Sejarah Hari Ini, 16 Februari 1959: Mohammad Yamin Menyebut Bung Karno Satu-satunya Penggali Pancasila yang Otentik
Pejuang Kemerdekaan yang juga tokoh bangsa, Mohammad Yamin. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 64 tahun yang lalu, 16 Februari 1959, tokoh bangsa, Mohammad Yamin mengungkap Soekarno –rekan seperjuangannya-- sebagai satu-satunya penggali Pancasila yang otentik. Penyataan itu diungkapnya dalam Seminar Pancasila di Yogyakarta.

Sebelumnya, narasi terkait otak di balik Pancasila jadi polemik. Beberapa kalangan menilai Bung Karno bukan penggali utama Pancasila. Pancasila dianggap telah diutarakan lebih dulu oleh Yamin dan Soepomo.

Hidup di pengasingan tak sepenuhnya mematikan semangat juang tokoh bangsa. Itulah yang dialami Bung Karno ketika diasingkan di Ende, Flores. Awal mula hidup dipengasingan dirasa berat oleh Bung Karno. Kuasa politik nyaris mati. Namun, Bung Karno mendobraknya.

Kehidupan di Ende justru membuatnya mematangkan proses berpikir. Ia mampu merenungkan banyak hal. Dari persoalan lukisan, naskah teater, hingga merumuskan ideologi atau pandangan hidup kaum bumiputra. Rumusan ideologi itu kemudian dikenal luas sebagai Pancasila.

Pancasila pun digelorakan Bung Karno pada 1 Juni 1945. Ia menguraikan satu demi satu sila yang dimaksudnya. Pertama, kebangsaan Indonesia. kedua, internasionalisme atau perikemanusiaan. Ketiga, mufakat atau demokrasi. Keempat, kesejahteraan sosial. Kelima, ketuhanan.

Mohammad Yamin dalam sebuah kunjungan kerja. (Wikimedia Commons)

Pancasila yang diucapkan Bung Karno pun mampu menyihir seisi Gedung Chuo Sangi di Pejambon, Jakarta. Pidatonya itu disambut dengan gegap gempita. Apalagi Pancasila yang diucapkan Bung Karno mendapatkan respon positif dari segenap yang hadir.

“Di dalam pidatonya, hatiku serasa bergetar-getar dan seolah-olah berkata: inilah nantinya yang akan diterima majelis, dan serasa seakan Indonesia merdeka pada hari itu sudah terwujud. Selama Bung Karno berpidato, ia mendapatkan tepuk tangan yang tiada henti-hentinya berselang-seling dari para anggota majelis.”

“Selesai Bung Karno berpidato, maka dengan suara halilintar secara spontan gegap gempita seluruh anggota majelis bertepuk tangan riuh gemuruh. Begitu pula karena rasa puas, terdengarlah sorak sorai para wartawan di dalam dan di luar gedung,” ungkap Fatmawati dalam buku Catatan Kecil Bersama Bung Karno (2016).

Beberapa hari kemudian, Pancasila yang diucapkan Bung Karno mulai disesuaikan dengan narasi keindonesiaan. Sekalipun intinya tak berubah banyak. Pancasila itu lalu menempatkan perihal ketuhanan berada di atas segalanya. Namun, seluruh ide tetap atas usaha Bung Karno.

Polemik baru muncul ketika Indonesia merdeka. Banyak yang menerangkan bahwa penggali Pancasila bukan Bung Karno. Ada pula yang berucap Pancasila bukan monopoli Bung Karno seorang. Sebab, orang yang berhak menyandang imej sebagai penggali Pancisila adalah Yamin dan Soepomo.

Suasana sidang pertama BPUPKI di Gedug Chou Sangi, Pejambon, Jakarta pada 2 Mei-1 Juni 1945. (Wikimedia Commons)

Anggapan itu kemudian berkali-kali dibantah oleh Bung Hatta dan Yamin sendiri. Bung Hatta dalam wasiatnya menyebutkan Bung Karno sebagai penggali Pancasila. Begitu pula Yamin. Ia yakin bahwa Bung Karno adalah penggali Pancasila yang otentik. Hal itu berkali-kali ditegaskan olehnya. Utamanya, kala mengisi Seminar Pancasila di Yogyakarta pada 16 Februari 1959.

“Peranan Soekarno sebagai satu-satunya penggali Pancasila dikuatkan oleh saksi yang terlibat dalam proses perumusan Pancasila sebagai Dasar Negara, antara lain Dr. Radjiman Wedyodiningrat dalam Prakata Lahirnya Pancasila (1947), Surat Wasiat Hatta (1978), Memoir Hatta (1979,) dan bahkan oleh M. Yamin sendiri Pidato Filsafat Pancasila,5 Juni 1958, Seminar Pancasila 1 Januari 1959.”

“Kemudian, Pidato di Departemen Luar Negeri. Soekarno –kata Yamin-- ialah Penggali Pancasila yang otentik. Serta pengakuan Yamin di utarakan dalam seminar Pancasila pada 16 Februari 1959 di Yogyakarta. Berarti menurut sejarah dan kenyataan Soekarno adalah penggali Pancasila,” ungkap sejarawan Peter Kasenda dalam buku Bung Karno Panglima Revolusi (2014).