Bagikan:

JAKARTA - Proyek kartu tanda penduduk (KTP) adalah salah satu yang paling 'basah'. Banyak pengusaha berebut proyek KTP. Bahkan sejak zaman Orde Baru (Orba). Keluarga Soeharto yang kala itu berkuasa tak lewat. Anak hingga menantunya ikutan. Salah satu dari mereka berhasil memonopoli proyek KTP nasional.

Pemenang tender tak melulu soal restu The Smiling General. Yang paling vital justru lobi-lobi kepada pejabat. Menantu Soeharto, Elsje Sigit, yang notabene istri Sigit Harjojujanto berhasil. Perusahaannya unggul memonopoli proyek.

Boleh jadi salah satu hal yang paling diingat dari Orba adalah kemudahan keluarga Cendana mengakses dana besar. Bisnis anak-anak Cendana terus tumbuh subur. Mereka merambah hampir ke semua lini usaha.

Properti, telekomunikasi, perbankan, perhotelan, otomotif, listrik, minyak, kimia, hiburan hingga jalan tol jadi ladang bisnis Cendana. Begitu istimewa hingga semua bank, terutama bank pemerintah begitu murah hati dalam pemberian kredit. Tak ada peduli sebesar apapun risikonya.

Sikap Soeharto sendiri sebenarnya netral saja. Ia tak melarang atau getol merekomendasikan anak hingga menantunya berbisnis dan mengejar proyek-proyek pemerintah. Soeharto bahkan pernah berpesan pada pejabat publik, jika anak-mantunya tak memenuhi kualifikasi, ya jangan dimenangkan.

Sebaliknya. Jika anak-anak memang unggul, maka jangan dikalahkan. Soeharto berpandangan tak ada yang salah dengan langkah anak-mantunya berbisnis. Selama mengikuti aturan yang ada. Tapi nama besar Soeharto kelewat istimewa.

Potret keluarga Soeharto (Sumber: Wikimedia Commons)

“Apa pun yang berasal dari Cendana, jangankan kata perintah atau permintaan, bahkan kerlingan hasrat pun, semuanya berlaku bak takdir: haram ditolak, tak boleh ditampik. Selain dahsyat bagai takdir, Cendana jugalah kunci ajaib, rapal yang bisa membuka semua pintu aturan di Indonesia. Legal, tidak legal, tidak begitu penting. Semua bisa diatur,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Jejak-Jejak Anak Cendana (2003).

“Siapa boleh mengimpor mobil tanpa pajak jika bukan Tommy Soeharto. Siapa yang bisa punya satelit selain perusahaan milik Bambang Trihatmodjo. Siapa boleh membangun tol kecuali Siti Hardijanti Rukmana (Mbak Tutut). Pendek kata, wewenang dan lingkup bisnis perusahaan anak-anak Cendana tak ubahnya dengan perusahaan negara. Yang berbeda hanya ini: perusahaan negara dimiliki rakyat, perusähaan Cendana dikuasai anak-anak Soeharto,” tambah laporan tersebut.

Keistimewaan itu kerap dipraktikkan sistematis. Kadang pula sporadis. Seringkali antara sesama keluarga Cendana berebut proyek. Dalam proyek jalan tol Cawang-Tanjung Priok, misalnya. Jauh sebelum peresmian pada 1990, ada empat perusahaan yang mengikuti tender.

Yang paling representatif hanya dua perusahaan. Perusahaan itu masing-masing milik Pangeran Cendana, Tommy Soeharto dan Putri Cendana, Mbak Tutut. Kehadiran anak-anak Soeharto dalam perebutan proyek jalan tol sampai merepotkan Menteri Pembangunan Umum Suyono Sosrodarsono, yang menjabat 1983-1988.

Ia sampai membentuk tim khusus supaya tak salah pilih. Satu yang paling dihindarinya adalah murka Soeharto. Apalagi secarik memo dari Sang Bapak Pembangunan dapat meruntuhkan segala aturan.

Akhirnya, keputusan pun keluar. Perusahaan Mbak Tutut dipilih sebagai pemenang Tender. Setelahnya, Suyono bertandang ke Cendana untuk menjelaskan ihwal terpilihnya perusahaan Mbak Tutut.

Proyek pembuatan dan komputerisasi KTP

Persaingan demi proyek besar lain ala keluarga Cendana sempat pula terjadi dalam proyek pembuatan dan komputerisasi KTP. Tommy Soeharto bersama timnya mendatangi Menteri Dalam Negeri Rubini, yang menjabat 1988-1993.

Kedatangan Tommy bertujuan meminta proyek KTP nasional. Tommy mempromosikan keunggulan konsepnya, yang memungkinkan setiap orang memperbarui KTP di mana saja.

Setelah mendengar gagasan Tommy, Rubini sebenarnya setuju. Namun, Rubini sedikit skeptis dengan gagasan Tommy. Ia lalu menanyakan perihal bagaimana pengadaan perangkat komputernya.

Tommy menjelaskan untuk pengadaan, pemerintah akan mengutip semacam retribusi dua dolar kepada setiap wisatawan asing yang berkunjung ke Indonesia. Saat dana terkumpul, maka perangkat komputer dapat dibeli.

Rudini menolak memberikan proyek kepada Tommy. Alasan Rudini Indonesia saat itu sedang berupaya meningkat jumlah kunjungan wisatawan asing. Jika wisatawan harus membayar pungutan dua dolar tanpa dasar hukum, hal itu bisa mengganggu arus kedatangan mereka. Apalagi Rudini menyadari wisatawan asing dikenal skeptis.

“Tidak lama serelah kunjungan Tommy, Rudini melapor kepada Presiden. la menjelaskan semua, di samping mengutarakan sikapnya yang tidak setuju. Ternyata, Soeharto, menurut Rudini, dapat memahami argumentasinya. Soeharto berkata: Ya, sudah. Memang enggak boleh begitu. Maka, proyek komputerisasi KTP ketika itu pun batal,” tulis Tjipta Lesmana dalam buku Dari Soekarno Sampai SBY (2013).

Setelah Tommy, keluarga cendana lainnya, Elsje Sigit maju demi proyek KTP nasional. Menantu Soeharto dari anak keduanya, Sigit Harjojujanto mampu meyakinkan Kementerian Dalam Negeri untuk memberikan proyek KTP kepada perusahaannya, PT Solusindo Mitra Sejati (SMS).

Rencana Elsje Sigit jadi lebih memungkinkan karena jabatan Menteri Luar Negeri diisi oleh orang baru, Yogie Suardi Memet (1993-1998). Hal itu berpengaruh pada kebijakan luar negeri. Selain itu alasan lainnya konon karena lobi-lobi ciamik Elsje Sigit.

Mengutip Kompas.com, surat perjanjian kerja sama antara Departemen Dalam Negeri (Depdagri) dan PT SMS sudah ditandatangani tanggal 27 Februari 1993. Alhasil, pemberian proyek tersebut sempat diributkan banyak pihak di Depdagri karena tak dilibatkan.

Buahnya, proyek tersebut ditelusuri kembali. Meski terganggu, proyek itu tetap berjalan karena mendapat dukungan banyak pihak. Sebagai solusi mengadakan peralatan komputerisasi KTP, pemerintah diusulkan menaikkan biaya-biaya pembuatan KTP dan surat berharga lain.

Surat berharga lain yang dimaksud adalah kartu keluarga (KK), surat keterangan lahir, meninggal, pindah, serta surat izin menetap bagi WNA, dengan besaran 100 -350 persen. Jumlah itu sebanding dengan keuntungan berlipat dari monopoli proyek KTP nasional yang akan didapatkan Elsje Sigit dan mitra kerjanya.

“Saat itu, KTP WNI akan naik dari Rp1.000 menjadi Rp3.000, KTP WNA dari Rp2.000 menjadi Rp5.000, sedang kartu keluarga WNI dari Rp500 menjadi Rp 1.500 dan kartu keluarga WNA dari Rp 1.000 menjadi Rp 2.000. Kenaikan retribusi pembuatan KTP, KK dan surat keterangan lahir, mati, pindah di wilayah DKI Jakarta, diusulkan naik antara 100 persen dan 350 persen setelah pihak swasta, PT Solusindo Mitra Sejati (SMS), konsultan departemen dalam negeri masuk menjadi pengelola sistem manajemen kependudukan (simduk) secara nasional,” tertulis dalam laporan Harian Kompas berjudul Biaya KTP Diusulkan Naik Menjadi Rp3.000 (1995).

*Baca Informasi lain soal SOEHARTO atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada

MEMORI Lainnya