Ekspedisi Muhamad Radjab Keliling Sumatra di Zaman Revolusi
Suasana Minangkabau tahun 1930-1940an. (Wikimedia Commons)

Bagikan:

JAKARTA - Muhamad Radjab adalah sosok jurnalis lawas handal. Rekamannya tentang sejarah bangsa jadi sumbangsih berharga. Dinamika masa revolusi di Sumatra, misalnya. Ia pernah jadi salah satu wartawan yang ikut dalam ekspedisi ke Sumatra. Hajatan dari Kementerian Penerangan itu tak disia-siakan. Radjab berkesempatan mengamati ragam dinamika. Radjab juga merasakan petualangan yang tiada dua. Ia menyaksikan langsung kenekatan pejuang hingga kematian yang sudah biasa di era revolusi.

Boleh jadi sosok pria bernama lengkap Muhamad Radjab Sutan Maradjo tak sepopuler jurnalis Rosihan Anwar dan B.M. Diah. Tapi dalam dunia jurnalistik perannya tiada yang menampikkan. Ia piawai dalam menyelipkan kritikan. Ketajamannya dalam mengamati peristiwa dan berpikir jadi muaranya.

Baginya, menulis adalah mengungkap fakta. Tiada yang ditakutkan olehnya selama berada dalam lajur kebenaran. Daya kritisnya bahkan telah hadir jauh sebelum menginjakkan kaki di Ibu Kota dan berkarier sebagai jurnalis.  Ia telah kritis sejak masih remaja. Atau sejak masih di kampung halamannya di desa sekitar Danau Singkarak pada 1913-1928. Sedari remaja ia telah mampu melihat realitas sosial yang terjadi, salah satunya budaya merantau.

Ia menyebut pemuda di kampung halamannya memilih merantau bukan cuma karena ingin kaya raya. Satu-satunya alasan bermuara pada perasaan malu. Bagi pemuda yang usianya sudah harus merantau, tapi masih berada di desa tak ubahnya sebuah aib. Tiada orang tua gadis yang akan bersedia meminang pemuda yang hanya mengabiskan waktu di kampung.

Label malas, pengangguran, dan sebagai macamnya tersemat kepada mereka yang tak merantau. Artinya memilih untuk tidak merantau jadi pilihan yang menyedihkan. Lagi pula, barang siapa yang merantau derajatnya dipercaya akan tinggi, ketika pulang kampong mereka bersolek bak orang terkenal. Sebagai tanda mereka sukses di negeri rantau.

“Tinggal di kampung malu, karena tak ada orang tua gadis yang akan meminang. Dan dipinang, tampaknya, sebuah indikator harga diri. Bukan karena kekurangan, memang. Toh pada akhirnya tampak bahwa potensi sosial-ekonomi masyarakat kampung terbatas adanya, untuk meluangkan kesempatan memperoleh harga diri itu. Khususnya, ketika gengsi mulai berkaitan dengan harta. Itulah masa yang oleh Radjab disebut sebagai: naiknya kaum saudagar.”

Suasana Minangkabau tahun 1930-1940an. (Wikimedia Commons)

“Yakni, setelah kaum adat dan kaum agama tak lagi bisa jadi idaman. Radjab dibesarkan justru pada masa itu. la melihat bagaimana para perantau pedagang bisa pulang kampung dengan pameran yang impresif. Bukan cuma beli sate di hari pasar. Mereka berjalan dengan memakai jas wol, sarung Bugis sutera, sepatu Eropa, dan arloji kantong dari emas. Oleh-oleh mereka berkeranjang-keranjang,” ungkap Goenawan Mohamad dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Pemberontakan Radjab (1986).

Komentarnya terhadap kebiasaan meratau masih belum apa-apa. Radjab juga terkenal berani memberikan kritik terhadap ritus keagamaan. Termasuk ketika Padang-Panjang terkena gempa 1926. Ia sempat menjadi saksi sejarah dengan mengabadikan peristiwa duka tersebut. Radjab bercerita bahwa korban jiwa di tempat tinggalnya tak sebanyak di Padang-Panjang. Namun, orang-orang di kampungnya beranggapan gempa adalah penanda kiamat.

Segala elemen masyarakat kala itu langsung hidup religius. Mereka melanggengkan tobat masal. Beberapa orang yang tadinya tidak pernah beribadah, jadi rajin ibadah. Mereka yang pernah melakukan kesalahan kepada sanak famili, lalu segera minta maaf. Namun, perlahan-lahan setelah gempa susulan tidak terjadi, orang-orang di kampungnya justru lupa beribadah.

“Semua orang sembahyang, laki-laki dan perempuan, tiada terkecualinya. Di pasar-pasar laku betul kain putih untuk telekung perempuan dan kain pelekat tenun Silungkang. Pendeknya di seluruh Minangkabau orang bertambah taat beribadah. Dalam mara bahaya semua orang ingat Tuhan,” cerita Muhamad Radjab dalam buku Semasa Kecil di Kampung (1950).

Ekspedisi Keliling Sumatra

Petualangannya di Jakarta menambah daya kritis Radjab. Apalagi semejak menjadi jurnalis Kantor Berita Antara. Tulisannya lugas nan kritis. Daya kritis itu semakin terlihat ketika Radjab yang masih bujangan terpilih sebagai salah satu dari tiga jurnalis –Suwardi Tasrif (Harian Berita Indonesia) & Rinto Alwi (Harian Merdeka)-- yang melawat ke Sumatra pada 1947-1948.

Hajatan dari Kementerian Penerangan itu tak disia-siakan olehnya. Ia bergerak meninjau keadaan dan perkembangan wilayah Sumatra semenjak Indonesia berdiri. Tiga jurnalis yang berangkat itu memiliki spesialisasinya masing-masing.

Rinto Alwi banyak membahas soal-soal politik, perkembangannya, dan semangat perjuangan. Suwardi Tasrif yang berfokus kepada perekonomian. Sedang Radjab sendiri banyak memperhatikan ragam masalah dari soal masyarakat, tabiat, adat, pejuang republik, dan budaya.

“Sewaktu bertualang ke Sumatra, Radjab masih bujangan. Ia satu dari tiga jurnalis yang ikut dalam rombongan Kementerian Penerangan yang meninjau kondisi dan perkembangan titik-titik sepanjang Pulau Andalas sejak Republik Indonesia berdiri.”

“Selain Radjab, yang mewakili Kantor Berita Antara, wartawan peserta rombongan pimpinan Parada Harahap itu adalah Suwardi Tasrif (harian Berita Indonesia) dan Rinto Alwi (harian Merdeka). Mereka mengunjungi sejumlah daerah, antara lain Kotaraja dan Teluk Betung, serta dua negara tetangga: Malaysia dan Singapura.” Terang Isma Savitri dalam tulisannya di Majalah Tempo berjudul Jurnalis dan Penerjemah dari Minang (2020).

Perjalanan itu banyak membuka matanya terkait makna kemerdekaan bagi penduduk Sumatra. Nyatanya, revolusi tak cuma memuat muatan romantisme perjuangan semata. Tapi revolusi mengubah banyak hal. Seperti yang ditemukannya di Prapat. Di sana, ia berkunjung langsung ke kediaman seorang pejuang kemerdekaan, Timur Pane. Bagi penjajah, ia adalah sosok sangat menakutkan. Tindakannya kerap radikal. Bahkan sampai memotong musuh-musuhnya.

Padahal faktanya, Timur Pane menjelaskan sendiri kepada Radjab jika dulunya ia hanya seorang pedagang di pasar. Tak jarang pula ia menjadi bajingan (penjahat) dan pencopet di tempat yang sama. Namun, apa yang dilakukannya sekarang adalah buah dari revolusi. Ia tak ingin bangsanya kembali jatuh ke tangan penjajah. Melawan jadi ajiannya. Semua itu dilakukan dengan bekal keberanian dan kenekatannya.

Kunjungan ke Bukittinggi juga penuh cerita. Radjab menangkap gugurnya pejuang negeri melawan penjajah Belanda telah menjadi hal biasa bagi orang-orang Minangkabau. Peristiwa keluarga yang kehilangan anak, ayah, atau saudara dianggap sebagai pemandangan lazim sehari-hari. Pun dengan suara tangisan yang menggema.

Muhammad Radjab (Foto: Majalah Tempo)

“Semenjak revolusi, peristiwa serupa boleh dikatakan sudah biasa; tetapi pelik juga dilihat orang-orang Minangkabau mengantarkan pahlawannya ke kubur. Sejak Perang Padri habis, boleh dikatakan jarang orang Minangkabau gugur dalam pertempuran.”

“Jadi perang itu sedikit asing bagi mereka, dan mungkin juga agak mengerikan, yaitu selama ini. Berpuluh-puluh tahun yang lalu bagi orang Minangkabau umumnya berat sekali dan menyedihkan ditinggalkan oleh anak, ayah, atau saudara yang dikasihinya. Bila ada yang mati, yang tinggal meratap sekeras-kerasnya,” tutup Muhamad Radjab dalam buku Catatan di Sumatra (1949).

*Baca Informasi lain soal SEJARAH atau baca tulisan menarik lain dari Detha Arya Tifada.