Bagikan:

JAKARTA – Jika perempuan Indonesia makin banyak yang memutuskan tidak memiliki anak alias childfree, ekonom memprediksi akan menyebabkan masalah ekonomi bagi negara ke depannya.

Meski menjadi pro dan kontra, fenomena childfree di Indonesia makin tinggi. Itulah yang tampak dari temuan Badan Pusat Statistik (BPS) dalam laporan berjudul “Menelusuri Jejak Childfree di Indonesia”.

Data itu menunjukkan, prevalensi perempuan childfree yang hidup di Indonesia saat ini mencapai 8,2 persen atau setara 71.000 perempuan. Ini adalah angka paling tinggi dalam empat tahun. Pada 2019, angka childfree mencapai tujuh persen, kemudian menjadi 6,3 persen dan 6,5 persen pada 2020 dan 2021.

Survei ini dilakukan pada perempuan berusia 15 sampai 49 tahun yang pernah menikah, tapi belum pernah melahirkan, dan tidak menggunakan kontrasepsi.

Dalam jangka pendek, childfree terlihat memiliki dampak positif bagi negara karena dapat meringankan anggaran pemerintah. Namun dalam jangka panjang tren ini berpotensi membuat struktur demografi menjadi tidak seimbang.

Angka kelahiran di Jepang merosot dalam beberapa tahun membuat populasinya ikut menurun. (Ist)

Menghantam Korsel dan Jepang

Keputusan untuk memiliki anak atau tidak adalah hal paling privasi bagi setiap pasangan. Namun hal ini masih menjadi polemik, salah satunya di Indonesia. Fenomena childfree tengah menghantam berbagai negara di dunia, terutama di kawasan Asia Timur, seperti Korea Selatan (Korsel), China, dan Jepang.

Korsel diprediksi mengalami penurunan populasi yang signifikan dalam 50 tahun ke depan, dan peringkat populasi globalnya turun 30 level akibat tingkat kelahiran yang sangat rendah dan penuaan yang cepat, menurut data pada September 2024.

Negera dengan julukan Negeri Ginseng ini tengah menghadapi tantangan demografi serius menyusul pilihan banyak anak muda untuk menunda atau tidak mau menikah atau bahkan tidak memiliki anak. Hal ini terjadi karena adanya perubahan norma sosial dan gaya hidup di sana. Selain itu, pasar kerja di Korsel juga tengah sulit dan ditambah harga rumah yang terus meningkat.

Akibat childfree ini, populasi Korsel diproyeksikan berada di angka 36 juta pada 2072. Angka tersebut berarti turun 30,8 persen dari dari 52 juta di tahun ini. Populasi Korsel sebenarnya mencapai puncak pada 2020, namun data dari lembaga statistik mengatakan mereka mengalami penurunan sejak saat itu.

Angka kelahiran di Jepang juga merosot. Kementerian Kesehatan Jepang pada tahun lalu mengatakan tingkat kelahiran yang rendah sudah terjadi sejak tujuh tahun ke belakang. Kondisi ini membuat populasi warganya makin menyusut dan menua dengan cepat.

Melihat kondisi ini, pemerintah setempat memprediksi populasi anak muda Jepang akan mengalami penurunan drastis pada 2030.

“Populasi kaum muda akan mulai menurun drastis pada 2030-an. Jangka waktu hingga saat itu adalah kesempatan terakhir kami untuk membalikkan tren penurunan kelahiran,” kata Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida tahun lalu.

Kondisi ini menjadi prioritas utama pemerintah saat ini. Jepang akan menggelontorkan anggaran 3,5 triliun yen setahun untuk perawatan anak dan tindakan lain demi mendukung orangtua.

Pemerintah Jepang memberikan langsung yang cukup besar agar warga memiliki biaya pendidikan dan perawatan prenatal. Selain itu, mereka juga menawarkan promosi gaya kerja yang fleksibel dan cuti ayah.

Tren childfree yang berlanjut bisa berdampak pada ekonomi negara karena kesejahteraan lansia berpotensi menjadi tanggung jawab negara. (Pexel)

Menjadi Beban Pemerintah

Bagaimana dengan childfree di Indonesia? Apa saja dampak ke depannya?

Merujuk data BPS, tingkat Total Fertility Rate (TFR) merosot tajam dalam lima dekade terakhir. Pada 1970-an, pasangan di Indonesia rerata memiliki 5,61 anak. Tapi jumlah ini anjlok menjadi rata-rata 2,18 anak pada 2020.

Jika tren childfree terus berlanjut, BPS mengungkap Indonesia berisiko kehilangan segmen generasi tertentu dalam piramida penduduk.

Untuk jangka pendek, fenomena childfree disebut dapat meringankan anggaran pemerintah karena menurunkan subsidi untuk pendidikan dan kesehatan. Ekonom Universitas Airlangga Prof Dra Ec Dyah Wulansari juga menjelaskan, dalam perspektif ekonomi, childfree tidak selalu buruk, bahkan menguntungkan bagi sejumlah pihak.

Perempuan yang memilih untuk tidak punya akan akan menambah keproduktifan dalam bekerja dan ini menguntungkan tempat perusahaan ia bekerja.

“Bagi pengusaha itu seneng juga ya, karena si wanita tidak punya anak, dia bisa bekerja dan tidak cuti melahirkan. Itukan ada undang-undangnya, bahwa wanita yang bekerja, dan dia melahirkan, maka berhak mendapatkan cuti. Itu sisi pengusaha,” ujarnya.

namun menurut analisis Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), tingkat kesuburan yang rendah bisa menyebabkan penurunan populasi. Jumlah penduduk berusia 65 tahun ke atas untuk setiap 100 orang usia kerja juga diprediksi meningkat dua kali lipat dari 30 orang pada 2020 menjadi 59 orang pada 2060 di seluruh wilayah OECD.

Dengan begitu, penyusutan populasi pekerja seperti yang terjadi di Jepang berpotensi terjadi. Ini menyebabkan masyarakat menua sehingga memberi tekanan sosial dan ekonomi kepada pemerintah, terutama di sektor pengeluaran untuk layanan pensiun dan kesehatan.

BPS sependapat dengan anggapan ini. Menurut BPS dalam jangka pendek perempuan childfree memang bisa meringankan beban anggaran pemerintah.

“Namun dalam dangka panjang, kesejahteraan perempuan childfree usia tua akan berpotensi menjadi tanggung jawab negara,” demikian pernyataan BPS.