JAKARTA - Kemerdekaan Indonesia adalah upaya bercorak kolektivisme. Seisi Nusantara berjuang dengan caranya masing-masing mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Soeharto, misalnya. Mantan sedadu KNIL dan PETA itu terpanggil jiwanya membela Indonesia dalam Perang Revolusi di Yogyakarta.
Soeharto dan kawan-kawannya bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR). Dia bertugas melucuti senjata dan kendaraan milik penjajah Jepang. Sepeda motor rusak, apalagi. Motor itu kemudian diperbaiki untuk keperluan perjuangan
Proklamasi kemerdekaan Indonesia adalah momentum bersejarah bagi kaum bumiputra. Gaung Indonesia merdeka secara paripurna menggelar ke mana-mana. Seisi Nusantara pun menyambutnya dengan suka cita. Namun, tidak bagi Belanda.
Negeri Kincir Angin menganggap kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II adalah kunci memperbudak kembali kaum bumiputra. Rencana Belanda itu sampai ke telingga segenap pejuang kemerdekaan. Soeharto (kemudian dikenal sebagai Presiden Indonesia ke-2), utamanya.
Keinginan Soeharto untuk membela bangsa dan negara langsung memuncak. Ia pun mencoba mengumpulkan rekan-rekannya bekas serdadu era penjajahan Belanda dan Jepang di Yogyakarta. Dari bekas Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) hingga pasukan Pembela Tanah Air (PETA).
Inisiasi itu berjalan lancar. Sebab, semuanya memiliki semangat yang sama seperti Soeharto. Mereka lalu mendirikan sebuah kelompok yang kemudian mengabdi dalam BKR. Kuasa itu membuat Soeharto dan kawan-kawannya bertugas menyelenggarakan keamanan dan ketertiban dalam negeri.
“Kemudian, timbul inisiatif saya untuk mengumpulkan teman-teman bekas PETA. Secara kebetulan semua teman itu tinggalnya tak berjauhan. Saya menemui Oni Sastroatmodjo, Komandan Kompi Polisi Istimewa, dan bersama dengannya saya mengumpulkan bekas-bekas Chudancho (komandan kompi) dan Shodancho (serdadu yang pendidikannya setara SMA). Kami, bekas-bekas PETA dan sejumlah pemuda lainnya berkumpul. Kami berhasil membentuk satu kelompok yang kemudian jadi (bagian) anggota BKR.”
“Yang mana, pembentukannya sudah diumumkan oleh pemerintah RI. Presiden Soekarno menyerukan agar bekas PETA, bekas Heiho (pasukan pembantu), bekas Kaigun (angkatan laut), bekas KNIL dan para pemuda lainnya segera berduyun-duyun bergabung dan mendirikan BKR-BKR di tempatnya masing-masing. Seruan Bung Karno itu bukan sesuatu yang baru buat kami. Kami sudah bergerak sejalan dengan seruan itu,” ungkap Soeharto sebagaimana ditulis G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. dalam buku Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989).
Motor Rusak Peninggalan Jepang
Perjuangan Soeharto di BKR penuh pengorbanan. Ia mendedikasikan waktu dan tenaga untuk berjuang melawan Belanda dalam Perang Revolusi (1945-1949). Namun, untuk menyelenggarakan keamanan dan ketertiban, BKR butuh senjata dan kendaraan dalam jumlah besar.
Soeharto dan kawan-kawannya pasang badan untuk itu. Ia berinisiatif untuk merebut senjata dan kendaraan milik serdadu Jepang yang masih berada di Yogyakarta. Upaya perlawanan itu dilakukan cukup sengit. Pertempuran kadang pecah dan memakan korban jiwa. Alhasil, penyerangan itu membuat Soeharto banyak mendapatkan senjata dan kendaraan.
Namun, tak semua kendaraan –utamanya sepeda motor peninggalan Jepang-- dapat berfungsi normal. Beberapa di antara sepeda motor dalam kondisi tak terawat, alias rusak parah. Soeharto tak ambil pusing. Ia berinsiatif untuk memperbaiki sepeda untuk dapat berjalan kembali.
Istimewanya beberapa sepeda motor itu berhasil dihidupkan. Soeharto dan teman-temannya dapat menggunakan sepeda motor sebagai alat perjuangan. Pun sembari sesekali motor itu digunakan untuk keliling Yogyakarta.
Semenjak itu Soeharto lebih suka menggunakan sepeda motor. Dari urusan sehari-hari hingga urusan penyerangan. Dalam pendudukan lapangan terbang Maguwo, misalnya. Semua pasukan Soeharto kala itu berangkat dengan truk. Sedang Soeharto sendiri menggunakan sepeda motor.
Di atas sepeda motor ia mampu memberikan komando untuk menyerang serdadu Jepang di lapangan udara. Aksi heroik yang bertepatan dengan Pertempuran Lima Hari di Semarang itu berbuah manis. Pasukan Soeharto (yang kemudian jadi Batalion X) dapat menguasai Maguwo dan dapat melucuti semua senjata milik Jepang, termasuk beberapa pesawat terbang.
Kesukaan Soeharto menggunakan sepeda motor pun diakui banyak orang. Des Alwi yang dikenal sebagai anak angkat Sutan Sjahrir pun turut menyaksikannya. Ia bahkan menilai Soeharto sebagai sosok pengendara motor dan pejuang sejati.
“Ada seorang pemuda pejuang yang menarik perhatian saya selama tinggal di Pathuk (Yogyakarta). Ya, dialah Soeharto, orangnya tak banyak bicara. Dia cerdas, kalem, tapi dengan wajah yang tampan ia sangat mudah menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.”
“Kami sering makan tongseng bersama. Saya juga menyaksikan Soeharto muda bersama seorang temannya memperbaiki sepeda motor rusak peninggalan tentara Jepang. Setelah motor itu dapat berjalan lalu mereka berdua mengendarainya berkeliling Pathuk,” cerita Des Alwi dalam buku Pak Harto: The Untold Stories (2011).