Bagikan:

JAKARTA - Kereta api mampu menjelma sebagai transportasi primadona di era Hindia Belanda. Seisi Nusantara pun memanfaatkan dengan maksimal. Dari orang Belanda hingga kaum bumiputra. Namun, bukan berarti seluruh etnis dapat bercampur baur dalam satu gerbong.

Pemerintah kolonial justru membaginya ke dalam beberapa kelas. Kaum bumiputra diperlakukan rasis dan hanya boleh menempati gerbong kelas tiga. Sedang orang Belanda dapat menikmati gerbong kelas satu dengan fasilitas lengkap. Kursinya lega pula.

Transportasi darat era penjajahan Belanda terkenal terbatas. Tiada angkutan yang mampu membawa barang dan manusia dalam jumlah yang banyak. Masalah transportasi itu membuat biaya dan waktu yang dikeluarkan tak sepadan.

Semuanya berubah ketika jalur-jalur kereta api mulai banyak dibangun di seantero nusantara sejak 1842. Kehadiran kereta api disambut dengan gegap gempita. Seisi Nusantara ingin mencicipi sensasi naik kereta api. Apalagi jumlah barang dan manusia yang diangkut cukup banyak.

Orang-orang kemudian menyebut kehadiran kereta api sebagai bentuk kemenangan manusia akan jarak dan waktu. Kehadiran kereta api pun disyukuri oleh kaum bumiputra. Mereka jadi dapat pelesiran ke mana-mana.

Salah satu kursi lega kereta api kelas satu di era Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

Mereka dapat membawa banyak barang bawaan dan juga hewan (kambing dan ayam utamanya). Keuntungan itu membuat kaum bumiputra sebagai penumpang kereta terbanyak dibanding suku bangsa lainnya. Dari orang Eropa hingga China.

Namun, keuntungan yang didapat nyatanya menyimpan nestapa. Pemerintah kolonial Hindia Belanda punya maksud tidak baik dengan menentukan kaum bumiputra hanya boleh menempati kelas tiga. Sebab, kelas itu membuat derajat kaum bumiputra disamakan dengan binatang. Gerbong yang padat, bau hewan, dan semrawut.

“Padahal sesuai dengan peraturan perkeretaapian yang ditetapkan oleh Staatspoor-Wegen (SS) sebagai perusahaan kereta api negara, penumpang kereta api dibagi menurut tinggi rendahnya status sosial, kemampuan ekonomi, dan warna kulit penanda etnisitasnya.”

“Untuk gerbong kelas satu hanya khusus diperuntukan bagi warga elit kulit putih Eropa; untuk gerbong kelas dua diperuntukan bagi orang-orang Indo berpendapatan rendah, orang-orang Timur Asing Cina dan Arab, serta pribumi kelas atas; sedangkan untuk gerbong kelas tiga diperuntukkan bagi rakyat jelata pribumi (kleine man) yang disebut sebagai kelas kambing (yang menyetarakan pribumi jelata dengan hewan kambing),” terang Bedjo Riyanto dalam buku Siasat Mengemas Nikmat (2019).

Gerbong Kelas Satu

Beda kaum bumiputra, beda orang Belanda. Tuan-tuan kulit putih itu mampu mendapatkan seluruh keinginan mereka di Nusantara. Alih-alih hanya mendapatkan kehormatan sebagai warga kelas satu, mereka juga diistimewakan dalam banyak hal.

Aturan hanya orang Belanda menempati gerbong kelas satu kereta api, misalnya. Boleh jadi bayarannya yang ditarik sedikit mahal di banding kelas lainnya. Namun harga itulah yang membuat istimewa gerbong kelas satu.

Gerbong kelas satu adalah kebalikan dari gerbong kelas kambing (kelas tiga). Orang Eropa yang menempati gerbong kelas satu akan mendapatkan pengalaman yang tiada dua. Seisi gerbong kelas satu dipenuhi dengan fasilitas mempuni dan petugas yang siap sedia membantu. Dari urusan sirkulasi udara hingga tempat duduk yang lega.

Tempat duduk itu berbeda dengan yang didapat kaum bumiputra. Kursi itu terasa nyaman dengan material kelas atas dan tata letak yang manusiawi. Fasilitas itu yang segenap orang Eropa begitu menikmati perjalanan dengan kereta, utamanya untuk berlibur ke suatu tempat.

Padat dan semrawutnya isi kereta api gerbong kelas tiga di era Hindia Belanda. (Wikimedia Commons)

Bukan berarti banyaknya fasilitas untuk kelas satu tak luput dari masalah. Pejabat Belanda kerap merasa kelas satu dan dua harus direnovasi fasilitasnya. Semuanya karena meskipun menempati kelas satu, orang Eropa tetap berada dalam satu kereta dengan irama hingga guncangan tetap sama.

“Sekarang ini, akomodasi di kelas satu dan dua meninggalkan sedikit hal saja yang masih diinginkan. Pendinginan di gerbong-gerbong baru itu luar biasa, dan ruang duduknya begitu hebat sehingga merupakan kenikmatan besar duduk di situ. Terkadang saya bahkan bertanya-tanya, apakah dalam hal ini kita tidak melangkah terlampau jauh.”

“Per-per tempat duduk itu sedemikian baiknya sehingga sebetulnya orang tak dapat membaca dengan tenang lagi. Sewaktu Anda duduk dengan dengan buku Anda, Anda terayun dan terguling, ke atas, ke bawah, dan ke mana-mana sepanjang waktu, sehingga keuntungan terbesar perjalanan kereta dapat hilang,” terang Pejabat Hindia Belanda, Van Helsdingen sebaimana dikutip Rudolf Mrazek dalam buku Engineers of Happy Land (2006).