Memori 17 Februari 1888: Tanggal Kelahiran Ibu Kemerdekaan, Inggit Garnasih
Soekarno dan Inggit Garnasih (kebaya gelap) di Bengkulu. (Foto: Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Hari ini 134 tahun yang lalu, atau tepatnya 17 Februari 1888, perempuan hebat bernama Inggit Garnasih lahir di Bandung. Ia memiliki jasa besar bagi kemerdekaan Indonesia. Semasa hidupnya, Inggit tak cuma berstatus sebagai istri Soekarno, tapi juga ikut berjuang bersama suaminya. Inggit banyak andil dalam langgengnya sekolah dan aktivitas politik Bung Karno. Karenanya, orang-orang menjulukinya sebagai “Ibu Kemerdekaan.” Boleh jadi tanpa Inggit perjuangan merebut kemerdekaan adalah keniscayaan.

Kesetiaan Inggit kepada Soekarno tak perlu diragukan. Semenjak menikah, Inggit selalu mendampingi Bung Karno saat suka maupun duka. Inggit dapat menjelma menjadi apa saja bagi Bung Karno: sahabat, istri, serta teman diskusi.

Presiden RI pertama, Soekarno. (Foto: Wikimedia Commons)

Bahkan, Inggit selalu setia menemani Bung karno pada masa sulit. Ia mengambil alih tugas menjadi tulang punggung saat suaminya aktif dalam aktivitas politik. Bukan tanpa alasan. Inggit dan Bung Karno sama-sama memiliki cita-cita untuk melihat kaumnya dapat terlepas dari belenggu penjajahan.

“Di jaman PNI ini orang telah mengakuiku sebagai pemimpin, akan tetapi keadaanku masih tetap melarat. Inggit mencari penghasilan dengan menjual bedak dan bahan kecantikan yang dibuatnya sendiri di dapur kami. Selain itu kami menerima orang bajar makan, sekalipun rumah kami di Jalan Dewi Sartika 22 kecil saja. Orang yang tinggal dengan kami bernama Suhardi, seorang lagi Dr. Samsi yang memakai beranda muka sebagai kantor akuntan dan seorang lagi kawanku Ir. Anwari.”

“Kamar tengah menjadi biro arsitek kami. Sewa rumah seluruhnya 75 sebulan. Uang makan Suhardi kira‐kira 35 rupiah. Kukatakan ‘kira‐kira’ oleh karena selain jumlah itu aku sering meminjam beberapa rupiah ekstra. Bahkan Inggit sendiripun meminjam sedikit‐sedikit dari dia. Adalah suatu rahmat dari Tuhan Yang Maha Pengasih, bahwa kami diberi‐Nya nafkah dengan jalan yang kecil‐kecil,” ungkap Soekarno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).

Usaha Rokok Lintingan

Tak hanya semasa berpolitik. Peranan Inggit yang paling menonjol adalah ketika suaminya ditahan di Penjara Benceuy (1928), kemudian dilanjutkan ke Penjara Sukamiskin (1930). Inggit tak ingin melewati fase itu cuma untuk menunggu dalam ketidakpastian.

Inggit justru bergerak membantu sang suami. Usaha rokok lintingan pun dikerjakan Inggit. Semua itu demi membiayai keperluan suaminya semasa menjadi tahanan. Usaha rokok lintingan Inggit dari daun kawung itu laku keras. Setiap bungkus rokok berisi 10 batang. Rokok itu diberi merek “Rokok Kawung Ratna Djuami bikinan Ibu Inggit Garnasih.” Rokok itu kemudian menjadi alat perjuangan.

Tiap orang yang bersimpati dengan perjuangan Bung karno akan membeli rokok tersebut. Seiring itu, penyebaran rokok ala Inggit Garnasih turut pula melanggengkan gema perlawanan Bung Karno kepada Pemerintah Kolonial diberbagai kawasan.

Soekarno saat membacakan teks Proklamasi Kemendekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. (Foto: Wikimedia Commons)

Inggit pula ikut suaminya ketika diasingkan ke Ende (1934), kemudian Bengkulu (1938). Bukti kesetiaan yang tiada dua itu membuatnya dijuluki “Ibu Kemerdekaan.” Inggit menjadi seorang wanita yang mampu mengantar Soekarno ke gerbang kemerdekaan.

“Rokok itu ternyata laku keras. Pembelinya yang sekaligus menjadi penyokong perjuangan Bung Karno terdiri dari rakyat kecil. Mereka berpendapat, dengan membeli rokok tersebut berarti ikut membantu rumah tangga ekonomi pemimpinnya yang sedang prihatin.”

“Selain itu, bantuan diterima dari Mr. Sartono, Moh. Thamrin, Sukartono (kakak R.A. Kartini), Tan Tjoei Gien (pemilik toko kain di Jalan Raya Barat), dan Ibu Wardoyo (kakak kandung Bung Karno),” tulis Her Suganda dalam buku Kisah Istimewa Bung Karno (2010).

Inggit Garnasih meninggal dunia pada 13 April 1984 dalam usia 96 tahun. Inggit dimakamkan di TPU Babakan Ciparay, Bandung.