JAKARTA - Transportasi umum di era penjajahan Belanda serba terbatas. Apalagi untuk mengangkut manusia dan barang dalam jumlah besar. Pemerintah kolonial Hindia Belanda pun putar otak. Mereka membangun banyak jalur kereta api.
Ajian itu berhasil membawa kemaslahatan bagi segenap rakyat di Hindia Belanda. Kaum bumiputra, utamanya. Mereka menyambut kehadiran kereta api dengan gegap gempita. Sekalipun mereka harus menerima rasisme dan menghuni gerbong kelas kambing.
Perpindahan manusia dan barang dalam jumlah yang besar sempat dianggap angan-angan tinggi di Hindia Belanda. Terbatasnya transportasi umum di Hindia Belanda jadi musabab. Kalaupun ada, transportasi umum masih terbatas kepada kereta kuda dan kapal yang notabene tak dapat mengakses daerah pelosok.
Kondisi itu cukup menyulitkan Belanda untuk meraih keuntungan yang cukup besar dari perdagangan hasil bumi. Pun kendalanya mulai terasa di zaman awal tanam paksa (1830-1870) di Pulau Jawa. Belanda kesulitan mengirimkan tanaman kualitas ekspor dalam jumlah besar sekaligus. Tanaman itu antara lain tebu, kopi, cengkeh, kayu manis, lada, beras, gula, dan tembakau.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda tak tinggal diam. Masalah transportasi massal jadi fokus mereka seiring raihan keuntungan besar dari tanam paksa. Alih-alih Belanda hanya menggunakan keuntungan tanam paksa untuk membangun negeri Belanda, keuntungan itu digunakan pula untuk membangun negeri koloni.
Inisiasi menghadirkan kereta api di Hindia Belanda digulirkan. Mereka terpaksa bergerak supaya keuntungan makin meningkat. Kereta api kala itu dianggap satu-satunya opsi untuk melipatgandakan keuntungan Belanda dari tanam paksa. Pembangunan banyak jalur kereta api pun dimulai sejak 1842.
“Kebijakan kolonial Belanda juga mengalami perubahan menyeluruh, Di zaman VOC dan Sistem Tanam Paksa, kepemilikan di Nusantara dipandang menjadi bagian penaklukan, yang sebisa mungkin harus menguntungkan negara-asal. Namun sekarang, garis tajam ditarik di antara keuangan dua negara, dan keseimbangan tepat tak perlu lagi ditambahkan ke anggaran Belanda.”
“Dengan memiliki bendahara sendiri, Pemerintah Hindia Belanda kini bisa memberi perhatian penuh pada masalah-masalah kemakmuran wilayahnya di tempat pertama. Dan sejak saat itu, biaya besar telah dihabiskan untuk sarana perekonomian Hindia Belanda (pelabuhan, jalan kereta api, dan sebagainya), juga untuk mendorong perkembangan material dan spiritual penduduk bumiputra (pendidikan, kesehatan umum, dan lain-lain),” terang J. Stroomberg dalam buku Hindia Belanda 1930 (2018).
Kereta Api Jadi Primadona
Kehadiran kereta api tak melulu membawa kemajuan ekonomi belaka. Kadang juga kereta api dianggap sebagai bentuk kemenangan manusia akan waktu. Mobilitas manusia menjadi meningkat. Karenanya, kehadiran disambut dengan gegap gempita.
Kereta api kemudian menjelma sebagai transportasi umum primadona di Hindia Belanda. Tiada yang tak ingin memanfaatkan kereta api. Semua suku bangsa menikmati kehadiran kereta api. Dari orang Eropa hingga kaum bumiputra. Buktinya, tiap tahun penumpang kereta api kerap meningkat tajam.
Utamanya di kalangan bumiputra. Kehadiran kereta api dianggap laksana berkah dari yang maha kuasa. Adanya kereta api dapat membuat mereka berpergian dari satu tempat ke tempat lainnya dengan cepat. Hemat biaya dan waktu pula.
Apalagi kaum bumiputra memanfaatkan sarana kereta api dengan kebutuhan beragam. Antara lain pergi bekerja, menemui saudara jauh, hingga bersenang-senang. Lagi pula kaum bumiputra dapat membawa barang bawaan –kadang pula binatang peliharaan seperti kambing atau ayam-- yang bejibun. Bahkan, sampai 50 kilogram atau lebih.
Mereka menyambut kehadiran kereta api dengan penuh syukur. Sekalipun kaum bumiputra hanya boleh menempati gerbong kelas tiga. Oleh orang Belanda yang bebas menempati gerbong kelas satu dan dua, gerbong kaum bumiputra kerap dijuluki dengan sinis sebagai gerbong kelas kambing.
“Dalam 1904, sebuah komisi penyelidikan khusus pemerintah melaporkan bahwa jumlah penumpang di kelas satu ("Eropa") kereta api Hindia Belanda naik sebesar 4.000 selama 3 tahun terakhir; di kelas dua ("orang Eropa yang berpendapatan rendah" dan pribumi kelas atas) jumlah penumpang naik 33.000. Tidak begitu banyak sebenarnya.”
“Di kelas tiga ("pribumi"), bagaimanapun (atau kelas kambing, sebagaimana biasa disebut), kenaikannya adalah 550.000. Komisi itu tidak menyembunyikan keterkejutannya: Pemanfaatan kereta api dan trem oleh orang kecil/kleine man (istilah Belanda untuk rakyat, orang jalanan, bumiputra) naik lebih cepat dari dugaan semula,” ungkap Rudolf Mrázek dalam buku Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni (2006).