JAKARTA – Sejarah hari ini, 31 tahun yang lalu, 17 Juni 1991, Presiden Soeharto tiba di Jeddah, Arab Saudi. Kedatangan Soeharto dalam rangka menyempurnakan Rukun Islam: ibadah haji. Ia pun tak sendiri. The Smiling General naik haji ditemani oleh keluarganya. Dari anak-anaknya hingga menantu.
Soeharto mengungkap kepergiannya ke Tanah Suci murni karena agama. Namun, sebagaian besar khalayak menilai sebaliknya. Muatan politik disinyalir ada di baliknya. Apalagi, satu tahun setelahnya Pilpres akan berlangsung.
Keputusan Soeharto berhaji untuk kali pertama membawa kehebohan di seluruh pelosok negeri. Rencana kepergian Soeharto ke Tanah Suci pun jadi santapan media massa. Soeharto mengungkap rencana ke Tanah Suci jangan dikaitkan dengan agenda politik atau lainnya.
Ia dan keluarganya hanya ingin melaksanakan perintah agama dengan khusyuk. Rombongan Keluarga Cendana itu berangkat dari Jakarta menuju Tanah Suci pada 16 Juni 1991. Sehari setelahnya, Keluarga Cendana tiba di Jeddah. Momentum kedatangan Soeharto di Jeddah disambut dengan meriah.
Gubernur Mekkah, Pangeran Majid bin Abdul Azis, yang mewakili Raja Fahd datang menyambut Keluarga Cendana. Segala macam fasilitas kelas wahid pun disediakan. Bahkan, Keluarga Cendana mendapatkan perkemahan khusus di Arafah.
Kesempatan naik haji itu juga digunakan Keluarga Cendana untuk berkunjung ke makam Nabi Muhammad, Abu Bakar Ash-Shiddiq, dan Umar bin Khattab. Perjalanan itu jadi momentum yang paling membekas dalam hidup Soeharto dan keluarga.
“Pada tahun 1991, Soeharto pergi haji ke Mekkah untuk pertama kalinya. Setelah itu, dia menyandang nama Haji Muhammad Soeharto. Dia mencari dukungan para pengusaha bumiputra terkemuka, yang biasanya menunjukkan rasa identitas Keislaman yang kuat.”
“Pada tahun 1990-1991, Soeharto mengimbau para cukong dan perusahaan besar untuk memberikan saham kepada penguasa bumiputra. Usaha-usaha ini tidak memiliki dampak luas dan mungkin hanya bisa semakin menyadarkan betapa besar peranan cukong dan semakin membuat orang Indonesia beretnis China menjadi sasaran kritik utama,” ungkap Sejarawan M.C. Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern 1200-2004 (2007).
Keinginan Presiden Soeharto naik haji untuk menjalankan perintah agama disangsikan banyak pihak. Ibadah itu dianggap sebagai agenda politis Soeharto. Apalagi Soeharto sendiri dikenal sebagai penganut Ilmu Kejawen.
Alih-alih mendengar alasan Soeharto, banyak di antaranya percaya agendanya pergi haji hanya merupakan tipu daya politik. Apalagi, satu tahun ke depan Pilpres 1993 bergulir. Pun banyak pula anggapan andai kata Soeharto mau maka agenda berhaji dapat dilakukan jauh-jauh hari. Namun, kenyataan menjawab sebaliknya.
“Pada 1991, Soeharto sekeluarga melaksanakan ibadah haji. Waktu itu banyak pemerhati politik yang belum melihat langkah Soeharto berhaji sebagai suatu yang serius. Di Jakarta waktu itu sejumlah orang cenderung melihat langkah itu sebagai lebih merupakan tipu daya politik menjelang Pilpres 1993. Menjelang keberangkatannya ke Tanah Suci, kepada pimpinan NU Jawa Timur, Kiai Haji Misbah dan Dr. Saleh Aljufri, yang menemuinya di Cendana.”
BACA JUGA:
“Soeharto menjelaskan bahwa sebenarnya dia sudah merencanakan berangkat berhaji sejak masa Pelita (Pembangunan lima tahun) Pertama, tapi batal. Pada Pelita II gagal, masa Pelita III baru sempat melakukan umrah, dan pada masa Pelita IV batal lagi. Soeharto berkata: baru pada Pelita V ini saya takut kepada Allah untuk menunda kembali karena saya tahu pergi haji itu wajib hukumnya,” tutup Salim Said dalam buku Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian (2013).
Kepergian Presiden Soeharto menunaikan ibadah haji menjadi bagian dari sejarah hari ini, 17 Juni 1991 di Indonesia.