Bagikan:

JAKARTA - Gaya hidup mewah pejabat Orde Baru (Orba) kerap memancing kritik. Apalagi gaya hidup mewah itu dilanggengkan di muka umum. Padahal, kondisi rakyat Indonesia sedang tak baik-baik saja. Presiden Soeharto berang bukan main.

Saban hari ia kerap mendengar mahasiswa dan pers mengkritik gaya hidup hedon bawahannya. Soeharto pun bersiasat. Ia mengeluarkan instruksi kepada seluruh jajarannya untuk mengadopsi laku hidup sederhana. Mereka dilarang bermewah-mewahan, utamanya di muka umum.

Praktek korupsi di era Orba sudah jadi rahasia umum. Perbuatan merugikan negara itu bahkan terus langgeng tanpa ada yang mengawasi. Karenanya, praktek korupsi kala itu bak dipelihara dengan baik oleh Orba.

Narasi itu dibuktikan dengan masifnya korupsi di tubuh lembaga negara. Mereka yang ikut korupsi tak melulu satu dua orang, namun hampir sebagian besar. Dari sekelas pegawai rendahan hingga pejabat eselon.

Upaya korupsi itu terus berlangsung secara sistematis dan menguntungkan kalangan pengusaha nakal. Apalagi pejabat negara siap sedia membantu segala macam urusan birokrasi, selama ada dokunya. Praktek tak terpuji itu kemudian banyak melahirkan Orang Kaya Baru (OKB).

Kerusuhan 15 Januari 1974 atau yang lebih dikenal sebagai Peristiwa Malari. (Wikimedia Commons)

Para OKB kerap muncul ke muka umum dengan gaya hidup yang hedonis. Mereka sering kedapatan menggunakan perhiasan hingga mobil mewah. Kondisi itu nyatanya menciderai kepercayaan rakyat Indonesia akan pejabat negara.

Protes pun dilakukan di mana-mana. Bahkan, hingga turun ke jalan. Pejabat negara di anggap tak memiliki kepekaan. Mereka tak peduli dengan kondisi rakyat yang masih banyak berada di bawah garis kemiskinan.

Amarah rakyat pun tak tertahankan. Ambil contoh kala meletusnya peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari) pada 1974. Segenap mahasiswa melakukan unjuk rasa dan kerusuhan sosial. Sebuah unjuk rasa yang mencoreng wajah Orba.  

“Diskusi-diskusinya yang bersahabat dengan para mahasiswa dan wartawan membangkitkan kecurigaan Presiden Soeharto, yang dalam tahun-tahun terakhir semakin banyak mendapat kritik dari para mahasiswa yang dulu membantunya mendapatkan kekuasaan dengan demonstrasi-demonstrasi mereka. Mereka semakin beringas menentang tingkat korupsi yang semakin bertambah serta gaya hidup mewah para pejabat tinggi serta pemimpin-pemimpin TNI.”

“Dan berseru bahwa presiden menggadaikan negara pada investor-investor luar negeri. Saat berlangsungnya kunjungan Perdana Menteri Jepang di bulan Januari 1974, protes-protes mahasiswa itu pecah menjadi unjuk rasa berdarah dan ratusan mobil Jepang dibakar. Bagi Soeharto, kejadian itu membuatnya Kehilangan muka dengan sangat menyakitkan,” ungkap Hilde Janssen dalam buku Tanah Air Baru, Indonesia (2016).

Soeharto Ajak Pejabat Hidup Sederhana

Presiden Soeharto paham benar jika Peristiwa Malari menyumbang citra buruk bagi pemerintahan. Ia pun mencoba bergerak agar citra buruk Orba tak selama berdiam dalam benak orang banyak. Ia mencoba memperbaiki citra pemerintah dengan mengeluarkan Surat Keputusan Presiden (Keppres) No. 10 Tahun 1974.

Sebuah Kepres yang memuat Beberapa Pembatasan Kegiatan Pegawai Negeri dalam Rangka Pendayagunaan Aparatur Negara dan Kesederhanaan Hidup. Mudahnya, Kepres itu berisi instruksi kepada seluruh jajaran pemerintahan –pejabat negara—untuk peka dengan keadaan masyarakat.

Mereka diimbau untuk tidak memperlihatkan gaya hidup mewahnya ke khalayak umum. Beberapa di antara adalah mengatur pejabat supaya tak memberikan pelayanan berlebihan ketika menerima kunjungan dari pemerintah pusat, termasuk menghilangkan kegiatan seremonial tak penting.

Lainnya, aturan itu mengatur larangan penggunaan mobil mewah, pembatasan perjalanan luar negeri, penerimaan hadiah, hingga tak pamer kemewahan di muka umum. Langkah itu dilakukan untuk mendapatkan kepercayaan kembali dari rakyat Indonesia.

Mobil dinas para menteri di bawah Presiden Soeharto pada tahun 1970-an adalah Volvo 264 GL. (Istimewa)

Namun, jauh panggang dari api. Pelaksanaan aturan yang dikeluarkan 5 Maret 1974 itu mendapatkan kritikan sana-sini. Sebab, pejabat tinggi, termasuk Soeharto sendiri tak memberikan contoh yang baik kepada bawahan. Fakta itu membuat pejabat lainnya perlahan-lahan mengingkari imbauan Presiden Indonesia.

“Pertama, bahwa pengeluaran dan penggunaan uang negara oleh setiap unsur aparatur negara haruslah berdasarkan atas kepentingan dan tujuan yang tepat, hemat dan dapat dipertanggungjawabkan.”

“Kedua, bahwa untuk memberikan arah agar segala kemampuan dalam pembangunan dapat digunakan dengan lebih efektif dan efisien maka dipandang perlu mengeluarkan Keputusan Presiden yang menggariskan patokan-patokan umum bagi tingkah laku pegawai negeri untuk melaksanakan pola hidup sederhana,” terang Presiden Soeharto dalam Kepres No. 10 Tahun 1974.