JAKARTA - Sepeda pernah populer sebagai transportasi unggulan di Nusantara. Orang-orang menyebut kehadiran sepeda yang kerap dijuluki sebagai 'kereta angin' sebagai simbol modernitas. Eksistensi itu membuat pemerintah Indonesia melanjutkan agenda menarik pajak sepeda peninggalan penjajah Belanda. Peneng, namanya.
Agenda penarikan pajak itu langgeng dari Indonesia merdeka. Kehadiran pajak sepeda pun jadi bukti bahwa pengendara sepeda ikut bangun negeri. Pun sebagai bentuk bukti pemerintah Indonesia pernah mengakui sepeda sebagai alat transportasi andal.
Kehadiran sepeda pernah disambut dengan gegap gempita. Kereta angin itu pertama kali dikenal di era pemerintah kolonial hindia Belanda, atau pada 1880-an. Segala macam suku bangsa di Nusantara menganggap sepeda sebagai simbol kemajuan zaman. Namun, tak semua dapat memilikinya.
Sepeda kala itu jadi barang mahal. Pun dianggap sebagai simbol kekayaan. Mereka yang tergolong orang kaya dan sangat saja yang dapat mengakses sepeda. Narasi itu membuat seisi Nusantara kepincut ingin memiliki sepeda, sekalipun cuma mimpi.
Semuanya berubah kala sepeda dengan ragam merek menyerbu Nusantara. Sepeda kemudian mampu dibeli kalangan priayi dan setingkatnya. Sekalipun sepeda-sepeda yang beredar belum nyaman digunakan seperti era sekarang.
Merek-merek yang banyak diminati kala itu terbatas pada Fongers, Batavus, Sparta, Gazelle, Humber, Phillips, Raleigh, Goricke, dan Fahrrad. Sepeda-sepeda itu didatangkan langsung dari berbagai belahan dunia. Dari Eropa hinga Amerika Serikat.
Pemerintah kolonial pun tak mau kalah. Sepeda jadi inventaris penting di pemerintahan. Gema sepeda pun meluas di kota-kota besar. Kuasa itu membuat penjualan sepeda melonjak. Mereka yang memiliki sepeda niscaya akan bangga. Apalagi, kalangan kaum bumiputra. Derajat kaum bumiputra akan menanjak karena memiliki sepeda.
“Sepeda menjadi salah satu simbol modernitas bagi masyarakat di Hindia-Belanda. Hal itu ditandai dengan diboyongnya sepeda dalam maupun di luar studio untuk ikut diabadikan, menjadi bukti modernitas bagi hampir seluruh masyarakat di Hindia-Belanda. Sebuah foto koleksi KITLV Leiden yang diperkirakan dibuat pada 1920-an memperlihatkan lima orang pemuda bumiputra bergaya dengan sepeda.”
BACA JUGA:
“Dua orang dalam posisi duduk bersila dan tiga orang berdiri. Pria di tengah memegang sepeda. Kelima pemuda mengenakan jas tutup, pantalon berwarna terang. Semuanya mengenakan penutup kepala peci berwarna gelap. Ketiga pria yang berdiri mengenakan sepatu, sedangkan dua pria yang duduk bersila tanpa alas kaki. Pria yang duduk di sebelah kiri foto tampak mengenakan kain atau celana bermotif batik. Menurut keterangan yang menyertai foto, mereka berpose di Rafflesplein (lapangan Raffles) di depan kediaman residen Bengkulu,” terang Sejarawan Achmad Sunjayadi dalam tulisannya di Harian Kompas berjudul Melaju dan Berpose dengan Kereta Angin di Hindia Belanda (2022).
Pajak Sepeda
Pemerintah kolonial tak diam saja melirik eksistensi sepeda di jalanan Nusantara. Ide untuk melanggengkan pajak sepeda diterapkan. Barang siapa yang memiliki sepeda harus membayar sejumlah uang peneng (iuran).
Eksistensi sepeda mulai dilirik pemerintah kolonial. Empunya kuasa berpikir dapat ambil untung dari pengendara sepeda. Pajak sepeda pun digulirkan untuk pembangunan. Kondisi itu berlangsung juga di era kuasa Jepang. Namun, Jepang menjadikan uang peneng justru untuk dana perang.
Pajak sepeda tak lantas dilupakan kala Indonesia merdeka. Uang peneng terus dilanggengkan. Sepeda dianggap masih jadi transportasi primadona. Apalagi, pemilik mobil dan motor masih relatif sedikit. Mau tak mau sepeda jadi buruan.
Pemerintah Indonesia menarik pajak sepeda bak seperti pajak motor zaman kekinian. Pajak itu dibayar tiap tahun yang digunakan untuk pembangunan daerah. Awal tahun biasa orang-orang berbaris membawa sepeda untuk membayar pajak di Balai Kota, atau tempat lainnya.
Pun pajaknya yang digulirkan era 1950-an berbeda antara satu daerah dengan lainnya. Dari Rp30 hingga Rp50. Mereka yang membayar nantinya akan ditempel batangan di muka sepeda. Fungsi batangan itu untuk membedakan mana yang sudah membayar dan mana yang belum.
Barang siapa yang sudah membayar akan terbebas dari razia. Sedang yang belum bayar peneng akan terkena razia. Sanksinya adalah bayar denda. Kondisi itu berlangsung hingga 1970-an. Setelahnya, pajak sepeda mulai tak dilirik dan digantikan dengan memajaki transportasi lainnya.
“Pemilik sepeda pada 1950-an diharuskan membayar pajak setiap tahun. Kalau sudah membayar, maka setiap sepeda diberikan peneng (dari bahasa Belanda penning atau iuran) yang ditempel di batangan muka sepeda.”
“Orang-orang terutama anak-anak sekolah, mengantre dengan sepedanya di balai kota (atau haminte) di Jalan Kebon Sirih untuk membayar peneng. Ini membuktikan masyarakat waktu itu relatif lebih disiplin daripada zaman sesudahnya. Paling tidak dalam membayar pajak sepeda,” ungkap Firman Lubis dalam buku Jakarta 1950-1970 (2018).