JAKARTA – Memori hari ini, 13 tahun yang lalu, 23 Mei 2010, mantan Presiden, Bacharuddin Jusuf (B.J) Habibie menggelar tahlilan untuk mendiang istrinya, Hasri Ainun Besari. Tahlilan itu dilanggengkan di kediaman Habibie, Munchen, Jerman.
Sebelumnya, kepergian Ainun membawa kedukaan yang mendalam bagi segenap rakyat Indonesia. Semua itu karena Ainun dianggap sebagai sosok wanita yang berjasa. Ia mampu mendampingi Habibie dalam susah maupun senang. Bahkan, kisah cintanya menginspirasi banyak orang.
Sosok Habibie dan Ainun kerap jadi panutan segenap rakyat Indonesia. Sosok Ainun, apalagi. Ia mampu membuktikan dirinya adalah wanita kuat. Ia siap sedia mendamping suami dalam masa-masa sulit sekalipun.
Ainun pernah mendampingi Habibie hidup sulit di Jerman. Dukungan terhadap Habibie tetap diberikan Ainun secara penuh. Susah maupun senang dilalui keduanya dengan semangat. Sikap itulah yang membuat Habibie kuat dan mampu berkembang pesat.
Habibie mampu menjelma sebagai ahli kedirgantaraan dunia. Ainun pun menemaninya hingga Habibie jadi Presiden Indonesia. Bakti dan kesetiaannya tak pernah luntur. Habibie pun sebaliknya. Bakti dan kesetiaan Habibie kepada Ainun tak perlu diragukan.
Apalagi kala kondisi Ainun sedang sakit parah pada awal 2010. Habibie membawa istrinya mendapat perawatan intensif di Jerman pada 24 Maret 2010. Ia setia mendampingi istrinya di Rumah Sakit Ludwig-Maximilians-Universitat, Klinikum Gro`hadern, Munchen, Jerman.
Sekalipun kondisi istrinya kian hari kian memburuk. Ainun memiliki sejumlah penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Tumor di paru-paru, utamanya. Penyakit itu membuat Ainun terpaksa melalui fase-fase kritisnya. Habibie pun berharap Ainun lekas pulih seperti sedia kala.
“Dokter mendiagnosis ada tumor di paru-paru Ainun. Ia tidak direkomendasikán tinggal di daerah tropis dengan tingkat kelembaban yang tinggi dokter baru memberikan izin Ainun kembali ke Indonesia jika kesehatannya sudah membaik.”
“Sementara, Ainun harus menjalani operasi 12 kali untuk mengangkat kanker ovariumnya, karena kanker ini sudah menyebar ke perut. Habibie sudah berupaya keras untuk mengobati istri tercintanya itu,” terang Jonar T. H. Situmorang dalam buku B.J. Habibie: Si Jenius (2017).
Takdir berkata lain. Penyakit itu membuat Ainun terpaksa melalui fase-fase kritisnya di Jerman hingga meninggal dunia pada 22 Mei 2010. Kepergian Ainun meninggalkan duka yang mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Habibie, apalagi.
Habibie tak kuasa menahan kesedihan. Ia pun menjadikan apartemen kediamannya di Heilmannstrasse, Munchen sebagai rumah duka. Ia pun mengelar tahlilan untuk istrinya pada 23 Mei 2010. Berita kepergian Ainun pun tersebar. Rekan hingga saudara Habibie di seluruh penjuru Jerman pun berdatangan ke rumah duka.
Mereka datang dengan rasa belasungkawa yang tinggi. Bahkan, beberapa di antara ikut terpanggil untuk mengawal jenazah Ainun pulang ke Indonesia pada keesokan harinya, 24 Mei 2010.
“Para tamu memang ditempatkan di dua ruang apartemen di lantai dua gedung itu, Pengajian (tahlilan) dan penganan berada di apartemen dengan teras besar, sementara kerabat keluarga Habibie yang datang dari jauh dipersilakan beristirahat di apartemen satunya yang lebih kecil, letaknya bersebelahan.”
“Di apartemen yang lebih kecil ini juga ada rapat dari pihak KBRI untuk pemberangkatan jenazah dilaksanakan. Menyiapkan suratsurat perjalanan, pengurusan izin ini itu, dan hampir semua mengeset dering telepon genggam dengan mode getar atau silent (diam),” terang Miranti Soetjipto sebagaimana dilampir A. Makmur Makka dalam buku Mr. Crack dari Parepare (2018).