JAKARTA - Sejarah hari ini, 23 tahun yang lalu, 15 Juni 1979, Mohammad Hatta berpidato di muka umum untuk terakhir kalinya. Ia berpidato dalam Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) di Cisarua, Bogor, Jawa Barat.
Bapak bangsa itu memberikan kritiknya. Ia menyoroti politik peronomian yang cenderung menyimpang dari nilai-nilai Pancasila. Pidato itu mengingatkan orang-orang bahwa Bung Hatta tak bisa disetir sedari dulu. Ketika salah, ia katakan salah. Ketika benar, ia katakan benar. Tidak sebaliknya.
Perjuangan Bung Hatta untuk melawan segala bentuk penjajahan tiada dua. Di Negeri Belanda, ia dengan lantang menolak imperialisme dan kolonialisme. Ia belajar dan berjuang dengan sepenuh jiwa. Segalanya demi sebuah mimpi bahwa kaumnya dapat melantunkan sebuah narasi: Merdeka.
Ia pun berdiri dalam satu pedoman. Kebenaran, namanya. Ia menuntut bahkan mencari suatu kebenaran di segala kesempatan. Pencarian kebenaran pun jadi dasarnya mengambil tindakan terukur. Bung Hatta segara mengemas cita-cita untuk mengumandangkan perjuangan memperoleh kemerdekaan. Ia menjadikan Perhimpunan Indonesia (PI) jadi kendaraan politiknya di Negeri Kincir Angin.
Boleh jadi Hatta tak selantang Bung Karno yang aktif menyuarakan terkait kemerdekaan dari mimbar ke mimbar. Namun, bukan berarti efektivitasnya berbeda. Sama seperti Bung Karno yang menjadikan pengadilan sebagai panggung dengan mengumandangkan pledio (pembelaan) berjudul Indonesia Menggugat.
Bung Hatta juga memukau pengadilan dengan isi pledoinya di Pengadilan Belanda berjudul Indonesia Merdeka (Indonesia Vrij) pada 1928. Sekalipun belum sempat dibacakan kala itu. Naskah pembelaan Hatta sangat bergaung di Tanah Air. Bahkan, naskah pembelaannya justru menjadi bahan bakar sekaligus inspirasi pejuang kemerdekaan untuk berjuang.
“Tak dapat diabaikan ialah bahwa puncak pertama perjuangan Hatta untuk kemerdekaan bangsanya tercapai di sini, ketika ia memimpin Perhimpunan Indonesia (PI). Organisasi ini hanya mencakup sebagian kecil (sekitar 25 persen) saja dari mahasiswa Indonesia yang berada di Negeri Belanda.”
“Tapi para pemuda yang berada di tanah asing itu bukan saja menemukan PI sebagai wadah untuk menyalurkan kebutuhan merumuskan identitas diri, tapi juga sebagai kegairahan untuk suatu kesempatan tampil. Negeri Belanda, berbeda dari Hindia Belanda, bebas dari kekangan masyarakat kolonial yang paternalistis dan membedakan warna kulit,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Peninggalan Bung Hatta (1980).
Bekal pembelajaran politik itu segera diadaptasinya di Hindia-Belanda. Ia laktif bahu-membahu bersama Soekarno saling mengisi mendatangi mimbar rakyat untuk membakar semangat. Penjara dan pengasingan pun pernah dirasakannya. Hatta Tak menyerah sampai akhirnya Indonesia merdeka pada 1945.
Kemerdekaan Indonesia nyatanya tak lantas membuat Hatta berpuas diri. Ia tetap berdiri bersama kebenaran. Kala tindak-tanduk pemerintah Indonesia dirasa mulai sembarangan. Hatta tak tinggal diam. Ia lantang dalam menyampaikan kritiknya.
BACA JUGA:
15 Juni 1979, pidato terakhir Hatta di muka umum dalam hajatan ISEI pun memuat kritik terhadap pemerintah Orde Baru jadi buktinya. Hatta merasa pemimpin bangsa acap kali menyimpang dari nilai Pancasila.
"Negara kita berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, tetapi politik perekonomian negara di bawah pengaruh teknokrat kita sekarang, sering menyimpang dari dasar itu. Politik liberalisme sering dipąkai jadi pedoman,” tutup Bung Hatta dalam pidatonya.