikan langsung kepada petinggi Partai Golkar. Namun, bagaimana pun opsi mundur yang disarankan oleh Keluarga Cendana jadi salah satu penentu berakhirnya kuasa Sang Jenderal selama 32 Tahun. Pun, era reformasi dimulai setelahnya.

“Menurut anak Soeharto, Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), jauh sebelum terjadinya peristiwa permintaan Harmoko agar Soeharto mundur, pihak keluarga Soeharto sendiri telah meminta agar Soeharto mengundurkan diri sebagai presiden.”

“Keluarga beralasan telah lama mengabdi pada negara dan bangsa, sehingga sudah saatnya beristirahat bersama putra-putri dan cucu-cucunya. Mengenai permintaan Tutut tersebut, apakah pernah disampaikan kepada DPP Golkar? Menurut Harmoko, sepanjang pengetahuannya, tidak pernah, meski Tutut sendiri adalah anggota FKP dan DPP Golkar,” terang Politikus Golkar, Akbar Tandjung dalam buku The Golkar Way (2007).