Bagikan:

JAKARTA - Regenerasi atlet sering menjadi sorotan di Indonesia. Banyak anggapan bahwa mandeknya prestasi olahraga diakibatkan karena kurangnya regenerasi atlet tersebut. Regenerasi yang cenderung terlambat membuat jarak antara atlet senior dan junior cukup jauh.

Pada jarak itulah, sering terjadi kemerosotan prestasi. Kurangnya stok atlet nasional pernah juga pernah disampaikan Yayuk Basuki, mantan petenis Indonesia, saat dia menjadi anggota Komisi X DPR yang membidangi olahraga.

Dia mengakui banyak induk cabang olahraga yang kesulitan menciptakan atlet baru sebagai regenerasi atlet karena terbentur Undang-Undang Sistem Keolahragaan Nasional (UU SKN). Hal itu diungkapkan Yayuk beberapa bulan sebelum Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 2018.

Regenerasi kembali menjadi sorotan saat Indonesia memberangkatkan 413 atlet untuk berjuang di Asian Games 2022 yang diselenggarakan di Hangzhou, China. Dari nama-nama tersebut banyak atlet senior seperti Eko Yuli Irawan (34 tahun) dan Maria Londa (32 tahun) yang ikut bertanding ke Negeri Tirai Bambu.

Ketua Umum Komite Olimpiade Indonesia (KOI/NOC Indonesia) Raja Sapta Oktohari dalam peluncuran National Olympic Academy (NOA) Indonesia di Kantor KOI Jakarta, Senin (18/9/2023). (Antara/Arnidhya Nur Zhafira)

Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI), Raja Sapta Oktohari tidak menampik sulitnya regenerasi atlet di Indonesia. Okto mengakui bahwa regenerasi atlet adalah hal yang sulit karena sering berbentur dengan beberapa kepentingan, termasuk restu orangtua.

Saat ini menurut Okto, proses regenerasi atlet dilakukan melalui scouting atau pencarian bakat sejak usia dini. Tapi kemudian proses scouting ini sering juga terhalang justru dari orangtua sendiri.

“Makanya sekarang ini ditekankan pada proses scouting atau mencari bakat. Namun proses pencarian bakat ini sering terkendala orangtua. Terkadang orang tua tidak mengizinkan anaknya melanjutkan karier sebagai atlet. Meskipun anaknya suka, kalau orangtua tidak mendukung mau gimana?” kata Okto saat berbincang dengan VOI.

Keputusan orang tua yang tidak mendukung karier anaknya menjadi atlet sebenarnya bisa dipahami di Indonesia. Profesi atlet di Tanah Air masih dianggap kurang atraktif. Kejelasan karier di bidang olahraga masih banyak dipertanyakan. Apalagi, kita sering mendengar atlet yang terlantar pascapensiun.

Gap Atlet Sudah Diprediksi Sejak 2019

Eko Yuli Irawan merupakan atlet angkat besi andalan Indonesia. Bagi Eko, terbang ke Hangzhou berarti menggenapkan keikutsertaannya di ajang Asian Games menjadi empat kali. Sebelumnya, Eko Yuli sudah bertanding Asian Games 2010 Guangzhou (China), lalu 2014 Incheon (Korsel), dan terakhir di Jakarta-Palembang 2018.

Pada dua edisi pertama keikutsertaannya di Asian Games, Eko Yuli berhasil membawa pulang medali perunggu, sebelum akhirnya dia merebut emas di Asian Games 2018. Semua prestasinya dicetak di kelas 62 kg.

Tapi melihat usianya yang tak lagi muda, bukan tidak mungkin Eko Yuli Irawan bakal undur diri dari angkat besi. Mengenai penerus Eko, sebenarnya ada beberapa nama yang berpotensi meneruskan prestasi. Di antaranya adalah Ricko Saputra dan Rahmat Erwin Abdullah.

Eko Yuli Irawan melakukan angkatan snatch pada pertandingan kelas 61 kilogram putra SEA Games 2023 di Taekwondo Hall, Olympic Complex, Phnom Penh, Kamboja, Sabtu (13/5/2023). (Antara/Muhammad Adimaja/aww)

Ricko Saputra, 23, belum lama ini menyabet dua medali emas saat tampil di kelas 61 kg Grup A Grand Prix IWF 2023 edisi pertama yang bergulir di Pabexpo Exhibition Complex, Kuba, pada Juni lalu. Sementara Rahmat Erwin Abdullah membawa pulang emas dari Kejuaraan Dunia Angkat Besi 2023 di Arab Saudi. 

Namun, Ketua Bidang Pembinaan dan Prestasi PB PABSI Hadi Wihardja mengaku adanya gap antara Eko dan penerusnya sebenarnya sudah diprediksi sejak 2019. Tapi dia bersyukur sekarang prestasi yang diraih Ricko dan Rahmat juga membanggakan.

“Sebenarnya soal regenerasi khusunya di angkat besi sudah diprediksi sejak 2019. Namun selama performance Eko masih mampu, kita masih mengandalkan dia. Ada Ricko Saputra yang sekarang jadi pelapis Eko,” kata Hadi kepada VOI.

Kurang Kompetisi Usia Dini

Mengenai regenerasi yang sulit dilakukan, Hadi Wihardja menyebut masalah pendanaan dan minimnya kejuaraan usia dini di daerah turut berperan. Padahal kata mantan lifter nasional ini, minat terhadap olahraga angkat besi cukup tinggi.

Saat ini, meski event angkat besi kerap diadakan, namun hanya ada di kota-kota besar di Pulau Jawa, sehingga menyulitkan bagi atlet-atlet daerah untuk ikut serta. Hal ini membuat atlet junior di luar Jawa kesulitan untuk bertanding karena terkendala dana.  

“Kita butuh kejuaraan di wilayah. Kejuaraan angkat besi ini seharusnya disebar ke wilayah-wilayah, misalnya wilayah timur dan barat. Sehingga misalnya ada atlet dari Indonesia bagian timur bisa tetap ikut,” imbuh mantan atlet angkat besi yang pernah tampil di Olimpiade 1984 Los Angeles tersebut.

Ilustrasi - Indonesia sangat kekurangan kompetisi ussia dini, yang membuat regenerasi atlet level nasional pun berjalan lambat. (Antara/Kornelis Kaha)

Selain itu, Hadi menegaskan pembinaan atlet di daerah juga kurang maksimal. Padahal, menurutnya pembinaan di daerah yang baik akan melahirkan atlet-atlet nasional ke depannya.

Regenerasi atlet yang minim juga pernah dikeluhkan Sukraj Singh. Ia mantan atlet atletik asal Sumatera Utara pemegang rekor nasional tolak peluru putra di Indonesia. Saat ini dia masih memegang rekor tolakan sejauh 16,87 meter yang dicatat sejak tahun 2000.

Artinya, rekor tersebut belum terpecahkan selama 23 tahun. Alih-alih bangga, Sukraj justru menyayangkan hal ini terjadi. Karena rekor miliknya yang bertahan selama dua dekade lebih lantaran regenerasi atlet yang kurang.

Sukraj sangat berharap rekornya dipecahkan atlet-atlet muda. Namun, hal ini sulit terwujud karena minimnya kompetisi usia dini. Padahal menurutnya semakin banyak kompetisi sejak dini, akan semakin cepat pula pengejaran prestasi.

Sukraj yakin sebenarnya Indonesia memiliki banyak potensi terpendam, namun karena kejuaraan yang masih minim sehingga tak banyak yang bisa diikuti. Hal inilah yang membuat generasi penerus atletik jadi sulit berkembang.

“Ketika anak-anak tahu akan ada kompetisi, mereka akan latihan. Nah, mereka akan mengejar kompetisi itu. Sehingga terdorong bagi mereka untuk terdorong agar berprestasi lebih tinggi dan lebih tinggi lagi. Dengan kompetisi ini kami sebagai pelatih dan orang-orang yang bergerak di dunia atletik menjadi tahu. Rupanya banyak anak-anak yang ingin berprestasi di atletik,” kata atlet yang membawa pulang medali perak SEA Games 1999 saat menghadiri acara Student Athletic Championship (SAC) Indonesia di Sumatera Utara pada November 2022.