Menag Munawir Sjadzali Tegaskan Tidak Ada Alasan Bagi Umat Islam Menolak Pancasila dalam Sejarah Hari Ini, 5 Maret 1984
Potret wajah Menteri Agama, Munawir Sjadzali yang menjabat dari 1983-1993 dalam sampul buku Kontekstualisasi Ajaran Islam (1995). (Perpusnas)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 39 tahun yang lalu, 5 Maret 1984, Menteri Agama (Menag) Munawir Sjadzali tegaskan tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolak Pancasila sebagai asas tunggal. Apalagi Pancasila sendiri telah didiskusikan penuh oleh tokoh Islam Indonesia.

Sebelumnya, Soekarno memiliki peran penting dalam lahirnya Pancasila. Ia mengusulkan Pancasila sebagai dasar negara. Usulan itu didukung banyak pihak. Tokoh Islam, terutama. Mereka setuju, asal perihal keagamaan jadi yang paling utama.

Peran Bung Karno sebagai penggali otentik Pancasila tak perlu diragukan. Ia menggelorakan Pancasila pertama kali pada 1 Juni 1945. Ia mengurai doktrin Pancasila ‘lima dasar’ yang kemudian menjadi falsafah hidup rakyat Indonesia: kebangsaan, perikemanusiaan, demokrasi, kesejahteraan, dan Ketuhanan.

Para pemimpin Islam pun menyetujui dengan satu syarat. Mereka menganggap perihal Ketuhanan Yang Maha Esa yang harus muncul paling atas. Tokoh Islam kemudian meminta tambahan narasi: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Narasi itu jadi bahan perdebatan. Tokoh Islam menganggap urusan syariat Islam sangat penting. Namun, Indonesia bukan melulu ‘monopoli’ tokoh Islam. Ada pula kalangan nasionalis dan agama lainnya yang jadi representasi keragaman Indonesia.

Munawir Sjadzali menerima penghargaan dari Presiden Soeharto. (Istimewa)

Kompromi pun dilakukan. Semuanya pun sepakat bahwa sila pertama yang ditentukan cukup kepada Ketuhanan Yang Maha Esa tanpa embel-embel. Sila itu mampu menunjukkan bahwa segenap rakyat Indonesia hadir dari beragam suku dan agama. Pun pada tanggal 22 Juni 1945 Pancasila disetujui sebagai dasar negara.

“Di antara sembilan orang (yang membedah Pancasila) ini terdapat tokoh Kristen moderat dan toleran, yaitu A.A. Maramis, sedangkan delapan yang lain beragama Islam, sekalipun mungkin berbeda ideologi politik. Soekarno, Hatta, Achmad Subardjo, dan Yamin mewakili ideologi politik nasionalisme.”

“Sedangkan Abikoesno, Kahar Moezakir, Salim, dan Wahid Hasyim adalah pendukung aspirasi politik Islam. Empat terakhir ini bila dilihat dari sisi pandangan islam, akan didapat gambaran sebagai berikut: Abikoesno berasal dari SI, Kahar Moezakir dari Muhammadiyah, Salim dari PI, dan Wahid Hasyim dari NU,” ujar Ahmad Syafii Maarif dalam buku Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin 1959-1965 (1996).

Nyatanya hilangnya embel-embel syariat Islam dalam Pancasila kerap memancing perdebatan. Banyak di antara umat Islam yang tak setuju – jika tak mau dikatakan menolak sila pertama Pancasila. Mereka menganggap Pancasila bukan untuk umat Islam.

Pemerintah Indonesia tak tinggal diam. Empunya kuasa terus mencoba memberikan penjelasan bahwa Pancasila sebagai asas tunggal; penting untuk diterima umat Islam. Pada masa Orde Baru (Orba), misalnya. Tokoh yang getol dalam mensosialisasikan pentingnya menerima Pancasila adalah Menag, Munawir Sjadzali.

Tiap ada kesempatan ia selalu memperkenalkan bahwa Pancasila sudah lebih dulu diakui ulama-ulama. Alhasil, tak ada alasan untuk menolak Pancasila. Ia pun turut menyosialisasikan perkara Pancasila dalam rapat kerja Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 5 Maret 1984. Semuanya dilakukan supaya Pancasila dapat diterima oleh seluruh umat Islam.

“Menteri Agama Munawir Sjadzali juga memiliki peran besar dalam menyosialisasikan pentingnya organisasi sosial keagamaan menerima asas tunggal. Dalam rapat kerja Majelis Ulama Indonesia (MUI) tanggal 5 Maret 1984, Munawir menegaskan tidak ada alasan umat Islam menolak asas tunggal.”

“Pertama secara historis Pancasila merupakan kesepakatan dari pendiri republik, yang umumnya beragama Islam. Kedua, asas Pancasila yang dimaksud memang tidak bertentangan dan merugikan agama Islam. Artinya, Pancasila tak dapat disejajarkan dengan Islam, sebab ia adalah asas hidup bersama yang disepakati dengan pemeluk agama lain,” terang Fikrul Hanif Sufyan dalam buku Sang Penjaga Tauhid: Studi Protes Tirani Kekuasaan 1982-1985 (2014).