JAKARTA - Presiden Soeharto adalah penganut kejawen (Islam Jawa). Ia acap kali melanggengkan kepercayaan leluhur. Namun, bukan berarti Soeharto tak menjalani tradisi Islam. Ia justru tumbuh dalam lingkungan Islami. Sholat dan mengaji sudah dilakukannya sejak kecil.
Soeharto memang antipartai Islam, tapi tidak dengan ajaran. Ritual keagamaan Islam pun kerap dijalankannya. Apalagi di bulan puasa. Rumahnya di Jalan Cendana acap kali menjelma sebagai lokasi sholat tarawih saban Ramadan.
Tindak-tanduk Soeharto sebagai penganut kejawen sudah menjadi rahasia umum. Tiada yang memperdebatkan hal itu. Demikian pula, dengan kedekatannya dengan tradisi Islam. Ritual keagamaan Islam telah dilakoninya sejak kecil di Desa Kumusuk, Godean, Yogyakarta.
Sebagai anak petani, aktivitas Soeharto tak jauh beda dengan anak-anak lain di desanya. Tiap sore hari Soeharto kerap belajar membaca kitab suci Al-Quran di langgar. Pelajaran mengaji itu adalah wajib bagi keluarganya.
Karenanya, Soeharto kecil menganggap langgar sebagai rumah kedua, aktivitas mengaji itu bisa memakan waktu berjam-jam. Ia baru kelar mengaji kalau sudah masuknya waktu sembahyang Isya. Setelahnya, Soeharto tinggal memilih antara berdiam semalam suntuk di langgar atau segera pulang ke rumah.
“Di sore hari, Soeharto mengaji, belajar membaca kitab suci Alquran. Ini adalah pelajaran yang diwajibkan bagi setiap anak. Pengajian Alquran dilakukan di langgar. Sering ia berada di langgar sampai-sampai jam delapan malam, dan sesudah selesai sembahyang Isya beramai-ramai barulah dia pulang ke rumahnya, dan kadang-kadang semalam suntuk mereka bersama di langgar,” tulis OG Roeder dalam buku Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto (1976).
Kontroversi Hubungan dengan Umat Islam
Masalah muncul ketika Soeharto mulai menjabat sebagai orang nomor satu Indonesia. Hubungannya dengan umat Islam dianggap penuh kontroversi. Banyak aktivis daripada NU maupun ormas Islam lainnya yang diperlakukan secara kasar oleh aparat keamanan.
Pun kebijakan yang diambil oleh Soeharto kerap dianggap merugikan Islam. termasuk melarang partai-partai yang menungganakan nama Islam. Misalnya, Partai Nahdlatul Ulama (NU) dipaksa melebur menjadi satu dengan Partai Muslimin Indonesia (Permusi), Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Namanya Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
BACA JUGA:
“Pak Harto tidak anti-islam sebagai agama, tetapi menentang partai Islam. Walau demikian, tidak semua gagasan partai Islam ditolaknya. Kita perlu mengingat kembali proses lahirnya UU Perkawinan (UU No.1/1974), UU pertama yang memuat ketentuan syariat Islam secara tidak langsung. Tanpa persetujuan Pak Harto, UU itu tidak akan lahir.”
“Saat itu Rais Aam Syuriyah Pengurus Besar Nadhlatul Ulama (PBNU), K.H. Bisri Syansuri, menyakinkan bahwa RUU yang diajukan pemerintah itu bertentangan dengan syariat Islam. Pak Harto dapat menangkap sepenuhnya argumentasi kiai. Prestasi itu adalah karya agung pertama Pak Harto dalam mempertemukan Islam dengan Indonesia. Bung Karno pada akhir 1950-an tidak mampu untuk menggolkan RUU Perkawinan,” ungkap Salahuddin Wahid dikutip Sugiono M.P. dalam buku Selamat Jalan Pak Harto (2008).
Tarawih di Cendana
Kedekatan Soeharto dengan Islam terlihat saat ia dan keluarganya kompak menjalani ibadah Ramadan bersama keluarga. Rumahnya di Cendana bahkan digunakan untuk menjalankan ibadah sholat tarawih bersama warga sekitar.
Tradisi tarawih di Cendana jadi rutinitas yang selalu dilakukan jenderal yang telah berkuasa di Indonesia selama 32 tahun. Warga sekitar pun selalu merindukan suasana sholat tarawih bersama keluarga Soeharto.
Kala tak sibuk, Soeharto selalu menyempatkan sholat tarawih di rumahnya. Pejabat-pejabat lainnya pun ikutan. Mereka yang kebetulan memiliki agenda berjumpa Soeharto akan ikut momen buka puasa yang kemudian dilanjutkan dengan sholat tarawih bersama warga.
"Jadi, kita warga suka salat tarawih bersama di rumah Pak Harto. Sejak jadi presiden, Pak Harto mempersilakan warga di sini untuk salat tarawih bersama di rumahnya. Pak Harto sering salat bersama warga, anak-anaknya seperti Mba Tutut, Mba Titiek, Mba Mamiek, Mas Ari, Sigit juga suka tarawih di rumah bapak.”
“Kalau Pak Harto nggak ada, anak-anaknya tetap kok salat tarawih bareng kita-kita. Setelah nggak jadi presiden, Pak Harto masih sering tarawih bareng kita kok," ujar Umi, wanita asal Purwokerto yang sempat aktif sholat tarawih di Cendana dikutip Tribunnews.
Intensitas kehadiran Soeharto semakin meningkat saat dirinya sudah tak lagi menjabat sebagai presiden Indonesia. Soeharto tak hanya sholat bersama warga. Anak-anaknya pun ikut sholat tarawih bersama Soeharto. Kebiasaan sholat tarawih itu langgeng hingga akhir hayat Presiden Soeharto.
“Masa-masa akhir hidupnya dilewati Pak Harto ditemani anak-cucu, beliau menjalani hari tua dengan banyak ibadah. Pernah saya mengajak seorang sahabat-seorang doktor ilmu politik dari Singapura ikut salat tarawih di Cendana, kebiasaan yang dijalani Pak Harto dan keluarganya hingga akhir hayat,” tutup Teguh Juwarno dalam buku Pak Harto: The Untold Stories (2011).