Tanam Paksa Jadi Ladang Korupsi Kepala Desa Masa Hindia Belanda
Sederet pejabat bumiputra (inlands bestuur) yang bekerja untuk penjajah Belanda. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Ketergantungan penjajah Belanda kepada kaum bumiputra tak terbantahkan. Mereka menggunakan kaum priayi untuk melanggengkan kekuasaan. Kaum priayi itu dijadikan antek-antek Belanda: pejabat bumiputra. Kepala desa, salah satunya.

Jabatan itu membuat mereka memiliki kuasa menarik pajak. Tujuannya untuk memperkaya tuan kulit putih dan tentu saja dirinya. Laku hidup korup itu berlangsung cukup lama. Alih-alih hanya tilap jatah pajak, kepala desa juga kerap tilap uang zakat umat Muslim.

Citra kaum bumiputra tak pernah baik di mata penjajah Belanda. Kondisi itu berlangsung sejak masa pemerintahan maskapai dagang Belanda, VOC. Kaum bumiputra dicap sedemikian buruk. Dari dianggap tak dapat bekerja dengan baik hingga suka perang.

Narasi itu membuat penjajah Belanda tak ingin menggunakan jasa kaum bumiputra dalam pemerintahan. Bahkan, kaum bumiputra ditempatkan dalam strata terendah. Perubahan baru muncul kala VOC bangkrut dan digantikan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda.

Pola pikir penjajah masa lalu coba ditanggalkan. Segala macam narasi yang menganggap buruk kaum bumiputra mulai direduksi. Sekalipun tetap rasis. Penjajah Belanda menyadari penjajahan takkan berhasil tanpa bantuan dari kaum bumiputra sendiri.

Para kaum bumi putra yang menjabat sebagai kepala desa di era Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

Semenjak itu politik merangkul ala penjajah Belanda dilanggengkan. Banyak kaum bumiputra dijadikan inlands bestuur atau pejabat bumiputra. Kepala desa, utamanya. Jabatan kepala desa pun jadi primadona, walau mereka tak digaji langsung oleh Belanda.

Mereka mendapatkan kuasa besar sebagai penarik pajak kaum bumiputra. Setiap pajak yang ditarik, kepala desa mendapatkan persenan yang besar. Mereka juga memiliki kuasa untuk menilap setiap pajak yang ditarik.

Narasi itu kian meningkat kala era Tanam Paksa (1830-1870) terjadi. Kepala desa bak ketiban durian runtuh. Mereka untung besar, di tengah kondisi kaumnya diperas bak sapi perah. Kondisi itu membuat posisi kepala desa jadi rebutan. Barang siapa yang dapat menjadi kepala desa, mereka dapat memangku jabatan itu seumur hidup.

“Umumnya, seorang kepala dipilih setiap tahun atau tiap tiga tahun, meskipun pejabat lama bisa dipilih kembali dan seringkali menjabat seumur hidup, atau digantikan oleh putranya. Pemilihan hanya suatu konfirmasi atas kedudukannya bagi penduduk. Begitu terpilih, kepala desa bisa mendapatkan kepercayaan dan pengaruh, baik bagi dirinya maupun keluarganya.”

“Pemilihan ini bisa disalahgunakan, sehingga kedudukan seorang kepala desa sebetulnya lebih bergantung pada bupati dibandingkan penduduk desa. Bupati dapat dengan mudah menurunkan seorang kepala desa, dan demi kepentingan pribadinya mengadakan pemilihan ulang untuk menyingkirkan seorang kepala desa,” ungkap Ong Hok Ham dalam buku Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priayi dan Petani di Keresidenan Madium Abad XIX (2018).

Tilap Pajak dan Zakat

Kepala desa kerap melanggengkan kuasanya di era Taman Paksa. Mereka jadi kaki tangan Belanda yang memastikan segala macam tanaman kualitas ekspor ditanam penduduk desa. Mereka juga diberi kuasa untuk meneror siapa saja yang tak melanggengkan titah penjajah.

Tugas itu membuat kantong kepala desa penuh dengan gemercik uang. Kantong kepala desa kian gemuk karena mereka tetap menarik pajak desa. Kemudian, mereka juga mendapatkan hak mengelola tanah lungguh –tanah milik desa—yang digunakan untuk membiayai gajinya.  

Sederet peran itu tak lantas membuat kepala desa berpuas diri. Mereka terus melangengkan agenda mencari celah-celah pemasukan. Mereka kadang kala ditugasi oleh ulama setempat untuk menarik zakat dari kaum bumiputra Muslim.

Kegiatan itu memang terhitung efektif. Sebab, kepala desa mampu mendatangi dan mengetahui mereka yang wajib zakat. Masalah muncul. Penarikan zakat itu bukan atas dasar suka rela. Mereka tetap meminta imbalan yang setimpal. Kalaupun tak meminta, mereka akan menggelapkan zakatnya sendiri.

Tanam paksa di Priangan pada era awal 1900-an yang menjadi ladang korupsi para kepala desa. (Leiden University Libraries)

Kondisi itu berlangsung secara turun-temurun. Citra kepala desa jadi kian buruk. Pertama, karena mereka antek Belanda. Kedua, karena mereka melanggengkan korupsi, bahkan urusan kepentingan agama saja mereka mampu menilapnya.

“Bahwa kepala desa menikmati sebagian dari zakat dan fitrah yang masuk, merupakan suatu hal yang lazim karena alasan yang masuk akal, sebelum adanya campur tangan pihak pemerintah Eropa dalam urusan ini, dan juga jika para pejabat pribumi pun tetap tidak mencampuri sama sekali urusan tersebut. Menjadi pertanyaan, apakah Pemerintah Pusat pada tahun 1866 cukup bijaksana ketika dalam keadaan apa pun mencabut kenikmatannya atas sekadar bagian penghasilan itu.”

“Bagaimanapun, larangan itu sudah telanjur dikeluarkan. Jadi, ketika pada tahun 1897 para kepala desa ternyata telah sejak sepanjang ingatan manusia menikmati bagian tersebut, maka terbuktilah bahwa Pemerintah Daerah kurang menegakkan peraturan,” terang Snouck Hurgronje dalam buku Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936 (1992).