Status Guru Honorer Adalah Bom Waktu, Indonesia Terancam Kekurangan Tenaga Pengajar
Ilustrasi guru honorer saat mengajar di kelas. (Foto: Antara/Destyan Sujarwoko)

Bagikan:

JAKARTA - Miris membaca berita bahwa seorang guru honorer mata pelajaran fisika bernama Munir Alamsyah nekat membakar SMP Negeri 1 Cikelet, Garut gara-gara honornya belum dibayarkan selaa 24 tahun. Pria berusia 53 tahun tersebut mengajar di sekolah itu pada tahun 1996-1998, dan jika ditotal bayarannya selama dua tahun mengajar adalah Rp 6 juta.

Munir ditangkap pada Minggu 16 Januari lalu, setelah dirinya terekam kamera pengawas sebagai pelaku pembakaran gedung SMP Negeri 1 Cikelet. Aksi pembakaran gedung sekolah bekas tempatnya mengajar dilakukan pada Jumat siang 14 Januari. Cara membakarnya sederhana, dengan menggunakan kertas dan bensin.

Efek pembakaran yang ditimbulkan tidak dahsyat, karena tidak sampai menghabiskan seluruh bangunan gedung. Aksi Munir cepat diketahui warga, sehingga api dapat segera dipadamkan. Dari enam pintu kelas yang berusaha dia bakar, hanya dua yang parah sedangkan selebihnya selamat.

Pihak sekolah melaporkan Munir ke polisi sehingga Pak Guru honorer yang putus asa karena gajinya tak kunjung dibayar itu ditangkap. Kapolres Garut AKBP Wirdhanto Hadicaksono dalam keterangan persnya mengatakan bahwa selama ditangkap, Munir tidak ditahan. Bahkan diberi kesempatan untuk diperiksa psikiater untuk mengetahui kondisi kejiwaannya.

Munir Alamsyah bersujud setelah gajinya sebagai guru honorer sebesar Rp6 juta yang dia tunggu selama 24 tahun dibayarkan. (Foto: Antara)

"Beliau tidak bekerja yang merupakan mantan guru honorer, berdasarkan penyampaian dari tersangka bahwa tersangka itu melakukan pembakaran karena untuk gaji honorer belum dilakukan pembayaran sekitar Rp6 juta," kata Hadicaksono seperti dikutip Antara.

Polisi akhirnya menghentikan proses hukum Munir tersebut, setelah pihak SMP Negeri 1 Cikelet mencabut laporan, demi menghindari konflik sosial.

"Kami melihat materiil dan formilnya terpenuhi,” ujar Hadicaksono lagi mengenai keputusan penghentian proses hukum terhadap Munir, atau yang biasa dikenal sebagai restorative justice.

Honor Munir sebesar Rp6 juta juga akhirnya dibayarkan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Garut pada Jumat 28 Januari.

“Sekarang kami akan mengganti honor Rp6 juta mudah-mudahan ini bisa memberikan manfaat. Kami dari Disdik Garut bertanggung jawab, dia adalah guru terbaik," kata Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Garut, Ade Manadin.

Beberapa Kasus Guru Honorer Tidak Dibayar

Sebagai guru honorer yang telat atau tidak diayar, Munir jelas tidak sendirian. BBC Indonesia pada 21 Februari 2021 memuat artikel soal guru-guru honorer di negeri ini yang alpa dibayar. Salah satu contoh adalah kasus Hervina, seorang guru honorer di SD Negeri 169 Sadar, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.

Hervina yang sudah menjadi guru honorer selama 16 tahun, pada awal Februari 2021 hanya menerima gaji Rp700 ribu setelah mengajar selama empat bulan. Padahal upah minimum regional Kabupaten Bone berkisar Rp3 juta per bulan. Hervina lantas mengunggah kasus yang dia alami di media sosial, sehingga menjadi ramai.

“Iya (Rp700 ribu untuk gaji 4 bulan). Dana BOS itu kurang tahu berapa, kita tidak pernah rapat, kita tidak tahu standarnya dana BOS berapa, 4 bulan toh itu 700 ribu," kata Hervina, seperti dikutip BBC.

Demo guru honorer di depan Istana Negara pada 2018 (Foto: Antara/Reno Esnir)

Setelah mengunggah kasusnya di media sosial, Hervina bukan mendapatkan haknya namun justru dipecat. Setelah mengadu ke berbagai pihak, Hervina akhirnya mendapatkan haknya. Tekanan dari pemerintah dan masyarakat membuat guru honorer itu dapat kembali mengajar di tempatnya semula.

Contoh kasus lain ada di Bogor, Jawa Barat yang juga menimpa seorang guru honorer bernama Dewi. Sama seperti Hervina, Dewi adalah guru honorer di sebuah Sekolah Dasar yang dibayar menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

“Pertama kali lulus SMA diterima jadi guru honorer dan digaji Rp50 ribu sebulan, lalu naik jadi Rp100 ribu, Rp150 ribu hingga Rp500 ribu. Setelah 11 tahun naik menjadi Rp1 juta sampai tahun 2020 menjadi Rp1,5 juta,” kata Dewi kepada BBC News Indonesia.

Besaran Gaji Guru Honorer

Besaran gaji guru honorer di setiap daerah di Indonesia tentu berbeda-beda. Gaji guru honorer terbesar di Indonesia ada di Jakarta. Menurut situs lifepal.co.id, DKI Jakarta pada 2021 menetapkan gaji guru honorer SMA sebesar Rp4.590.000 ditambah tunjangan Rp229.500 per bulan.

Untuk daerah lain berbeda, tergantung di mana seorang guru mengajar. Kisarannya antara Rp500 ribu hingga Rp1 juta per bulan. Bahkan sekolah yang kekurangan dana terpaksa memberikan upah para guru non PNS tersebut di angka Rp300 ribu saja.

Besaran gaji guru honorer sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 98/2020 tentang Gaji dan Tunjangan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Dalam peraturan tersebut gaji guru honorer disesuaikan dengan tunjangan Aparatur Sipil Negara (ASN) di instansi setempat.

Mendikbudristek, Nadiem Anwar Makarim. (Dok: kemdikbudristek.go.id)

Tidak hanya gaji, para guru honorer juga berhak mendapatkan tunjangan PPPK berupa tunjangan keluarga, tunjangan pangan, jabatan struktural, jabatan fungsional, dan lainnya. Namun ada satu syarat, para guru honorer tersebut harus lolos seleksi PPPK. Jika lolos, seorang guru honorer akan mendapatkan gaji dalam kisaran angka Rp1,7 juta hingga Rp6,7 juta, tergantung golongan guru bersangkutan.

Meskipun demikian, tidak semua guru honorer sepaham dengan solusi yang diberikan Pemerintah Indonesia untuk mengangkat harkat mereka. Ketidaksepahaman tersebut terutama dikeluhkan guru-guru yang sudah berumur atau hanya lulusan setingkat SMA, namun sudah mengabdi selama puluhan atau belasan tahun. Seleksi PPPK memang mensyaratkan lulusan setingkat sarjana.

Pada tahun 2022, pemerintah mengalokasikan 758.018 formasi guru PPPK.

“Ada 758.018 formasi sesuai dengan rekomendasi Panja Komisi X, kita sudah melakukan perhitungan termasuk seperti masukan yang kami terima untuk guru agama, itu 758.018, ini perhitungan kebutuhan kita," kata Iwan Syahril, Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dalam rapat dengan Komisi X DPR RI pada Rabu 19 Januari 2022.

Ancaman Kekurangan Guru

Menurut pengamat pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, Cecep Darmawan, permasalahan guru honorer mencuat karena Pemerintah Indonesia tidak memiliki rancangan induk tentang guru.

"Di UU ASN, UU Guru dan Dosen, tidak dikenal guru honorer, yang ada guru ASN dan guru Yayasan. Guru ASN itu ada PPPK dan PNS. Nah, kenapa muncul guru honorer karena kelalaian pemerintah untuk segera mengangkat guru-guru menjadi ASN, banyak guru pensiun sementara yang diangkat minim," kata Cecep seperti dikuti BBC.

“Menunggu guru ASN sulit dan lama, akhirnya diangkat guru-guru yang diberi label honorer. Ini menurut saya kelalaian pemerintah yang menjadi bom waktu," tambah Cecep, yang juga Guru Besar Ilmu Politik UPI.

Cecep lantas menyarankan agar pemerintah segera membuat pemetaan, kemudian mengangkat guru honorer dengan memprioritaskan mereka yang sudah lama mengabdi.

“Mereka yang di bawah 35 tahun diangkat PNS, yang usia di atas itu jalur PPPK. Ada target waktu dan peta jalannya. Kalau tidak saya khawatir kita akan darurat guru,” ujar Cecep menambahkan.

Berdasarkan data Kemendikbudristek, pada 2020 jumlah kekurangan guru mencapai 1.020.921 orang. Angka ini diprediksi naik pada 2021 mencapai 1.090.678 orang karena jumlah yang pensiun 69.757 guru.

Tahun 2022 kekurangan guru menjadi 1.167.802 orang dan hingga 2024 kekurangan guru diprediksi hingga 1.312.759 orang. Di sisi lain, sampai 2020 jumlah guru bukan ASN di Indonesia mencapai 937.228 orang. Dari jumlah tersebut, 728.461 di antaranya berstatus guru honorer sekolah.