Bung Karno Menyandang Gelar Insinyur dalam Sejarah Hari Ini, 25 Mei 1926
Potret Bung Karno semasa masih berkuliah di Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini: Institut Teknologi Bandung). (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA – Sejarah hari ini, 97 tahun yang lalu, 25 Mei 1926, pejuang kemerdekaan, Soekarno meraih gelar sarjana tekniknya dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini: Institut Teknologi Bandung). Kelulusan itu membuat Bung Karno berhak menyandang gelar insinyur di depan namanya.

Sebelumnya, perjuangan Soekarno menyelesaikan pendidikan tak mudah. Ia harus pandai membagi waktu antara kuliah dan berjuang. Apalagi, kala mertuanya, H.O.S. Tjokroaminoto masuk penjara dan Bung Karno memilih untuk tak kuliah sementara waktu.

Pendidikan pernah menjadi barang mahal di Nusantara. Mereka yang dapat mengaksesnya hanya kaum bumiputra terbatas saja. Soekarno memahami benar hal itu. Ia yang mendapatkan kesempatan menempuh pendidikan tak ingin menyia-nyiakannya.

Ia belajar dengan giat. Bung Karno yakin pendidikan adalah alat melepas belenggu penjajahan. Alias sebagai juru selamat kaum bumiputra. Ia pun mulai memiliki rencana melanjutkan pendidikan hingga negeri Belanda. Keinginan itu pupus. Ia tak mendapatkan restu orang tuanya. Alhasil, Bung karno melanjutkan pendidikannya ke Technische Hoogeschool te Bandoeng.

Alih-alih hanya kuliah untuk urusan intelektualitas, Bung Karno justru mampu mematangkan kepekaannya terhadap rakyat kecil. Ruang kuliah jadi taman kreativitasnya. Di sana Bung Karno mulai mematangkan gagasan kemerdekaan.

Saban hari ia selalu bersiasat untuk membagi waktu antara kuliah dan pergerakan. Keduanya mampu dijalankan dengan baik. Sekalipun kuliah Bung Karno sempat terganggu.

Bung Karno menerima gelar Doktor Kehormatan (Honoraris Causa) dalam bidang Ilmu Pengetahuan Masyarakat dari Universitas Indonesia. (sekar.ui.ac.id)

Semuanya bukan karena pergerakan Bung Karno yang membuatnya tak ada waktu belajar. Alasannya murni urusan keluarga. Kala itu, Bung Karno meninggalkan kuliahnya karena H.O.S. Tjokroaminoto yang notabene mertuanya ditahan Belanda. Bung Karno mencoba membantu ekonomi keluarga mertuanya.

“Sebagai rasa tanggung jawab terhadap keluarga mertuanya, selama di Surabaya Soekarno bekerja di perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda, Staat Spoor en tramwegen (kini: PT Perusahaan Kereta Api Indonesia). Menurut pengakuannya, sebagian besar penghasilannya diserahkan kepada keluarga mertuanya.”

“H.O.S Tjokroaminoto mendekam dalam penjara selama tujuh bulan lamanya. Ia baru dibebaskan pada bulan April 1922 karena terbukti tidak bersalah. Akan tetapi Soekarno tidak segera kembali ke Bandung,” ujar Her Suganda dalam Jejak Soekarno di Bandung 1921-1934 (2015).

Bung Karno pun kembali melanjutkan kuliahnya ketika H.O.S. Tjokroaminoto keluar penjara. Keputusan Soekarno kuliah kembali disambut dengan antusias oleh pendukung dan dosennya. Rektornya, apalagi. Rektor Soekarno, Jan Klopper sampai berpesan kepada Soekarno untuk serius kuliah.

Klopper berpesan kegiatan pergerakan di luar kuliah supaya hindari. Wejangan itu dilanggengkan supaya kuliah Bung Karno lancar. Alhasil, kerja keras dan keseriusan Bung Karno membuahkan hasil. Soekarno berhasil diwisuda pada 25 Mei 1926. Ia pun berhak menyandang gelar insinyur di depan namanya.

“Déngan dua orang kawan bangsa Indonesia yang berhasil bersama-sama denganku, maka pada tanggal 25 Mei 1926 aku memperoleh promosi dengan gelar Ingenieur. ljazahku dalam jurusan teknik sipil menentukan, bahwa aku adalah seorang spesialis dalam pekerjaan jalan raya dan pengairan. Aku sekarang diberi hak untuk menuliskan namaku: Ir. Raden Soekarno.”

“Ketika ia memberi gelar sarjana teknik kepadaku, Presiden universitas berkata: R. Sukarno, ijazah ini dapat robek dan hancur menjadi abu di satu saat. la tidak kekal. Ingatlah, bahwa satu-satunya kekuatan yang bisa hidup terus dan kekal adalah karakter dari seseorang. la akan tetap hidup dalam hati rakyat, sekalipun sesudah mati. Aku tak pernah melupakan kata-kata ini,” cerita Soekarno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (2000).