JAKARTA - Sejarah politik nasional 84 tahun yang lalu, 9 Mei 1938, Soekarno mendaratkan kaki di tanah pembuangannya yang kedua: Bengkulu. Keputusan itu diambil oleh Belanda karena pergerakan Bung Karno dianggap mulai merepotkan. Apalagi hukuman penjara (Benceuy dan Sukamiskin) tak membuat Bung Karno jera.
Belanda pun berinisiatif membuang Bung Karno ke Ende, Flores, kemudian Bengkulu. Di tanah Bengkulu, Bung Karno terus mematangkan perlawanannya terhadap penjajah. Ia juga menemukan pujaan hatinya, Fatmawati.
Pergerakan Bung Karno acap kali merepotkan Belanda. Bahkan, hal itu telah dilakukannya semenjak Bung Karno menimba ilmu di Bandung. Soekarno muda terus termotivasi membawa narasi kaum bumiputra untuk lepas dari belenggu penjajahan. Ia pun memanfaatkan segala momentum demi menyebarkan semangat jiwa merdeka. Mimbar pertemuan dan diskusi jadi corong favoritnya.
Kaum bumiputra seakan memiliki harapan baru. Pun nama Soekarno dalam peta pergerakan nasional semakin terangkat. Kepopuleran itu nyatanya mengganggu pemerintah kolonial Belanda. Bung Karno dicap Belanda sebagai tokoh radikal. Kadang pula dicap sebagai pemberontak.
Aktifnya Soekarno membuat Belanda berang. Agen-agen Belanda disebar untuk memantau segala aktivitasnya. Namun, semakin hari Bung Karno dianggap sebagai tokoh yang berbahaya bagi eksistensi Belanda. Siasat pun dimainkan oleh Belanda. Bung Karno segara diamankan dan dijebloskan ke penjara – Penjara Benceuy dan Sukamiskin. Supaya ruang gerak Bung Karno menjadi terbatas, pikirnya.
Siasat itu tak berjalan mulus. Bung Karno selalu memiliki memiliki cara untuk membesarkan pengaruhnya. Belanda pun tak mau ambil resiko dengan tetap memaksa menahan Bung Karno di Pulau Jawa. Opsi membuang Bung Karno ke Ende lalu dilanggengkan pada 1934.
“Inggit mengulangi ketika membuka keranjang buku, satu‐satunya kekayaan pribadiku yang kami bawa. Kebanyakan para pemimpin diasingkan ke Digul. Itu makanya, kuterangkan sambil mengeluarkan buku‐buku sekolah yang kubawa, sehingga setiap pagi dan malam aku dapat mengajar Ratna Djuami di rumah. Di Digul ada 2.600 orang yang dibuang. Tentu aku akan memperoleh kehidupan yang enak di sana.”
“Dapatkah kau bayangkan, apa yang akan diperbuat Sukarno dengan 2.600 prajurit yang sudah disiapkan itu? Aku akan merubah muka Negeri Belanda dari New Guinea yang terpencil itu. Inggit tidak pernah mengeluh. Sudah menjadi nasibnya dalam kehidupan ini untuk memberiku ketenangan pikiran dan memberikan bantuan dengan kasih mesra, bukan menambah persoalan,” ungkap Bung Karno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
Alih-alih pesona Soekarno meredup, justru pengaruh dan pemikirannya makin besar di tanah pengasingan. Belanda kelabakan. Ruang gerak Bung Karno lagi-lagi diawasi. Alhasil, tindak-tanduk Bung Karno selama di Ende membuat Belanda makin gerah.
Timbul niatan Belanda untuk segera memindahkan Soekarno. Satu-satunya opsi yang memungkinkan bagi Belanda adalah membuang Bung Karno ke Bengkulu. Ia pun sampai di Bengkulu pada 9 Mei 1938. Di tempat itu, Belanda berharap pengaruh Bung Karno segera redup. Nyatanya, Belanda salah besar.
Di manapun Bung Karno berada pengaruh, karisma, dan pemikirannya tetap besar. Di Bengkulu, apalagi. Modal itu jadi ajian Bung Karno untuk melepaskan belenggu penjajahan di tanah Nusantara di kemudian hari.
“Bung Karno bersama Ny. Inggit Garnasih tinggal di sebuah rumah yang terletak di Anggut Atas, agak di pinggir kota waktu itu. rumah itu tersisih dari rumah-rumah tetangga lainnya, agar pihak penguasa Belanda lebih mudah melakukan pengawasan. Bung Karno sering dengan gembira menyanyikan lagu studenten (mahasiswa) dalam bahasa latin: lo vivat, lo vivat, nostorum sanitas.”
“Ketika pergerakan nasional memasuki Bengkulu dari Palembang, Partai Sarekat Islam (PSI) dan Partai Nasional Indonesia (PNI) pernah berkembang di Bengkulu. Bung Karno di Bengkulu bergabung dengan Muhammadiyah. Kemudian mengajar di sekolah Muhammadiyah. Bung Karno juga giat dalam tablig. Di Bengkulu Bung Karno mulai menjalin hubungan asmara dengan Fatmawati – yang jadi istrinya yang ketika setelah Oetari dan Inggit,” ungkap Rosihan Anwar dalam buku Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia Jilid 1 (2004).
Begitulah catatan sejarah politik nasional hari ini, peristiwa pengasingan Bung Karno ke Bengkulu pada 9 Mei 1938.