Tradisi Nyorog: Cara Orang Betawi Sambut Bulan Suci Ramadan
Silaturahmi orang Betawi tempo dulu. (geheugen.delpher.nl)

Bagikan:

JAKARTA - Keterbukaan etnis Betawi melanggengkan tradisi leluhur tak perlu diragukan. Segala macam tradisi lokal dengan muatan nilai kehidupan diterimanya dengan luwes. Dalam tradisi Nyorog, misalnya. Nyorog dulu kala identik dengan tradisi memberi sesajen kepada Dewi Sri: simbol kemakmuran.

Kemudian, Nyorog disesuaikan dengan nilai Islam untuk menyambut bulan Ramadan. Orang Betawi saling berkunjung membawa makanan dan bingkisan untuk sanak saudara. Nyorog pun dikenal sebagai ajang silaturahmi.

Tindak-tanduk kehidupan orang Betawi acap kali memunculkan kekaguman. Semua itu berkat etnis Betawi dikenal sebagai salah satu etnis paling terbuka dan toleran di Nusantara. Salah satu bentuk dari keterbukaan itu adalah kemampuan orang Betawi melestarikan tradisi milik nenek moyang.

Pedagang buah biasanya paling diserbu masyarakat Betawi tempo dulu saat bulan suci Ramadan. (geheugen.delpher.nl)

Kemampuan itu laksana wujud orang Betawi dalam membedah suatu tradisi. Antara tradisi yang muncul dari kepercayaan nenek moyang, dan tradisi dari kepercayaan agama. Pun orang Betawi berani menggabungkan keduanya. Dengan catatan, suatu tradisi memiliki nilai-nilai yang dapat berguna bagi kehidupan bermasyarakat.

Bagi orang Betawi, budaya lelulur wajib dilestarikan. Supaya tak lupa asal-usul, pikirnya. Apalagi jauh sebelum Islam, orang betawi pernah merasakan dominasi fase kepercayaan berbasis animisme, kemudian Hindu. Lalu Islam jadi agama yang menyusul belakangan. Fakta itu menjadikan jejak kebudayaan nenek moyang tidak hilang begitu saja. Pun pada saat Islam masuk Betawi.

Segenap orang Betawi mampu menerima Islam sebagai agama. Meski begitu, budaya lelulur tak serta-merta dilupakan. Orang Betawi pun mulai menyesuaikan budaya leluhur dengan nafas ajaran Islam. Misalnya, dulu tradisi tahlilan yang bersifat animisme, kemudian disesuaikan menjadi upacara yang bernafaskan Islam dengan bacaan doa-doa Islam.

“Menurut catatan arkeologis sudah ada penduduknya pada masa prasejarah, setelah masa animisme, sejak abad ke-7 sampai awal abad ke-16 Betawi dikuasai oleh agama Hindu dan kerajaan Hindu Tarumanegara. Lalu, sejak awal abad ke-16 dikuasai oleh agama Islam. Tampaknya agama Islam menjadi anutan orang Betawi, meskipun Belanda yang saat itu sedang menjajah, juga menyebarkan agama Kristen sejak pertengahan abad ke-16.”

“Memang banyak penduduk pribumi yang menjadi Kristen, termasuk komunitas Tugu di Tanjung Priok, komunitas Kampung Sawah di Pondok Gede, dan komunitas Belanda Depok di Depok. Namun, orang Betawi tetap beragama Islam, meskipun mungkin kualitas keislamannya tidak sama,” ungkap Abdul Chaer dalam buku Betawi Tempo Doeloe: Menelusuri Sejarah Kebudayaan Betawi (2015).

Ritus Hidup Orang Betawi

Luwesnya orang Betawi menerima tradisi nenek moyang hadir dalam tradisi Nyorog. Dulu kala, tradisi itu hadir sebagai bagian dari ritus hidup orang Betawi. Tradisi itu dilanggengkan sebagai bentuk refleksi yang merangkum keterlibatan manusia, lingkungan, dan kepercayaan kepada Sang Pencipta.

Budayawan Betawi Andi Yahya Saputra mengamini hal itu. Nyorog yang dalam bahasa Betawi berarti mengantar atau nganter, dianggapnya sebuah wujud sedekah bumi. Struktur masyarakat Betawi yang agraris jadi muasalnya.

Tradisi itu telah langgeng sejak orang Betawi belum mengenal Islam. Sebagai wujud syukur, mereka mengantar sesajen untuk dipersembahkan kepada Dewi Sri yang merupakan simbol kemakmuran. Pemberian itu tak ubahnya sebagai wujud terima kasih kepada Dewi Sri. Antara lain karena sudah diberikan kesehatan, rejeki, dan panen yang melimpah.

Silaturahmi masyarakat Betawi tempo dulu. (Wikimedia Commons)

"Pada peristiwa ritus, misalnya ritus baritan atau ritus sedekah bumi, itu menjadi sajenan sembahan kepada Dewi Sri atau Dewi kemakmuran karena masyarakat sudah diberikan kesuburan tanahnya, sama keberhasilan tanamannya yang melimpah ruah. Jadi, ada ritus sajenan, sedekah bumi," terang Andi Yahya Saputra dikutip Okezone.

Masuknya Islam membuat tradisi Nyorog mulai diperkuat nilai-nilai Islami. Dahulu, Nyorog erat hubungannya sebagai persembahan bagi Dewi Sri mulai menyesuaikan diri dengan kebudayaan Islam. Tradisi Nyorog lalu populer sebagai suatu selebrasi menyabut kedatangan bulan suci Ramadan.

Orang Betawi (yang mayoritas muslim) percaya Ramadan adalah bulan penuh berkah: sebagai pengingat dan peningkat keimanan. Sedang tradisi Nyorog digunakan sebagai suatu selebrasi rasa syukur atas berkah yang diberikan oleh Sang Pecipta. Rasa syukur itu akhirnya diwujudkan dengan cara saling berkunjung membawa makanan dan bingkisan kepada sanak saudara.

Bingkisannya pun tak perlu mewah. Buah-buahan dan sembako dapat jadi ajian mengisi bingkisan. Antara lain telur, gula, kopi, atau beras. Budayawan Betawi, Masykur Isnan pun mengungkap bawaannya bisa juga masakan khas Betawi seperti Asinan, Soto Betawi, Gabus Pucung, dan lainnya. Anteran itu biasanya diberikan menantu kepada mertua. Bagi mereka, Nyorog dapat menjadi ajang yang tepat untuk menunjukkan rasa hormat dan kecintaan kepada keluarga.

Silaturahmi masyarakat Betawi tempo dulu. (geheugen.delpher.nl)

“Tradisi Nyorog adalah tradisi masyarakat betawi yang sarat akan makna. mulai dari penguat silaturahmi, kepedulian sosial, dan semangat berbagi. Selain itu, ada pula semangat religiusitas mengingat hal ini dilakukan khusus menjelang datangnya bulan suci Ramadan yang bagi masayakat betawi (mayoritas muslim) memiliki keistimewaan sendiri.”

“Untuk itu tradisi Nyorog diwujudkan dengan berbagi ke sesama, umumnya adalah makanan atau cemilan khas betawi dengan media rantang (zaman dahulu), yang dilakukan oleh generasi muda kepada generasi tua, dibarengi dengan permintaan maaf dengan tujuan menjadi fitri menjelang datangnya bulan suci sehingga kegiatan saling kunjung pun dapat terjadi. Biasanya Nyorog ini dilakukan h-3 menjelang waktu puasa di mulai,” tutup Masykur Isnan saat dihubungi VOI, 28 Maret.