JAKARTA – Pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ratusan guru honorer di Jakarta masih menjadi polemik. Di satu sisi, masih banyak sekolah negeri yang membutuhkan tenaga guru honorer, namun di sisi lain Dinas Pendidikan menyebut mereka direkrut oleh sekolah tidak sesuai peraturan.
Sejak Selasa (16/7/2024), kabar mengenai 107 guru honorer di Jakarta yang diberhentikan sepihak melalui sistem cleansing atau permbersihan terus menjadi perbincangan. Kepala Bidang Advokasi Perhimpuan Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri menduga apa yang dialami guru-guru di Jakarta adalah bagian dari fenomena penghapusan guru honorer yang juga terjadi di berbagai daerah.
Di Garut misalnya, jam mengajar sekitar 466 guru honorer terus berkurang hingga nol jam pelajaran. Atau di kejadian di Lampung Utara, di mana tidak membuka seleksi guru Pegawai Pemerintahan dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Padahal seleksi PPPK merupakan cara guru honorer bisa berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN).
Wakil Sekretaris Jenderal PB PGRI Wijaya mengatakan kebijakan cleansing terhadap guru honorer perlu dikaji kembali dengan mencari akar masalahnya.
“Sebaiknya melihat dari beberapa sisi, dicari akar masalahnya. Yang bisa dilakukan adalah pengkajian kembali pemberhentian guru honorer ini,” kata Wijaya kepada VOI.
“Langkah yang bisa dilakukan dalam bentuk peninjauan, verifikasi, dan validasi tenaga guru honorer. Mana yang tidak sesuai aturan, tapi bukan di-PHK,” imbuhnya.
Sementara itu, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mendorong agar guru honorer yang benar-benar dibutuhkan diberi status guru kontrak. Dengan begitu diharapkan menjadi win-win solution. Guru honorer tetap bekerja, pihak sekolah tidak kekurangan pengajar.
“Demi menghargai larangan pengangkatan pegawai non-ASN untuk pengisian jabatan ASN sesuai UU No.20 Tahun 2023, sepanjang guru tersebut tenaganya sangat dibutuhkan, maka solusinya dikontrak dengan nama Guru Kontrak Sekolah,” demikian pernyataan FSGI dalam keterangannya.
Pemberhentian yang Menyakitkan
Fani, bukan nama sebenarnya, mengaku mendapat sebuah pesan yang mengatakan dirinya tidak bisa lagi mengajar di sekolah. Padahal ia baru saja memulai kelas pertamanya setelah libur kenaikan kelas pada 11 Juli 2024. Dan ia pun menjadi pengangguran sejak hari itu.
“Beberapa teman sudah mencari lowongan ke sekolah swasta, tapi kan sudah masuk tahun ajaran baru jadi susah lowongan kerjanya,” kata Fani konferensi pers yang digelar P2G dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Rabu (17/7/2024).
Menjadi guru adalah cita-cita Fani sejak masih SMP dan ia memulai kariernya pada 2021. Fani dihubungi kepala sekolah yang membutuhkan guru PPKn tidak lama setelah lulus kuliah.
Kala itu ia mengantungi Rp1,35 juta rupiah per bulan yang dibayar setiap tiga bulan karena bersumber dari Dana Operasional Sekolah (BOS). Setahun kemudian, upahnya naik menjadi Rp4,2 juta per bulan.
Pada Agustus 2023, posisinya sebagai guru honorer tergeser guru yang lolos PPPK dan ditempatkan di sekolah tersebut. Ia kemudian mendapat panggilan dari sekolah negeri lainnya di Jakarta Timur, yang kekurangan guru PPKn.
Sekolah itu memiliki 18 kelas, tapi hanya ada satu guru mata pelajaran tersebut.
"Bayangkan satu guru itu harus mengajar 18 kelas, dan satu kelas itu tiga jam pelajaran. Apa memungkinkan? Akhirnya kepala sekolah merekrut saya," kata dFani.
Namun, status Fani di Data Pokok Pendidikan ternyata masih terdaftar di sekolah yang lama. Sekolah barunya tidak berani melanjutkan perekrutan Feni karena perkara administrasi itu.
Dampaknya, pelajaran PPKn yang seharusnya diajarkan Fani diambil alih guru yang biasa mengajar mata pelajaran lain. Dan ketika dia bisa kembali mengajar, pemecatan tiba-tiba ini justru terjadi.
Masalah Proses Seleksi
Kisah serupa juga dialami guru honorer lainnya, Andi Febriansyah. Ia bersama guru honorer lainnya tiba-tiba dipanggil kepala sekolah terkait “penataan” ini.
Meski sampai saat ini Andi masih dibolehkan mengajar oleh kepala sekolah, ia was-was karena terancam benar-benar kehilangan pekerjaan jika semua guru honorer diberhentikan nantinya pada akhir Desember ini.
Andi terkejut dan bingung. Ia mengantungi honor Rp3 juta per bulan yang dibayarkan setiap tiga bulan. Andi adalah tulang punggung keluarga. Kedua orangtuanya tidak bekerja, sedangkan dua adiknya sedang berkuliah.
"Saya hanya bisa mengajar, karena saya adalah lulusan pendidikan. Kemampuan saya adalah mengajar," kata dia.
Seperti halnya Fani, Andi juga harus menunggu sampai tahun ajaran baru dimulai jika berniat pindah ke sekolah swasta.
Apa yang dialami Fani dan Andi adalah buntut dari keputusan Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Plt Kepala Dinkes Jakarta Budi Awaluddin mengatakan bahwa para guru honorer itu “bukan dipecat”, melainkan “penataan dan penertiban agar para guru itu benar-benar tertib”.
"Kondisinya adalah guru honorer ini mereka diangkat oleh kepala sekolah, dibayar dengan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tanpa seleksi yang jelas," kata Budi dalam konferensi pers di Jakarta pada Rabu (17/07).
Budi mengatakan sekitar 4.000 guru honorer yang diangkat tidak melalui seleksi dan akan terkena penataan. Hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2023 menemukan bahwa peta kebutuhan guru honorer tidak sesuai dengan aturan penerima honor.
Menurutnya, pengangkatan guru honorer semestinya dilakukan oleh kepala dinas melalui seleksi berdasarkan Peraturan Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 1 Tahun 2018.
Perlu Sosialisasi Lebih Dulu
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menyatakan kecewa dengan keputusan cleansing yang dilakukan Disdik Jakarta terhadap 107 guru honorer. Wasekjen PB PGRI Wijaya mengatakan, seharusnya penataan guru honorer ini dilaukan dengan cara-cara yang lebih mengedepankan kepedulian, melalui proses pembinaan, dan mencari solusi untuk gurunya.
“Jadi jangan fokus hanya kepada 107 guru. Harus ada hal lain yang digali, mengapa guru tersebut diberhentikan. Termasuk temuan BPK seharusnya dikomunikasikan. Apakah rekrutmennya tidak taat aturan, tidak taat administrasi?” kata Wijaya.
“Ini momennya yang tidak tepat, keputusan ini seharusnya ada sosialisasi dulu, ada pemetaan,” imbuhnya.
Mengenai fenomena kekurangan guru, seperti yang disinggung Fani, Wijaya tidak menapik hal itu. Kekurangan guru menurut Wijaya tidak hanya terjadi secara lokal dan nasional, tapi juga global.
Dari sinilah terlihat karut marut tata Kelola guru di Indonesia, yang dimulai dari pendidikan guru, rekrutmen, pembinaan, dan pemuliaan, dalam hal ini gaji guru honorer.
“Kekurangan guru adalah fakta, proses rekrutmen guru memang harus ditinjau, dikritisi. Jangan sampai jadi masalah di lain waktu,” tegasnya.
“Kalau memang betul-betul guru itu dibutuhkan, berarti ada keputusan yang salah. Per tahun ini saja banyak guru pensiun, apakah bisa terpenuhi kebutuhan gurunya?
BACA JUGA:
Heboh pemecatan guru honorer yang terjadi belakangan ini menurut Wijaya hanya kepingan karut marut tata Kelola guru yang terjadi di Indonesia, yang akar masalahnya adalah political will dari Kementerian terkait, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Pemerintah Kota.
Ia berharap penataan ini harus dikomunikasikan lebih dulu, sehingga tidak langsung melakukan cleansing atau pemecatan terhadap guru honorer di momen yang tidak tepat.
“Semoga ada proses pemanggilan kembali, terutama di sekolah-sekolah yang kekurangan guru,” kata Wijaya.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FGSI) ikut buka suara atas terjadinya cleansing terhadap guru honorer di Jakarta. Sekjen FSGI Heru Purnomo mengusulkan beberapa solusi.
Salah satunya memberikan kontrak yang diberi nama ‘Kontrak Guru Sekolah’. Kontrak ini nantinya tunduk kepada Pasal 1320 KUH Perdata, untuk guru yang benar-benar dibutuhkan sekolah. Hal ini dilakukan sebagai bentuk menghargai adanya larangan pengangkatan pegawai non-ASN untuk mengisi jabatan ASN sesuai UU No.20 Tahun 2023.
Mengingat angka guru ASN yang memasuki masa pensiun tinggi dan tidak seimbang dengan jumlah pengganti, maka guru honorer memang sangat dibutuhkan di banyak sekolah di berbagai daerah.
“Oleh karena itu, FSGI mengusulkan agar guru honorer bukan di-PHK, tetapi didorong untuk dikontrak," kata Heru.
Ia menegaskan, pembayaran honor guru yang bersangkutan menggunakan dana BOS sudah sesuai petunjuk teknis (juknis) BOS Permendikbudristek nomor 6 Tahun 2021 pasal 12, yang mengatur penggunaan dana BOS diantaranya untuk pembayaran gaji guru honorer.