Bagikan:

JAKARTA - SMPN 1 Ponorogo sedang menjadi pembicaraan masyarakat, khususnya para orang tua. Tapi sayang perhatian yang ditujukan kepada sekolah negeri itu bukan karena prestasi yang membanggakan.

SMPN 1 Ponorogo viral setelah mereka meminta sumbangan untuk mobil hingga alat musik baru kepada wali murid. Terang saja hal ini mengundang kegaduhan. Mayoritas wali murid tentu keberatan diminta ‘sumbangan’ untuk hal-hal yang mungkin dinilai kurang essential.

Selebaran Sumbangan Pengembangan dan Peningkatan Mutu Sekolah (SPPMS) ini terlanjur viral di media sosial. Meski berlabel sumbangan, besaran uang yang diminta pihak sekolah lumayan besar. Setiap wali murid diminta mulai Rp1,5 juta sampai Rp1,7 juta. Menurut kebanyakan wali murid, sumbangan itu memberatkan.

Larangan Praktik Pungutan

Kepala SMPN 1 Ponorogo Imam Mujahid tidak menutupi adanya selebaran sumbangan tersebut. Tapi menurut Imam, sumbangan itu perlu dilakukan, apalagi ini merupakan program komite yang juga sebagai mitra sekolah. Bahkan Iman mengatakan isi selebaran itu sudah diteliti oleh Aparat Penegak Hukum (APH).

“Jadi sekolah dan komite merupakan mitra, komite yang memberi kebijakan bersama wali murid. Ini sudah melalui proses panjang, bahkan kami mendatangkan APH juga untuk menelti,” kata Imam kepada wartawan, Jumat (29/9/2023).

Dari selebaran SPPMS yang beredar, beberapa alat musik yang dibutuhkan antara lain dua unit gitar listrik RGX Yamaha 121 Z dengan tiap unitnya dibanderol Rp3.490.000, drum akustik merk Yamaha 5 Piece Stage Custom Original seharga Rp17.700.000.

Itu masih belum termasuk peremajaan mobil dan pengadaan komputer untuk praktik. Jika ditotal, berdasarkan selebaran SPPMS tersebut, sekolah membutuhkan fulus Rp509.580.000 untuk meningkatkan mutu sekolah.

Mengenai usaha pemenuhan kebutuhan dana oleh sekolah, dalam Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah disebutkan bahwa Komite Sekolah boleh melakukan penggalangan dana.

SMPN 1 Ponorogo, Jawa Timur yang sedang viral karena memberlakukan pungutan untuk murid-murid dengan nilai yang besar. (Sekolah Kita)

Namun, penggalangan dana tersebut dilakukan hanya untuk peningkatan mutu layanan pendidikan di sekolah dengan asas gotong royong. Penggalangan dana yang sifatnya berupa pungutan pada murid dan wali murid dilarang oleh Permendikbud.

Lalu, apa perbedaan sumbangan dan pungutan? Dikutip sejumlah sumber, pungutan memiliki ciri-ciri dana bersumber dari peserta didik atau orang tua, bersifat wajib dan mengikat, ditentukan jumlahnya, dan ditentukan waktu pembayarannya.

Sedangkan sumbangan bersumber dari peserta didik, orang tua/wali, perseorangan atau lembaga lainnya. Namun, sumbangan bersifat sukarela, tidak memaksa, dan tidak mengikat. Sumbangan juga tidak ditentukan jumlahnya dan tidak ada jangka waktu.

Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim menganggap apa yang dilakukan SMPN 1 Ponorogo menyalahi aturan. Tidak hanya melanggar Permendikbud, tapi juga tidak tidak sesuai dengan Pasal 31 Undang Undang Dasar 1945 ayat (2), yang bebunyi, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”.

Merujuk pada UUD tersebut, Satriwan menegaskan seharusnya tidak ada lagi pungutan apa pun yang dilakukan pihak sekolah negeri kepada wali murid. Menurutnya, pungutan jelas dilarang karena membebani wali murid dan melanggar peraturan.

“Untuk kasus ini kepala sekolah diduga melakukan pungutan. Padahal pungutan jelas-jelas dilarang, sekolah tidak boleh membebani dengan pungutan yang sifatnya wajib,” tegas Satriwan.

“Sesuai dengan Pasal 31 ayat 2 UUD 1945, seluruh biaya pendidikan dasar di-cover oleh pemerintah, sehingga seharusnya tidak ada pungutan lagi.”

Harus Kreatif Cari Dana

Terkait pungutan untuk tujuan pengembangan mutu pendidikan seperti yang dilakukan SMPN 1 Ponorogo, Satriwan menantang sekolah untuk kreatif mencari dana bantuan ke pihak ketiga tanpa harus melibatkan wali murid.

“Untuk sarana dan prasarana sekolah sebenarnya kan ada dana BOS. Semisal dana BOS tidak mencukupi, sekolah diberikan ruang bekerja sama dengan lembaga lain, di luar wali murid,” Satriwan menambahkan.

“Di sini kepala sekolah seharusnya kreatif, misalnya menjalin kerja sama dengan perusahaan, NGO, meminta sumbangan ke lembaga lainnya untuk pembiayaan proses pembelajaran. Yang jelas tidak boleh ada pungutan lagi ke wali murid.”

SMPN 1 Ponorogo merupakan Sekolah Standar Nasional (SSN), sekolah unggulan di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur. (Istimewa)

Kasus pungutan di institusi pendidikan bukan pertama kali ini. Hampir setiap tahunnya ada saja berita kurang mengenakkan soal pungutan yang dinilai tidak wajar. Pada Juli lalu, orang tua dan wali murid SMAN di Jombang melancarkan protes karena keberatan dengan sumbangan ‘uang gedung’ Rp2,5 juta yang diminta pihak sekolah.

Satriwan menyayangkan praktik pungutan masih marak terjadi di sekolah-sekolah negeri, padahal seluruh pembiayaan di sekolah dasar sudah dijamin pemerintah.

“Kepala sekolah seharusnya disanksi jika meminta pungutan. Pungutan-pungutan seperti ini seharusnya diakhiri, karena melanggar amanah konstitusi. Untuk pengadaan alat musik dan sarana serta prasarana lainnya bisa diajukan ke Kemendikbusristek,” Satriwan menyudahi.