JAKARTA - Soekarno adalah pecinta seni sejati. Ia hidup dalam keluarga yang mencintai kesenian wayang. Pun nama Soekarno (Karna) berasal dari nama salah satu panglima Perang Bharatayuddha. Kecintaan itu menular padanya. Bung Karno tak pernah absen tiap ada pagelaran wayang. Bahkan ia rela begadang. Kekaguman itu berbuah manis baginya. Ia banyak terilhami oleh ragam karakter tokoh wayang yang membela kebajikan. Konon, mitologi pewayangan turut mengilhaminya memerdekakan Indonesia.
Tumbuh dalam keluarga pecinta seni adalah sebuah keberkahan. Soekarno pun merasakannya. Kakek dan ayahnya tergolong pecinta seni. Utamanya terhadap wayang. Kecintaan akan wayang menjadi warisan turun temurun dalam keluarganya.
Puncaknya nama kecil Soekarno, Koesno Sosrodihardjo diganti dengan nama salah satu tokoh pewayangan. Nama Koesno dianggap orang tuanya tidak cocok. Sebab, Soekarno kecil sering sakit-sakitan. Dari malaria hingga disenteri. Sebagai gantinya, nama tersebut diganti menjadi Soekarno.
Soekarno adalah sebuah nama baru yang berasal dari mitologi pewayangan, cerita klasik Mahabharata. Karna, begitu nama yang dipilih. Nama Karna berasal dari seorang pahlawan terbesar dalam cerita Mahabharata. Karakternya berani, kuat, dan sakti mandraguna.
Semua sifat itu diharapkan dapat mengiringi Soekarno kecil bertumbuh. Ayahnya memiliki proyeksikan Soekarno tumbuh sebagai pribadi yang berani. Juru selamat bagi kaumnya yang ditindas. Seperti kata ayahnya: Karna adalah pejuang bagi negaranya dan seorang patriot yang saleh.
“Bung Karno lahir 6 Juni 1901 di Surabaya diberi nama oleh orangtuanya Koesno Sosrodihardjo. Karena sering sakit kepercayaan sebagian orang Jawa ganti nama, maka menjadi Soekarno yang diambil dari kisah Bharatayuddha seorang panglima bernama Karna. Kemudian disesuaikan dengan logat Jawa menjadi Karno dan ditambah awalan Su yang berarti "baik', atau lebih kaya, atau lebih untung.”
“Raden Soekemi Sosrodihardjo - lda Ayu Nyoman Rai adalah bapak dan ibu Bung Karno berasal dari keluarga terpelajar dan terhormat. Raden Sukemi seorang guru di zaman Belanda menikah dengan Ida Ayu yang berasal dari keluarga ningrat Bali. Perbedaan agama antara Raden Soekemi dan Ida Ayu tidak menjadi kendala bagi kedua pasangan ini. Keunikan ini melahirkan Bung Karno yang moderat, kompromis, dan toleran,” tulis MHD Halkis dalam buku Konstelasi Politik Indonesia (2017).
Kecintaan Soekarno terhadap seni makin menjadi-jadi. Bung karno tak melulu hanya mencintai seni berhubungan dengan budaya Jawa. Budaya lainnya juga digilainya. Ia selalu menyempatkan menonton kesenian tiap melangsungkan kunjungannya ke daerah-daerah. Ia mengagumi lukisan, ukiran, hingga patung. Bahkan, tak jarang Bung Karno bergerak sendiri untuk menggali sesuatu yang unik dari suatu kota.
Karenanya, ia selalu menyanjung tinggi tiap seniman, budayawan, hingga pelaku budaya yang dijumpainya. Ia acap kali meluangkan waktunya untuk bercengkerama dengan mereka. Apalagi, di mata Soekarno pelaku budaya tak ubahnya sosok pahlawan yang harus diberikan penghargaan yang besar.
“Perkembangan seni rupa di Indonesia, tidak terlepas dari peran Presiden Soekarno yang berjiwa seni. Atas kenyataan ini, masyarakat mengakui bahwa tidak ada presiden yang melebihi Soekarno dalam hal mencintai dan memerhatikan karya seni. Tidak hanya itu, Soekarno bahkan sering kali memanfaatkan waktu di sela-sela kunjungannya ke daerah untuk mengunjungi studio-studio seniman.”
“Kalau sudah begitu, ia sering berlama-lama dalam pembicaraan tentang karya seni dengan seniman yang dikunjunginya. Sebagai seorang pencinta seni dan seorang pengagum keindahan serta kreator seni, dalam diri Soekarno terdapat sense of art yang menonjol, selain juga seorang intelektual sejati serta pemikir yang ulung. Jiwa kesenimanannya tidak dapat terlepas dari sifat simbolis, humanisme, intelektual, arsitek, dan pejuang,” ungkap Marwati Djoened Poesponegoro dkk dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI (2008).
Bung Karno dan Wayang
Pewayangan jadi salah satu perwujudan kecintaan Bung Karno akan seni. Sedari kecil, Soekarno sangat gemar menyaksikan pertunjukkan wayang. Saban ada pagelaran wayang, Bung karno kerap meluangkan waktu untuk menontonnya. Bung karno sampai rela begadang demi menonton wayang semalam suntuk.
Kesenian wayang tak sekedar pelipur lara dari penatnya belajar di bangku sekolahan. Bagi Bung Karno, pagelaran wayang lebih dari itu. Kesenian wayang mengajarkannya banyak hal untuk mengarungi lakon kehidupan.
Kegemaran itu buat Bung Karno khatam dengan cerita-cerita pewayangan. Kekuatan narasi dan karakter wayang itulah yang kemudian menguatkan Soekarno untuk selalu berpihak kepada yang tertindas. Kisah-kisah pewayangan itu kemudian menemaninya berjuang hingga dirinya dijebloskan ke Penjara Benceuy, kemudian Penjara Sukamiskin.
“Bila aku tak dapat lagi menahan rasa kesepian, kegelapan, dan kekumuhan (di penjara) aku mengajak Gatot –rekan seperjuangan Bung Karno—membuat permainan. Aku berhasil memperoleh buku wayang. Aku minta gatot membuat permainan. Aku berhasil memperoleh buku wayang. Aku minta Gatot membaca buku itu. Aku sudah hapal semua ceritanya. Sejak masih anak-anak aku mengagumi cerita wayang.”
“Sewaktu masih di Mojokerto aku sering menggambar wayang di batu tulisku. Di Surabaya aku begadang sampai pukul 6:00 esok paginya untuk mendengarkan dalang menceritakan kisah-kisah yang terkenal itu. Setelah Gatot dengan tekun membaca buku itu, aku memberi perintah kepadanya. Sekarang letakkan buku itu dan ceritakan kembali dengan suara keras apa yang sudah kau baca,” terang Soekarno sebagaimana ditulis Cindy Adams dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1965).
Pelajaran yang didapat oleh Bung Karno dari pewayangan adalah sebuah pelajaran berharga. Tentang sosok ksatria tangguh, misalnya. Ksatria itu takkan menyerah sampai lawan-lawannya kalah. Ia acap kali bekerja keras nan cerdik. Tokoh-tokoh wayang itu yang kemudian memberinya kekuatan untuk menghadapi segala ketakutan Bung Karno dalam hidup.
Makna-makna keberanian itu diterapkan oleh Soekarno sehari-hari. Dalam bersikap dan melawan. Semangat wayang yang pantang menyerah jadi ajiannya. Konon, sikap itu yang membawa dirinya berani mengorbankan hidupnya untuk berjuang bersama kaum bumiputra. Sebesar-besarnya untuk lepas dari segala bentuk belenggu penjajahan.
“Bernhard Dahm (1969), seorang sejarawan Jerman yang meneliti pemikiran Soekarno, mendasarkan pada mitologi orang Jawa tentang wayang. Menurut Bernhard Dahm, pemikiran Soekarno dipandang sebagai representasi dari sinkretisme Jawa-Islam. Sejarawan Robert K. Paget (1975) mengkaji tulisan Soekarno, Indonesia Menggugat, dari sisi analisis isi pidato dan tulisan politik. Ia mengamati sumbersumber kutipan, frekuensi pengutipan, dan materi yang dikutip,” tutup Munawar Ahmad dalam buku Ijtihad Politik Gus Dur (2010).
*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada