Bagikan:

JAKARTA – Memori hari ini, 15 tahun yang lalu, 27 Mei 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mencanangkan kebangkitan jamu Indonesia. Ia pun menjadikan jamu sebagai ‘Brand’ Indonesia. Pencanangan itu dilanggengkan sebagai bentuk komitmen Indonesia memperkenalkan jamu kepada dunia.

Sebelumnya, pengobatan tradisional dengan jamu dianggap sebagai warisan kebanggaan Indonesia. Jamu mampu menjadi alternatif pengobatan kala obat-obatan dari barat mahal atau langka.

Pengobatan tradisional dengan ramuan jamu selalu jadi alternatif di Nusantara. Bahkan, sejak zaman Indonesia terjajah Belanda. Kehadiran Belanda yang memperkenalkan pengobatan ala barat tak lantas membuat minat akan jamu luntur.

Apalagi jamu tak melulu dianggap memiliki khasiat untuk dapat menyembuhkan penyakit, tetapi juga mamu membantu dunia spiritual hingga seksual. Pengobatan dengan jamu pun perlahan-lahan mulai disukai oleh orang Eropa di Nusantara.

Semuanya karena jamu mudah ditemukan. Pun mereka dapat menanam bahan-bahan jamu di rumahnya masing-masing. Jika tiba waktunya, bahan jamu dapat dipanen dan diolah menjadi sebuah obat yang berkhasiat.

Jamu tradisional Indonesia. (Wikimedia Commons)

Gairah pengobatan dengan jamu tak lantas luntur ketika masuk fase penjajahan Jepang. Kondisi ekonomi yang morat-marit setelah kedatangan Jepang jadi muaranya. Fase itu membuat ketersediaan masakan hingga obat-obatan menjadi terbatas.

Namun, dokter-dokter bumiputra tak terlalu pusing. Mereka kemudian mengandalkan jamu sebagai alternatif sementara obat-obatan masih langka. Kondisi itu diamini pula oleh dokter pribadi pejuang kemerdekaan Soekarno-Hatta, R. Soeharto. Ia malah sering mempergunakan jamu dalam praktiknya dan berhasil.

“Dalam memberikan obat di zaman pendudukan Jepang itu saya sering mempergunakan ramuan jamu berdasarkan resep dari berbagai Kruidenboek, buku rempah obat-obatan, karangan Paesens, Kloppenburg Versteeg dan lain-lain. Untuk menyiapkan ramuannya saya menggunakan tenaga seorang pembuat jamu.”

“Jenis ramuan yang dapat dikeringkan, atau dapat diberikan dalam bentuk bubuk dan pil, serta awet dalam beberapa hari. tenyata di antara ramuan jamu itu banyak yang mengandung daya antipiretik dan analgesik, penurunan panas dan pereda rasa nyeri, dan banyak pula yang dapat mengurangi atau menghentikan diare, mencret, batuk, dan penyakit lain,” terang R. Soeharto dalam buku Saksi Sejarah (1984).

Pamor jamu sedikit meredum kala Indonesia merdeka. Kemajuan di antara dunia kedokteran jadi musababnya. Obat-obatan pun kemudian mudah didapat dan dijual murah. Karenanya, jamu menjadi kesulitan untuk bersaing. Sekalipun banyak perusahaan jamu yang muncul.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang pernah menjabat sebagai Presiden Indonesia dari 2004-2014. (Facebook Susilo Bambang Yudhoyono)

Pemerintahan Presiden SBY tak ingin hal itu terjadi. Ia melihat jamu sebagai warisan yang harus tetap lestari. Ia juga memiliki mimpi supaya jamu dapat dikenal di seluruh penjuru dunia. Keinginan itu tak hanya sebatas omongan belaka.

SBY kemudian aktif mendukung eksistensi perusahaan jamu lokal. Ia bahkan menyetujui penyelenggaraan simposium internasional tentang jamu di Istana Negara pada 27 Mei 2008. Presiden SBY dalam kesempatan itu pula mencanangkan kebangkitan jamu Indonesia.

SBY kemudian jadikan jamu sebagai ‘Brand’ Indonesia. Alias sebentuk komitmen Indonesia memperkenalkan khasiat jamu sebagai identitas Indonesia ke seluruh penjuru dunia.

“Pencanangan Jamu sebagai Brand Indonesia oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 27 Mei 2008 adalah momentum kebangkitan Jamu Indonesia. Pada tahun 2010, langkah yang amat penting ini diperkuat dengan dimulainya pelaksanaan program penelitian saintifikasi jamu oleh Kementerian Kesehatan. Program ini bertujuan untuk membuktikan khasiat dan menemukan formulasi Jamu yang tepat agar dapat digunakan dalam pelayanan kesehatan.”

“Selanjutnya, pada tahun 2011 Jamu mulai digunakan di 12 rumah-sakit sebagai bagian dari penelitian berbasis pelayanan kesehatan. Penelitian dan pengembangan dalam mengintergrasikan amu ke dalam pelayanan kesehatan masih berlanjut hingga sekarang, sebagai bagian dari Pembangunan Kesehatan,” terang Menteri Kesehatan Indonesia era 2012-2014, Nafsiah Mboi dalam kata sambutannya di buku The Power of Jamu: Kekayaan dan Kearifan Lokal Indonesia (2014).