Sejarah Susi Air: Salah Satu Realisasi Ide Gila Susi Pudjiastuti yang Pantas Dipuji
Susi Pudjiastuti mejeng di salah satu pesawat milik maskapai Susi Air. (Foto: susiair.com)

Bagikan:

JAKARTA - Susi Pudjiastuti adalah seorang pebisnis perikanan andal. Potensi hasil laut Pangandaran (Jawa Barat) diubahnya laksana tambang duit. Usahanya berkembang pesat. Pesawat untuk mengangkut hasil laut ke Jakarta dibelinya. Demi hemat waktu, katanya. Namun, pesawat itu justru banyak digunakan untuk misi kemanusian, saat gempa dan tsunami Aceh melanda. Kebaikan hati Susi nyatanya membuka peluang bisnis lainnya. Susi mampu membangun maskapai komersial berlafalkan namanya sendiri: Susi Air.

Hidup dalam keluarga yang berkecukupan tak lantas membuat karier Susi sebagai pebisnis mulus. Nyatanya langkah susi jadi seorang pengusaha besar penuh liku. Sosok yang putus sekolah saat kelas dua SMA itu merintis usahanya dari bawah.

Ia enggan meminta modal kepada orang tuanya. Sebagai solusi, Susi menjual perhiasan miliknya: gelang keroncong, kalung, dan cincin. Uang hasil penjualan perhiasan yang berjumlah 750 ribu digunakannya untuk merintis karier sebagai pengusaha kecil. Ia pun mencoba berjualan sprei keliling dan menjadi penjual (bakul) ikan.

Bakat Susi berjualan justru condong ke bidang perikanan. Ia begitu total menekuni profesi sebagai bakul ikan. Saban hari Susi hadir dalam kerumunan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Di sanalah bakat bisnisnya makin terasah.

Salah satu armada Susi Air, Cessna Grand Caravan (Foto: Wikimedia Commons)

Buktinya, Susi jeli ketika memperkirakan harga dari setiap-setiap keranjang ikan yang ditawarkan juru lelang. Lagi pula, Susi perlahan-lahan mulai mempelajari ragam proses dalam bisnis di dunia perikanan. Dari proses pembelian, mengemas, hingga pemasaran. Artinya, Susi turun tangan sendiri terlebih dahulu untuk mengeluti seluruh prosesnya. Tatkala proses itu dilakukan, Susi untung besar.

“Seputus sekolah, Susi menjual perhiasannya dan mengumpulkan modal Rp750 ribu untuk menjual bed cover secara keliling dengan menggunakan vespa. Kemudian ia menjadi pengepul ikan di Pangandaran pada tahun 1983. Bisnisnya berkembang hingga tahun 1996.”

“Susi mendirikan pabrik pengolahan ikan, PT ASI Pudjiastuti Marine Product dengan produk unggulan berupa lobster yang diberi merek Susi Brand. Bisnis pengolahan ikan ini pun meluas dengan pasar hingga ke Asia dan Amerika. Oleh karena itu, Susi memerlukan sarana transportasi udara yang dapat dengan cepat mengangkut produk hasil lautnya dalam keadaan segar,” ungkap Tetty Yukesti dalam buku 51 Perempuan Pencerah Dunia (2015).

Kesuksesan itu tak membuat Susi merasa di atas angin. Ia terus mengabdikan dirinya belajar ilmu bisnis saat senggang. Dengan begitu Susi memiliki kejelian dalam berbisnis. Ia melihat kualitas produk hasil laut sangat bergantung pada kecepatan pengiriman. Makin cepat hasil laut sampai ke tangan pembeli, maka makin tinggi bayaran yang diterimanya.

Perkaranya, pengiriman cepat jadi kendala. Sedang pelanggan dari hasil laut milik Susi banyak berada di Jakarta. Untuk mengirim produk laut itu lewat jalur darat butuh waktu yang tak sebentar. Waktu tempuh antara Pangandaran-Jakarta mencapai 9 jam.

Susi Pudjiastuti sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan memotret Presiden Jokowi dalam kunjungan ke Pelabuhan Teluk Bayur, Padang pada 12 April 2016. (Foto: Antara/Iggoy el Fitra)

Perjalanan jauh itu berimbas pada kesegaran dari hasil laut yang cepat turun dan mati di tengah perjalanan. Ide membeli pesawat Cessna Caravan pun muncul. Pembelian pesawat Cessna Caravan lalu menjelma sebagai cikal bakal dari kemunculan Susi Air pada 2004. Lagi pula, Call Sign dari Cessna tersebut adalah namanya sendiri: Susi Air.

“Ide memiliki pesawat terbang lahir dari obrolannya dengan Christian von Strombeck di awal perkenalan tahun 1997. Dukungan besar Christian --yang kemudian menjadi suminya ini-- membuat Susi mantap mulai menyusun proposal pinjaman dana ke berbagai bank pada tahun 1999. Saat itu, banyak orang yang menganggapnya gila. Susah meyakinkan perbankan untuk memberikan pinjaman kepadanya.”

“Mereka tidak yakin bahwa Susi mampu membayar harga pesawat 2 juta dolar AS. Setelah empat tahun bolak-balik mengajukan proposal, barulah ada pengusaha nasional yang memahami ide Susi dan bersedia memberikan dana. Ketika pinjaman sebesar 4,7 juta dolar AS sudah di tangan, Susi pun langsung membeli dua pesawat seperti keinginannya selama ini. Uang pinjaman bank tersebut dapat dilunasi setelah tujuh tahun kemudian,” tulis Fyra Fatima dalam buku 3 Sisi Susi (2015).

Misi Kemanusiaan dan Lahirnya Maskapai Komersial

Peristiwa gempa dan tsunami Aceh pada 26 Desember 2004 membawa kedukaan yang mendalam bagi segenap rakyat Indonesia, termasuk Susi Pudjiastuti. Gempa yang mengakibatkan ratusan bangunan hancur dan korban mencapai 230 ribu jiwa menggetarkan hatinya. Ia tak bisa berdiam diri. Segala daya upaya segera dilakukannya.

Pesawat Susi Air yang tadinya digunakan untuk mendukung aktivitas bisnis perikanan dijadikan ajian. Membantu penyaluran bantuan kepada korban bencana adalah tugas barunya. Setelahnya, Susi Air menjadi pesawat dari luar Aceh pertama yang dapat menembus lokasi tsunami dua hari pasca bencana. Susi mendaratkan pesawatnya yang penuh bantuan ke Pulau Simeulue. Sebuah pulau yang terdekat dengan pusat gempa.

Kedatangan Susi bak juru selamat bagi masyakat setempat. Sebab, sejak pertama tsunami tak setetes pun bantuan diterima. Apalagi semua jalur darat terputus. Pejabat setempat bahkan menyebut butuh sedikit kegilaan untuk mengantarkan bantuan ke daerah dekat pusat gempa seperti Pulau Simeulue. Dan Susi berhasil melakukan “kegilaan” itu.

Susi Air juga melayani penerbangan perintis ke berbagai pelosok wilayah Papua yang susah dijangkau. (Foto: Facebook/Susi Air)

“Susi adalah orang ‘gila’ yang datang ke Tanah Jeumpa. la bukan pejabat, bukan pula politikus. la hanya wanita yang trenyuh melihat petaka tsunami di saluran televisi CNN. Dia ke Meulaboh meninggalkan 700 karyawan dàn bisnis perikanannya yang setahun bernilai 10 juta dolar AS (sekitar Rp100 miliar). Sehari sebelumnya, dua pesawat miliknya mendarat di Pulau Simeulue.”

“Suaminya, Christian von Strombeck, menerbangkan şendiri pesawat itu ke sana karena anak buahnya enggan terbang di luar jadwal. Sejak itu, Susi mengambil ‘spesialisasi’ mengirimkan bantuan jalur Medan-Meulaboh Simeulue. Saat maskapai lain menarik ongkos sewa 1.000 dolar AS per jam terbang, dia menggratiskan Cessna-nya atau memungut biaya sekadarnya,” tertulis dalam laporan Majalah Tempo berjudul Sayap Cinta di Langit Meulaboh (2005).

Misi kemanusiaan dilakukan Susi sepenuh hati. Bahkan Susi tak hanya mendistribusikan bantuan ke Pulau Simeulue semata. Tapi juga di banyak tempat di Aceh. Semenjak saat itu banyak negara lain bergantung dengan Susi Air untuk mengirimkan bantuan dan relawan. Keberadaan Susi Air lalu kesohor. Setelah misi kemanusiaannya selesai, pesawatnya banyak disewa oleh organisasi kemanusiaan internasional untuk pemulihan pascatsunami.

Boleh jadi awalnya Susi kurang sreg dengan nama Susi Air. Tapi lama-kelamaan ia menyukainya. Biaya sewa pesawat itu yang membuka peluang Susi Air selangkah lebih maju. Alhasil, Susi memiliki ide untuk membentuk maskapai komersial Susi Air sebagai salah satu alternatif opsi perjalanan udara perintis di Tanah Air pada 2005.

Piaggio P-180 Avanti II, jenis pesawat milik Susi Air yang digunakan untuk melayani penerbangan carter VIP. (Foto: Jetphotos)

“Oleh karena itu, Susi kemudian memutuskan untuk membentuk maskapai komersial yang tidak hanya mengangkut hasil laut saja. Pada tahun 2005, Susi telah memiliki tiga buah pesawat sehingga Susi Air dapat memulai penerbangan berjadwal dari Medan ke beberapa tempat. Selanjutnya, Susi Air melayani penerbangan komersial rute perintis, angkutan kargo, dan penerbangan carter.”

“Pada tahun 2014, armada Susi Air berjumlah 49 unit terdiri dari Cessna Caravan, Pilatus Porter, Helicopter Avanti, Diamond, Viper, dan Air Tractor. Susi Air mengoperasikan penerbangan dari pangkalan utama di Medan (Sumatra Utara), Jakarta, Kendari, dan Balikpapan (Kalimantan), Bandung, dan Pengandaran (Jawa Barat), Cilacap (Jawa tengah), dan Papua,” tutup A Bobby Pr dan kawan-kawan dalam buku Untold Story Susi Pudjiastuti: Dari Laut ke Udara, Kembali ke Laut (2015).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.