JAKARTA - Momen bincang-bincang Jennifer Bachdim dengan artis Melaney Ricardo di kanal YouTube @MelaneyRicardo menjadi perbincangan hangat masyarakat belakangan ini. Itu karena dalam kesempatan tersebut, istri pesepak bola Indonesia Irfan Bachdim mengaku sekarang bertukar beran sebagai pencari nafkah di keluarga.
“Saya rasa, hal ini tidak masalah. Irfan sudah bekerja sejak awal kami berumah tangga. Sekarang, saya rasa ini adalah waktu baginya untuk beristirahat, menghabiskan waktu dengan anak-anak,” kata Jennifer.
Saat ini diketahui Irfan Bachdim tidak memiliki klub alias menganggur setelah kontraknya dengan Persis Solo habis tahun lalu. Tawaran Persis memperpanjang kontrak Irfan Bachdim ditolak karena Jennifer mengaku kesulitan menemukan rumah, kehidupan, dan sekolah di Solo.
Akhirnya keputusan bertukar peran pun diambil oleh ibu dari empat orang anak ini setelah selama setahun menjalin Long Distance Marriage. Sekarang Jennifer bekerja sebagai pencari nafkah, dan Irfan Bachdim gentian mengurus anak.
Definisi Keluarga Ideal Bersifat Dinamis
Pengakuan Jennifer Bachdim menerima kenyataan bahwa suaminya tak lagi bekerja mendapat tanggapan beragam dari masyarakat. Banyak yang memberikan acungan jempol, namun tidak sedikit pula yang mencibir menganggap istri sebagai pencari nafkah bukanlah contoh keluarga ideal.
Tapi psikolog Melok Roro Kinanthi berujar, definisi keluarga yang ideal cenderung dinamis, berubah-ubah mengikuti perkembangan zaman. Jika dulu yang dianggap ideal adalah suami bekerja dan istri mengurus rumah tangga, maka sekarang masyarakat mulai terbuka menerima fenomena bapak rumah tangga, khususnya pada keluarga muda.
Seiring perkembangan zaman, peran gender tradisional pelan-pelan tidak lagi dianggap sebagai aturan saklek yang harus diikuti dengan kaku. Perubahan sosial, ekonomi, dan budaya memberi ruang kepada masyarakat untuk mendefinisikan peran gender dalam keluarga. Di era sekarang ini, sudah banyak sekali anggapan bahwa perubahan peran di keluarga bukanlah hal yang tabu. Jadi, tidak apa-apa jika istri yang mencari nafkah sementara suami mengurus rumah tangga.
“Pola pikir pragmatis dan realistis juga ikut berkontribusi pada semakin terbukanya masyarakat terhadap fenomena bapak rumah tangga. Jika memang istri memiliki peluang karir lebih baik dan penghasilan istri lebih besar dari suami, kenapa tidak bertukar peran saja? Toh, para suami ini juga tidak menganggur di rumah, mereka juga produktif mengasuh anak, mengurus rumah, hingga menjalankan usaha dari rumah,” kata Melok Roro Kinanthi kepada VOI.
“Dalam konteks ini, kondisi yang ideal adalah ketika suami dan istri sepakat menjalankan pembagian peran yang sudah ditentukan bersama secara adil. Yang dianggap masalah adalah bila istri mencari nafkah, namun suami malas-malasan di rumah dan tidak mau mengerjakan urusan domestik.”
Fungsi Keluarga Bukan Sekadar Materi
Meski zaman telah berkembang, di mana kesetaraan - termasuk setara mendapat kesempatan bekerja - untuk perempuan terus digaungkan, stigma negatif terhadap ibu bekerja tetap tak bisa hilang. Utamanya ketika seorang istri benar-benar mengambil peran sebagai pencari nafkah.
Padahal, ketika keputusan bertukar peran diambil secara sepakat antara suami dan istri, serta siap menghadapi segala konsekuensinya, kehidupan keluarga akan baik-baik saja. Menurut Melok, tantangan justru muncul dari luar keluarga itu sendiri, yaitu stigma negatif dari lingkungan karena mereka dianggap gagal menjalankan ekspektasi masyarakat terkait peran gender tradisional.
Masyarakat secara umum melihat bahwa pemenuhan kebutuhan ekonomi adalah tugas suami sebagai pencari nafkah. Hal ini bahkan tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia No1 Tahun 1974 yang mengatur perkawinan. Pada Pasal 31 ayat 3 disebutkan bahwa, “Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga”.
Padahal dalam membangun sebuah keluarga, mencukupi kebutuhan materi bukanlah segalanya, meski tidak perlu ditampik itu hal penting. Sebuah keluarga menurut Melok memiliki fungsi yang jauh lebih penting dari sekadar pemenuhan materi. Fungsi keluarga lainnya antara lain menyediakan dukungan emosional, mengajarkan dan mewariskan nilai-nilai kehidupan yang dianggap penting, memberikan perlindungan, sampai menyiapkan generasi baru yang optimal.
Fungsi keluarga ini harus disadari oleh pasangan, yaitu suami dan istri, serta anggota keluarga lainnya. Sehingga ketika istri keluar sebagai pencari nafkah, tidak ada perasaan ‘dominan’ dalam keluarga karena memang yang dibutuhkan keluarga tidak sekadar materi.
“Kalau hanya menekankan pada fungsi ekonomi dan mengabaikan pemenuhan fungsi-fungsi lainnya, maka keluarga akan pincang. Ketika istri menjalankan peran yang lebih dominan dalam memenuhi fungsi ekonomi, suami dapat mengimbanginya dengan menjalankan peran yang lebih dominan untuk memenuhi fungsi yang lain,” kata dosen Fakultas Psikologi Universitas YARSI ini.
“Suami, istri, dan anggota keluarga lain perlu menetapkan visi dan misi jangka panjang keluarga, dan sama - sama berperan aktif mengupayakan terwujudnya visi misi tersebut dengan perannya masing-masing. Jadi, fokusnya ke masa depan.”
Selama masing-masing menyadari setiap pihak berperan aktif mengupayakan tercapainya visi misi tersebut, maka suami dan istri bisa saling menghargai dan tidak merasa ada yang lebih dominan.