Bagikan:

JAKARTA – Guru di SD Negeri Mulyasari, Cirebon, Jawa Barat, terpaksa melakukan blusukan untuk mencari orang tua yang mau menyekolahkan anaknya di tempat mereka mengajar. Sedangkan di Tasikmalaya, sejumlah SMP Negeri juga kekurangan siswa yang berdampak pada banyaknya ruang kelas kosong.

Jumlah siswa yang diterima pada Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2024 di SMPN 18 Tasikmalaya menurun. Dari delapan kelas yang disiapkan hanya empat yang terisi dengan jumlah siswa 28 per kelasnya. Situasi ini berakibat banyak kelas kosong yang tersisa.

Fenomena sekolah negeri kekurangan murid juga terjadi daerah lainnya. Sebanyak lima SDN di Ponorogo, Jawa Timur, tidak mendapatkan siswa sama sekali pada tahun ajaran 2024/2025.

Satu satunya murid kelas I saat mengikuti kegiatan belajar mengajar di SDN 1 Setono, Ponorogo, Senin (17/6/2023) (ANTARA/HO - SDP)

Salah satunya adalah SDN Bajang, yang untuk kedua kalinya tidak mendapatkan siswa setelah terjadi pada 2020. Plt Kepala SDN 1 Bajang, Asrofi, membenarkan sekolah yang dipimpinnya tidak memiliki siswa baru sama sekali.

“Ya persaingan saja, posisi sekolah kita memang banyak dikelilingi oleh sekolah swasta,” kata Asrofi.

Sekolah Favorit dan Swasta Jadi Rebutan

Apa yang dikatakan Asrofi memang bisa menjadi salah satu penyebab sekolah negeri kekurangan murid. Di era sekarang tak bisa dimungkiri para orang tua, utamanya generasi milenial, lebih memilih menyekolahkan anaknya di sekolah swasta. Sekolah swasta berbasis agama dan kurikulum internasional seringkali menjadi pilihan.

Ada sejumlah pertimbangan yang membuat orang tua memilih sekolah swasta dibandingkan negeri, meski dulunya mereka justru lebih banyak mengenyam pendidikan di sekolah negeri.

Alasan pertama karena mutu pendidikan di swasta dianggap lebih baik dibandingkan sekolah negeri. Selain itu, perbedaan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan kondisi lingkungan di sekolah juga menjadi pertimbangan. Dengan dalih mengupayakan yang terbaik demi pendidikan anak, seringkali sekolah negeri tak lagi menjadi pilihan orang tua.

Pengamat pendidikan Ubaid Matraji mengatakan, sekolah negeri tidak mendapatkan peserta baru sebenarnya sudah terjadi sejak beberapa tahun terakhir. Hal ini menurut Ubaid menunjukkan bahwa ada kegagalan sistemik soal pemerataan mutu sekolah oleh pemerintah.

Seharusnya menjadi tugas pemerintah untuk membuat mutu sekolah merata, sehingga tidak ada lagi status sekolah favorit. PPDB dengan beberapa sistem, seperti zonasi, prestasi, dan afirmasi dinilai gagal mencapai tujuannya.

Calon siswa melakukan verifikasi saat pengisian formulir pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jalur zonasi di SMP Negeri 25 Bandar Lampung, Lampung, Selasa (25/6/2024). (ANTARA/Ardiansyah/YU/aa)

“Dinas Pendidikan nggak mengurusi hal ini, nggak pernah serius. Dengan sistem apa pun, kalau tidak ada pemerataan, maka sekolah favorit masih menjadi sasaran empuk orang tua. Hal ini memicu terjadinya kecurangan karena memang masyarakat menyasar sekolah favorit,” kata Ubaid ketika dihubungi VOI.

Ubaid menambahkan, sistem zonasi yang digembor-digemborkan bertujuan untuk memeratakan mutu sekolah, justru tidak terjadi. Ia mengatakan sistem zonasi sampai sekarang hanya untuk memeratakan akses dan itu pun bermasalah karena dari sisi ketersediaan jumlah pendaftar dan jumlah bangku tidak sebanding.

“Sistem zonasi yang dielu-elukan untuk memeratakan mutu dan akses tidak terjadi, hanya jargon saja. Sistem ini bagus kalau mutunya sudah merata,” ucap Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) ini.

“Masyarakat akan dengan senang hati sekolah di samping rumah, tidak perlu melakukan kecurangan, maladministrasi, karena pemerintah sudah menjamin bangku sekolah,” Ubaid menambahkan.

Butuh Political Will Kuat

Ia menyayangkan karut marut PPDB telah berlangsung cukup lama dan seperti tidak ada perbaikannya. Padahal, pendidikan menjadi modal dasar menciptakan sumber daya berkualitas, yang ujung-ujungnya akan ikut berkontribusi memajukan bangsa.

Dengan political will yang besar dari dinas terkait, Ubaid yakin masalah pendidikan di Indonesia dapat teratasi. Salah satunya dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebesar 20 persen untuk pendidikan yang dikelola secara transparan, akuntabel, serta tidak terjadi kebocoran di mana-mana.

“Selama ini sektor pendidikan tidak diletakkan sebagai prioritas, hanya bisnis, hanya pelengkap saja. Padahal pembangunan sumber daya manusia kalau tidak dimulai dari sekolah, dampaknya ke mana-mana,” jelasnya.

“Jika sekolah tidak ditangani dengan baik, maka nanti lulusannya tidak memiliki integritas, dan berimbas ke segala sektor. Contohnya menghasilkan hakim yang korup, penguasa yang tidak amanah, ini semua berawal dari sektor pendidikan yang tidak serius,” tutur Ubaid lagi.

Sementara itu, pengamat pendidikan Senza Arsendy dapat memahami beberapa pertimbangan orang tua menyekolahkan anak ke sekolah swasta. Menurut Senza ini karena sebagian orang tua masih menganggap pendidikan sebagai “investasi”. Investasi dalam hal ini adalah orang tua berharap anak mereka memiliki kemampuan lebih baik jika disekolahkan di sekolah swasta.

Perwakilan siswa Jawa Timur membacakan deklarasi gerakan antiperundungan pada pembukaan masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS) tahun 2024 jenjang SMA, SMK dan SLB negeri/swasta di SMKN 5 Surabaya, Senin (15/7/2024). (ANTARA/HO-Biro Adpim Jatim)

Semakin sejahtera sebuah keluarga, semakin besar kemungkinan anak mendapat pendidikan yang lebih baik. Ini dapat dibuktikan dari kerelaan orang tua merogoh kocek dalam-dalam demi mendapat sekolah terbaik.

Tapi karena sekolah berkualitas masih terbatas, menurut Senza mendorong orang tua berkompetisi agar bisa berinvestasi di tempat yang tepat.

“Cuma mungkin salah satu kegelisahannya adalah ketika banyak orang, yang punya posisi tawar di sosial kita yang cukup tinggi, lari ke sekolah swasta, lalu ini sekolah negeri mau diapakan?” ujar Senza.

Ia menjelaskan, masalah ini seharusnya ditangani oleh pemerintah, karena sekarang ini rata-rata sekolah negeri kualitasnya jauh di bawah sekolah swasta mahal, meski masih ada sekolah negeri berstatus unggulan yang kualitasnya tak kalah baik.

Senza menekankan siapa pun berhak atas sekolah negeri yang berkualitas dan mudah diakses, termasuk kelompok masyarakat menengah ke atas, karena masyarakat sudah membayar pajak.

Ketika sekolah negeri dianggap memiliki kekurangan, menurut Senza, masyarakat bisa menuntut perbaikan.

“Kita harus memandang bahwa pendidikan ini sebagai sebuah barang publik. Ketika kita tidak dapat pendidikan yang berkualitas, itu tidak cuma dirasakan oleh orang tersebut, tapi juga masyarakat secara keseluruhan,” kata Senza.