JAKARTA - Kasus prostitusi anak kembali menyita perhatian masyarakat beberapa hari terakhir. Polda Metro Jaya menangkap seorang perempuan berinisial FEA (24), muncikari pada kasus prostitusi anak di bawah umur atau perdangan orang melalui media sosial.
“Kami melakukan upaya paksa terhadap tersangka yang diduga terkait prostitusi atau tindak pidana perdagangan orang (TPPO),” kata Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Ade Safri Simanjuntak kepada wartawan di Jakarta, Minggu 24 September.
Dipaparkan Ade, terdapat dua anak terjerat dalam kasus prostitusi tersebut, yaitu SM (14) dan DO (15). Keduanya mengaku mengenal pelaku dari jaringan pergaulan. Tapi selain SM dan DO, Ade mengatakan masih ada 21 orang anak yang dieksploitasi melalui media sosial oleh pelaku.
Terungkapnya kasus prostitusi anak, meski setiap tahun selalu berulang, tetap mengejutkan masyarakat. Sebelumnya, pada 16 Maret 2023, polisi mengungkap praktik prostitusi yang melibatkan lima anak perempuan di Gang Royal, Jakarta Utara.
Faktor Ekonomi, Pendidikan, dan Lingkungan
Dilansir laman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), dalam laporan UNICEF pada 1998 memperkirakan jumlah anak yang dilacurkan mencapai 40.000 sampai 70.000 anak yang tersebar di 75.106 tempat di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di antaranya anak jalanan.
Persoalan ekonomi, gaya hidup hedonis, putus asa, kompleksnya persoalan sosial dan budaya, proses degradasi moral, atau maraknya sikap permisif, bisa menjadi ”sponsor” utama maraknya praktik prostitusi atau pelacuran. Sementara itu, dalam sebuah studi tentang Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi dan Dampak Psikologi Prostitusi Anak menyebutkan bahwa keluarga bisa menjadi penyebab tejadinya prostitusi anak.
Keluarga yang tidak harmonis, lingkungan keluarga yang kurang kondusif, kurangnya ikatakan emosi antara anak dan orangtua serta pola asuh yang otoriter dapat menjadi penyebab protitusi anak.
Psikolog anak Ghianina Yasira Armand, BSc Psychology, MSc Child development mengatakan ada tiga hal yang dapat mendorong prostitusi anak, yaitu ekonomi, lingkungan, dan pendidkan.
Latar belakang ekonomi inilah yang membuat SM terjerat prostitusi. SM mengaku ingin membantu neneknya setelah dijanjikan bayaran Rp6 juta sehabis melayani pelanggan. Bisnis prostitusi memang dianggap sebagai bisnis menggiurkan dan jalan pintas untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
“Tujuan prostitusi bermacam-macam, salah satunya adalah anak digunakan untuk membayar utang orangtuanya. Hal ini menandakan bahwa faktor ekonomi dapat menjadi salah satu faktor yang mendorong terjadinya prostitusi anak,” Ghianina, yang juga ahli psikologi terapan menuturkan.
Kedua adalah lingkungan tempat tinggal, yang juga dapat memengaruhi fenomena ini. Jika anak tumbuh di lingkungan dengan banyak paparan terkait prostitusi atau bahkan anggota keluarganya memiliki peran dalam tindakan prostitusi, anak dapat belajar dan memiliki pemahaman hal tersebut sebagai hal biasa dan memproyeksikan ke pengalaman hidupnya.
"Terlebih jika tidak adanya bimbingan yang diberikan oleh orang tua atau orang terdekat mengenai hal tersebut," ujar Ghianina menambahkan.
Selain ekonomi dan lingkungan, pendidikan juga dapat menjadi salah satu faktor yang berperan dalam prostitusi. Kurangnya edukasi di masyarakat dapat menyebabkan mereka tidak tahu dan tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan salah. Tanpa edukasi yang cukup dan memadai, masyarakat menjadi mudah untuk dimanipulasi dan dieksploitas oleh orang lain.
"Tanpa memiliki pemikiran kritis dan pemahaman yang mendasar mengenai hak asasi manusia, terutama anak-anak. Jika menurut mereka hal tersebut dapat menyelesaikan masalah yang dimiliki, mereka tidak berpikir panjang lagi untuk melakukannya karena tidak memiliki dasar pemahaman dan pendidikan yang kuat untuk mengetahui bahwa perilaku tersebut tidak tepat," kata Ghianina.
Permasalahan Sangat Kompleks
Prostitusi anak termasuk salah satu masalah berat yang dihadapi Indonesia. Padahal dalam Pasal 63-66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara khusus menyatakan, anak-anak berhak dilindungi dari berbagai sebab, baik eksploitasi ekonomi, eksploitasi dan penyalahgunaan secara seks, penculikan, perdagangan, obat-obatan, dan penggunaan narkoba, dilindungi selama proses hukum.
Psikolog forensik Reza Indragiri Amriel menegaskan, dari segi hukum apa pun alasannya, anak-anak yang dilacurkan adalah korban. Mereka tetap harus mendapat perlindungan khusus dari negara dan diberikan restitusi atau ganti rugi dari germonya.
Namun, Reza tidak menampik kenyataan bahwa banyak pula kasus prostitusi anak ini dilakukan secara sadar tanpa paksaan. Melacurkan diri secara sadar inilah yang kemudian membuat prostitusi anak sulit dienyahkan.
“Dari sisi psikologi, tetap perlu dicek seberapa jauh anak-anak juga berkehendak untuk menjadi pelacur. Contohnya, anak nakal yang mau menjadi pelacur untuk beli pulsa, rokok, miras, dan kelakuan-kelakuan rusak lainnya,” kata Reza kepada VOI.
“Dengan memahami kondisi batin anak yang sesungguhnya, maka tergambar bahwa pelacuran anak sesungguhnya tidak lagi bisa dipotret hitam putih. Pelaku dan korban sejatinya bercampur baur. Semoga penanganannya juga menyertakan kompleksitas itu,” kata Reza lagi.
Hal ini, dituturkan Reza membuat masalah prostitusi anak semakin pelik sehingga sulit untuk untuk dihentikan.
“Anak-anak sudah punya kesadaran bahwa tubuh mereka bisa mendatangkan manfaat komersial. Ini menyedihkan campur mengerikan,” ujar Reza.