Drama Pilpres 2019: Hoaks Ratna Sarumpaet Mengaku Dikeroyok Hingga Bonyok
Ratna Sarumpaet di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 11 Juli 2019. Ratna pun divonis dua tahun penjara karena penyebaran hoaks dikeroyok saat Pilpres 2019. (Antara/ Sigid Kurniawan)

Bagikan:

JAKARTA - Daya tarik kontestasi politik sekelas Pemilihan Presiden (Pilpres) begitu tinggi. Adu gagasan dari para calon pemimpin bangsa kian menghangatkan suasana. Dalam Pilpres 2019, misalnya. Pilpres 2019 kesohor pula 'menghadirkan' drama bak sinetron.

Drama tak saja menyoroti rivalitas Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto saja, tapi juga simpatisannya. Drama dilanggengkan oleh Ratna Sarumpaet, aktivis yang jadi bagian dari tim pemenangan Prabowo-Sandi. Ia pernah membuat heboh dikeroyok orang tidak dikenal hingga babak belur.

Pesta rakyat Pilpres tak pernah kehilangan daya tariknya. Sekalipun komposisi Capres yang melaju tak jauh berbeda dari kontestasi politik sebelumnya. Kondisi itu terlihat pada Pipres 2019. Mesin politik dari partai-partai pengusung tak ingin ambil pusing.

Sosok yang memiliki popularitas tinggi segera diangkat sebagai Capres. Langkah itu diambil oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Partai berlambang banteng itu langsung memilih Jokowi. Sosok Jokowi dianggap tak pernah kalah sekalipun dalam kontestasi politik.

Jokowi sudah terbukti unggul dalam Pilwalkot Solo, Pilgup DKI Jakarta, dan Pilpres 2014. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) tak mau kalah. Petinggi Gerindra, Prabowo Subianto kembali dicalonkan sebagai Capres.

Ratna Sarumpaet dijenguk Fadli Zon sebagai pihak yang ikut menyebarkan hoaks bahwa Ratna dipukuli orang tak dikenal di Bandung. (Twitter/@fadlizon)

Kehadiran Jokowi dan Prabowo dianggap jaminan berkurangnya drama dalam pelaksanaan Pilpres 2019. Nyatanya, jauh panggang dari api. Drama bak sinetron terus mengiringi persiapan kontestasi politik.

Boleh jadi proses pemilihan Capres berjalan mulus tanpa hambatan. Namun, penetapan Cawapres justru memunculkan drama. Rakyat Indonesia bak disajikan kisah yang melibatkan konflik dan emosi. Jokowi secara tak terduga memilih Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) era 2015-2020, Ma’ruf Amin sebagai Cawapres.

Padahal, nama Mahfud MD lebih dulu digadang-gadang mendampingi Jokowi. Kubu Prabowo, apalagi. Ulama kesohor Ustaz Abdul Somad (UAS) dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sempat disebut-sebut akan mendampingi Prabowo sebagai Cawapres.

Keputusan akhir kubu Prabowo justru memilih nama pengusaha yang juga politikus, Sandiaga Uno. Tontonan itu bak drama yang panjang.

“Di tengah kebimbangan itu, Prabowo kemudian berinisiatif untuk mengangkat Sandiaga Salahuddin Uno sebagai pendampingnya di pertarungan Pilpres kali ini. Sama dengan Ma’ruf Amin, Sandiaga Uno bukanlah sosok yang ramai diperbincangkan dalam bursa kandidat selama ini.”

“Namun demikian, keputusan Prabowo itu diterima oleh seluruh partai koalisi pendukungnya, termasuk Demokrat, yang sebelumnya amat berharap AHY dapat menjadi Cawapres Prabowo. Meski beberapa kader partai berlambang Mercy ini sempat menyarakan kekesalannya, namun belakangan dukungan partai ini kepada Prabowo tidak berubah. Sebagaimana kubu Jokowi, keputusan itu diambil dengan cepat dan melibatkan sedikit sekali orang,” terang Firman Noor dalam buku Partai Politik dan Pemilu Serentak 2019: Kandidasi dan Koalisi (2021).

Hasil Operasi Plastik

Panasnya tensi drama Pilpres tak melulu hadir dari pemilihan Capres-Cawapres. Mereka yang notabene individu dalam tim pemenangan kedua kubu kadang kala melanggengkan drama versinya masing-masing. Aktivis Ratna Sarumpaet, misalnya.

Sosok yang menjadi bagian dari tim pemenangan Prabowo-Sandi sempat menghebohkan seisi Indonesia. Ia pernah melanggengkan narasi bahwa ia dianiaya oleh tiga orang tak dikenal. Penganiayaan itu diklaim terjadi di dekat Bandara Udara Husein Sastranegara, Bandung, Pada 21 september 2018.

Wajah Ratna tampak babak belur. Solidaritas dari tim penenangan Prabowo-Sandi berdatangan. Mereka mengecam tindakan tersebut. Prabowo sendiri, apalagi. Tindakan penganiayaan itu dianggap keji. Pun Prabowo menyebut kasus itu ancaman serius terhadap demokrasi.

Narasi itu diungkap Prabowo karena Ratna terhitung jadi bagian dari kubunya. Namun, penganiayaan terhadap ratna justru menimbulkan pro dan kontra. Banyak pula yang tak yakin Ratna keroyok.

Ahli kecantikan pun banyak yang angkat bicara. Pihak berwajib mencoba melanggengkan penyidikan supaya tuduhan tak memunculkan fitnah. Penyidikan dilanggengkan. Hasilnya seperti yang diduga orang banyak.

Hoaks Pilpres 2019 yang disebarkan Ratna Sarumpaet dengan mengaku wajahnya bonyok karena dikeroyok di Bandung, padahal hasil operasi plastik di Jakarta. (Istimewa) 

Ratna bonyok bukan karena dikeroyok, tapi habis operasi plastik. Kejadian operasi plastiknya di Jakarta. Ratna pun dianggap telah menyebarkan berita bohong yang dianggap bertujuan menyerang kubu sebelah. Sebagai bentuk tanggung jawab, Ratna akhirnya ditangkap dan dihukum penjara. Kisah itu jadi bukti bahwa Pilpres 2019 tak luput dari drama.

“Motif politik elektoral di balik kebohongan Ratna tampak terang-benderang. Dia mengklaim dianiaya tiga orang tak dikenal di dekat Bandar Udara Husein astranegara, Bandung, pada 21 September lalu. Tapi yang dilapori Ratna bukan polisi, melainkan teman-teman politikusnya dan calon presiden Prabowo Subianto. Kubu Prabowo kemudian menggelar konferensi pers yang mengutuk keras penganiayaan terhadap Ratna.”

“Kebohongan itu terkuak setelah polisi mengungkap hasil penyelidikannya. Bonyok di wajah seniman teater itu ternyata efek dari operasi plastik di sebuah klinik kecantikan di Jakarta. Ratna sendiri alhirnya mengakui hal tersebut-ulah yang menyebabkan ia dipecat sebagai juru kampanye pasangan Prabowo-Sandiaga Uno. Drama memalukan ini masih berlanjut karena polisi terus mengusut kasus Ratna,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Jebakan Hoaks Ratna Sarumpaet (2018).