JAKARTA - Pembangunan kompleks olahraga Gelora Bung Karno (GBK) adalah peristiwa sejarah yang monumental. Kehadiran GBK mampu mewujudkan mimpi Indonesia memiliki fasilitas olahraga terlengkap. Pun ragam stadion hadir di dalamnya.
Stadion Madya, salah satunya. Stadion itu acap kali digunakan untuk segala jenis hajatan olahraga. Namun, Stadion Madya dahulu justru populer sebagai arena balap anjing era 1970-an. Ajian itu berhasil karena arena balap anjing mampu menyumbang pendapatan besar bagi kas DKI Jakarta.
Hajatan Asian Games IV jadi ajang Indonesia unjuk gigi. Persiapan dilakukan secara serius pada 1958-1962. Presiden Indonesia yang juga pemimpin besar revolusi, Soekarno turun tangan. Ia menginginkan ibu kota dapat menjelma sebagai pusat kegiatan olahraga besar nan mewah.
Keterlibatannya pun tak setengah-setengah. Bung Karno terjun langsung mencari lokasi representatif untuk gelaran Asia Games. Menteng, Rawamangun, dan Bendungan Hilir sempat menjadi opsi lokasi kompleks olahraga terbesar di Indonesia. Pertimbangan pun terus dilakukan. Soekarno akhirnya mencoret semuanya dan justru memilih sebuah lokasi yang baru yang strategis: Senayan.
Pemilihan Senayan bukan tanpa pertimbangan. Bung Besar telah memikirkannya matang-matang. Menurutnya, pembangunan kompleks olahraga di Senayan melengkapi narasi paket segitiga pembangunan Jakarta. Paket itu dimaksud: Istana Negara sebagai pusat pemerintahan, Senayan pusat olahraga, dan Senayan bagian barat sebagai ruang politik.
Perihal dana, Soekarno tak ambil pusing. Persahabatannya dengan pemimpin Uni Soviet, Nikita Khrushchev jadi andalan. Khrushchev langsung memberi Indonesia pinjaman lunak dengan bunga yang dapat dibayar dalam jangka panjang. Bukan Cuma itu. Khruschchev memberikan pula bantuan lainnya. Sederet insinyur dan teknisi Uni Soviet dikirimkan ke Indonesia. Kompleks olahraga megah yang diberi nama Gelora Bung Karno pun rampung pada 1962.
“Eratnya hubungan bilateral juga tercermin di bidang-bidang lain tahun 1962, Uni Soviet memberi beasiswa kepada mahasiswa Indonesia. Tercatat tahun itu sekitar 700 mahasiswa Indonesia belajar di berbagai universitas di Negara Beruang Merah. Sejumlah perwira Angkatan Laut belajar di Vladivostok dan Leningrad.”
“Di samping itu, kerja sama pembangunan pabrik baja Cilegon, Rumah Sakit Persahabatan, Gelora Bung Karno, dan Patung Tani, semuanya membuktikan betapa kokohnya kerja sama kedua negara saat itu,” tegas Tomi Lebang dalam buku sejarah Sahabat Lama, Era Baru: 60 Tahun Pasang Surut Hubungan Indonesia-Rusia (2010).
Arena Balap Anjing
Kehadiran kompleks olahraga GBK membawa semangat baru bagi Indonesia. Segala hajatan olahraga –bahkan politik—acap kali diselenggarakan di GBK. Fasilitas olahraga yang bejibun itu dimanfaatkan secara maksimal untuk meningkat minat masyarakat Indonesia terhadap olahraga. Pun setelah Soekarno lengser. Gema kompleks olahraga GBK tetap kesohor berkat kepedulian pemerintah Orde Baru (Orba).
Warisan itu dijaga benar oleh Orba. Apalagi olahraga Indonesia mencapai puncak kejayaan di masa Pemerintahan Soeharto. Dunia olahraga Asia Tenggara berkali-kali ditaklukkan oleh Indonesia. Prestasi itu membuat GBK ramai dijadikan wadah membentuk atlet. Namun, kadang pula komplek GBK dijadikan sebagai pusat hiburan. Sebagai contoh gelaran hiburan yang digelar di Stadion Madya GBK.
Stadion ini awalnya diperuntukan sebagai pusat pelatihan untuk pemanasan olahraga sepak bola dan atletik. Kadang juga dijadikan sebagai tempat utama gelaran pertandingan hoki. Sederet agenda itu mampu menyedot animo masyarakat Jakarta. Tapi tidak dalam hal mendatangkan pendapatan bagi kas daerah.
Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin (1966-1977) kemudian bersiasat. Ajiannya melegalkan perjudian membuatnya mengizinkan Stadion Madya untuk dipergunakan sebagai arena pacuan anjing (balap anjing) pada 1973. Izinnya itulah yang membuat Stadion Madya ramai dikunjungi oleh segenap warga Jakarta.
“Sementara night club dan panti pijat kami izinkan dibuka mengingat kebutuhan, kami adakan juga tempat-tempat hiburan seperti pacuan anjing, pacuan kuda, Hai Lai untuk lapisan yang lebih berada. Ya, saya harus memikirkan pelbagai lapisan masyarakat. Tapi saya tidak meninggalkan masyarakat yang lemah ekonominya.”
“Sementara klub-klub malam, amusement centre lainnya saya adakan pengawasan secara intensif, perayaan tahun baru dan HUT Jakarta saya buka seluas-luasnya, supaya bisa dinikmati oleh seluruh masyarakat. Saya menempuh kebijaksanaan untuk mengusahakan pengembangan adanya tempat-tempat hiburan dan rekreasi dalam segala bentuk, jenis, dan tingkatannya,” cerita Ali Sadikin sebagaimana ditulis Ramadhan K.H. dalam buku Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977 (1992).
Alhasil, Stadion Madya juga dikenal sebagai Toto Greyhound. Sebuah nama yang mengambil jenis anjing yang dipertandingkan. Pertandingan itu banyak ditonton oleh kelas menengah ibu kota. Aturan perlombaannya pun sederhana. Dalam tiap satu putaran, diikuti oleh enam ekor anjing. Pengunjung pun dapat bertaruh memilih anjing yang difavoritkan menang sesuai dengan nomor punggungnya.
Taruhan itu pun tak hanya berlaku bagi mereka yang menonton langsung. Mereka yang tak menonton langsung dapat ikut bertaruh dengan cara membeli kupon. Pembeliannya dapat dilakukan di seluruh penjuru Jakarta. Sebab, tempat pembelian kupon mencapai 9 ribu agen. Perjudian itu membuat kas pemerintah DKI gemuk. Keuntungannya kurang lebih Rp3 miliar per tahun.
Balap anjing pun mulai dilarang ketika masuk pada era 1980-an. Meski begitu, kepopuleran Stadion Madya sebagai lintasan balap anjing tak pernah pudar. Buktinya film dari grup lawak Warkop DKI (Dono, Kasino, Indro) berjudul Kesempatan dalam Kesempitan (1985), membuktikan narasi kesohornya arena balap anjing.
Film rekaan Arizal itu memuat adegan yang menampilkan sosok Kasino yang sedang menanyakan alamat kepada seseorang tukang cat. Kala itu Kasino ingin ke Permata Hijau. Kemudian, orang tersebut dengan seksama menjelaskan dan membuat petunjuk arah pada kap mobil Kasino. Salah satu patokan yang diberikan adalah arena balap anjing.
“Gampang pak, keluar, bapak naik jembatan Semanggi, di ujung belok kanan. Ke arah Grogol tahu? Ntar di depan bunderan Gedung MPR ke kiri, terus sampai bunderan lapangan tembak, ngelewatin TV dulu (TVRI) ke kiri, ntar di depan tempat balap anjing dulu belok kanan, masuk aja terus sampai deh,” ungkap bapak tukang cat, dalam dialog yang menyinggung sejarah Stadion Madya Gelora Bung Karno sebagai bekas arena balap anjing.