Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, delapan tahun yang lalu, 28 Oktober 2015, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menegaskan dua faktor yang menyebabkan maraknya aksi terorisme di Indonesia. Faktor itu antara lain ketidakadilan yang dilanggengkan empunya kuasa. Sisanya, pemahaman agama yang keliru.

Sebelumnya, aksi teror kerap terjadi pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Aksi peledakkan bom di Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton 2009 jadi contohnya. Aksi itu mengganggu stabiltas nasional dan memanen rasa takut.

Penyelenggaraan Pilpres 2009 pernah disambut dengan gegap gempita. Seisi Indonesia pun mulai melanggengkan haknya untuk memilih calon pemimpin Indonesia di masa depan. Namun, petaka muncul.

Indonesia yang sedang menjalankan pesta rakyat dipaksa bersedih. Kesedihan itu muncul dari ledakan bom yang terjadi di lingkar Mega Kuningan, Jakarta pada 17 Juli 2009. Pelaku teror (teroris) bak mengarahkan serangannya kepada Hotel JW Marriott dan Ritz Carlton.

Sembilan orang meninggal dunia dalam peristiwa itu. Dua di antara adalah pelaku pengeboman. Pun ratusan orang lainnya luka-luka. Seisi Indonesia kemudian mengutuk aksi pengeboman.

Efek ledakan bom di Hotel JW Marriot, Mega Kuningan, Jakarta pada 17 Juli 2009. (BBC Indonesia) 

Serangan itu dianggap sudah terencana. Apalagi, JW Marriot pernah jadi target peledakan bom pada 2003. Pengeboman di lingkar Mega Kuningan segera membawa narasi ketakutan. Banyak orang ketakutan untuk keluar rumah. Bahkan, klub sepak bola asal Inggris, Manchester United batal main di Indonesia.

Pemerintahan SBY pun tak diam saja. SBY meminta seluruh jajarannya. Dari TNI dan Polri untuk waspada terhadap aktivitas terorisme. Upaya itu dilanggengkan sebagai bentuk upaya pencegahan. Setelahnya, SBY berjanji akan menindak tegas seluruh pelaku pengeboman. Dari otak hingga eksekutor.

Langkah itu diambil sebagai bagian supaya rakyat Indonesia tak hidup dalam ketakutan. SBY pun mengimbau kepada rakyat Indonesia supaya beraktivitas normal seperti sedia kala. Langkah itu supaya tidak memuluskan teror yang dilanggengkan teroris.

“Dengan aksi-aksi teror yang keji dan tidak bertanggungjawab ini, apa yang telah kita bangun hampir lima tahun terakhir ini oleh kerja keras dan tetesan keringat seluruh rakyat Indonesia, lagi-lagi harus mengalami goncangan dan kemunduran. Lagi-lagi dampak buruknya harus dipikul oleh seluruh rakyat Indonesia, minus mereka-mereka yang melakukan tindakan yang tidak bertanggungjawab itu. Oleh karena itu kebenaran dan keadilan serta tegaknya hukum harus diwujudkan.”

“Saya bersumpah, demi rakyat Indonesia yang sangat saya cintai, negara dan pemerintah akan melaksanakan tindakan yang tegas, tepat, dan benar terhadap pelaku pemboman ini, berikut otak dan penggeraknya, ataupun kejahatan-kejahatan lain yang mungkin atau dapat terjadi di negeri kita sekarang ini,” terang SBY sebagaimana dikutip laman Sekretariat Negara, 21 Juli 2009.

Menteri Agama RI 2014-2019, Lukman Hakim Saifuddin. (Antara/Sigid Kurniawan)

Banyak pihak pun berspekulasi terkait faktor-faktor penyebab suatu kelompok melanggengkan teror. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, misalnya. Ia yang notabene terpilih dari era SBY kemudian baru dilantik kembali era Presiden Jokowi mulai mempelajari mengapa teror sering terjadi di Indonesia.

Ia menganggap ada dua faktor yang menyebabkan aksi terorisme. Pertama, ketidakadilan. Kedua, terpengaruh paham agama yang dipelajari secara tidak pas. Kata lainnya mereka memahami perintah agama jihad tak secara luas, tapi sempit.

Pandangan itu diutarakan Lukman pada Seminar dan Dialog Peran Generasi Muda dalam Pencegahan Terorisme yang diselenggarakan oleh BNPT di JEC Yogyakarta pada 28 Oktober 2015. Karenanya, aksi pencegahan terorisme seharusnya dapat diredam jika faktornya ketahuan.

“Perasaan diperlakukan tidak adil, baik secara sistem hukum maupun kebijakan negara. Itu yang membuat mereka merespons dengan melakukan aksi teror. Misalnya jihad, dijadikan justifikasi aksi teroris. Jihad artinya sungguh-sungguh. Bukan hanya berperang, melainkan melakukan kebaikan bagi orang lain," kata Menag, Lukman Hakim Saifuddin sebagaimana dikutip Kompas.com, 28 Oktober 2015.