Bagikan:

JAKARTA – Gaya hidup tidak ingin memiliki keturunan atau childfree kembali menjadi perbincangan hangat publik. Ada beragam faktor mengapa sejumlah individu memilih hidup tanpa keturunan. Antara lain tentu kesiapan mental dan kesiapan finansial.

Banyak penganut childfree merasa khawatir mereka tidak mampu menjalankan perannya sebagai orangtua yang baik ketika memiliki keturunan. Anak yang seharusnya bisa memberikan manfaat untuk keluarga, bangsa, dan agama, justru nantinya malah lebih banyak menyusahkan. Terlebih, bila tidak didukung kepastian dalam sisi finansial.

Memutuskan memiliki anak tentu memerlukan persiapan finansial yang matang. Butuh biaya yang tidak sedikit mulai dari pengecekan kehamilan, biaya bersalin, biaya keperluan harian mulai dari popok, susu, dan kebutuhan pokoknya, hingga biaya pendidikan.

Bila itu tidak terpenuhi, apakah anak akan mampu tumbuh dan berkembang dengan baik?

Ada pula yang menganggap kehadiran anak dapat mengganggu bentuk fisik dan rutinitas pribadi, terutama untuk kaum perempuan. Kelakar influencer Gita Savitri ketika menjawab sanjungan pegiat media sosial bisa menjadi bukti. Gita menyebut, dia bisa tampak awet muda karena tidak punya anak sehingga memiliki banyak waktu tidur dan uang untuk perawatan.

Ilustrasi - Menikah dan memiliki keturunan merupakan pilihan, seperti halnya gaya hidup childfree atau tak berketurunan. (Motortion/Adobe Stock)

"Iya, buat gua (anak itu) beban. Buat lo, kan, bukan (tapi) anugerah. Buat gua beban makanya gua nggak mau (punya anak). And there's nothing wrong with it," ujar Gita di sesi live Instagram pada Rabu malam, 8 Februari 2023.

Ketua Aliansi Cinta Keluarga, Rita Soebagio mengakui dari sisi psikologis faktor yang menyebabkan orang memilih childfree tentunya banyak sekali. Faktor yang mempengaruhi perilaku selalu berkonvergensi di antara banyak faktor. Pola asuh yang traumatis bisa saja memberikan dampak, di samping faktor lain seperti alasan keuangan.

Memang tak dapat dipungkiri, pemikiran global terkait kesetaraan gender dan feminisme yang cenderung melihat keluarga sebagai institusi patriarki bisa jadi telah banyak mempengaruhi cara berpikir perempuan saat ini.

“Perempuan yang mengambil jalan childfree menganggap tubuh dan hidup mereka adalah milik mereka sendiri. Perempuan semata-mata dinilai sebagai individu tanpa harus terikat dengan aturan orang lain baik itu pasangan, bahkan juga norma-norma agama sekalipun,” kata Rita kepada VOI pada 19 Februari 2023.

Bahkan karena sangat tidak ingin memiliki keturunan, banyak perempuan pada akhirnya memutuskan juga untuk tidak menikah.

Dampak Terhadap Negara

Gaya hidup childfree ternyata juga memiliki dampak serius terhadap perekonomian negara. Tengok Jepang, angka kelahiran pada tahun 2016 menurun drastis mencapai di bawah satu juta kelahiran. Ini kali pertama terjadi sejak tahun 1899 menurut tulisan ilmiah yang dipublikasikan pada Oktober 2018 oleh Kato Akihiko, profesor ilmu politik dan ekonomi Universitas Meiji.

Pemikiran sejumlah masyarakat Jepang mengenai pernikahan dan membentuk keluarga sudah jauh bergeser. Sekitar 70 persen responden pasangan di Jepang, menurut Akihito, mengatakan uang jadi faktor utama untuk menikah dan memiliki anak.

Sementara, kata Ekonom Universitas Airlangga (UNAIR) Dr Rossanto Dwi Handoyo, usia harapan hidup di Jepang mencapai 83 bahkan sampai 90 tahun. Mereka yang berusia di atas 65 tahun hidup hanya dengan mengandalkan uang pensiun. Ini tentu tidak cukup, bagaimanapun mereka tetap butuh keluarga yang masih berusia produktif.

Sehingga rasio ketergantungan usia tidak produktif terhadap usia produktif semakin lama semakin tinggi.

“Penduduk di usia produktif selain untuk membiayai hidupnya juga harus menanggung pengeluaran untuk usia senior. Dengan demikian tabungannya akan semakin kecil. Padahal di negara maju, saving itu adalah bagian dari kemajuan negara,” ucapnya dilansir dari laman Universitas Airlangga.

Jika saving suatu negara kecil, otomatis investasinya juga akan kecil. Menyebabkan kemampuan untuk meningkatkan kapasitas produksi, kapasitas pabrik, kapasitas industri dari dana investasi berkurang.

Influencer Gita Savitri dan suaminya, Paul Partohap yang memilih gaya hidup childfree. (Instagram/@gitasav) 

Selain itu, jika lebih banyak penduduk usia tua, pengeluaran negara untuk kesehatan juga akan semakin besar. Semakin tua biasanya tingkat kesehatan juga menurun.

“Pemerintah dalam hal ini berperan dalam menyokong kesehatan mereka. Secara umum, dalam jangka panjang hal ini bisa mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara,” tutur Rossanto.

China pun diketahui tengah mengalami kondisi serupa. Gaya hidup childfree mengakibatkan banyak perempuan memutuskan untuk tidak menikah dan berkeluarga. Berbagai cara untuk meningkatkan angka kelahiran telah dilakukan.

China pada 2021 telah mengubah Undang-Undang Kependudukan dan Keluarga Berencana. Mengizinkan pasangan memiliki tiga anak untuk menahan krisis demografi yang dapat mengancam harapan peningkatan kemakmuran.

Statistik pada 2020 menunjukkan 12 juta bayi lahir, tetapi angka ini turun 19 persen dibandingkan tahun 2019 yang mencapai 14,6 juta jiwa.

Sementara penduduk China di atas 60 tahun sudah mencapai 264 juta, menyumbang 18,7 persen dari total penduduk itu pada 2020. Pada saat yang sama, penduduk usia kerja turun menjadi 63,3 persen dari total 70,1 persen per tahun.

Di Indonesia, dampak dari gaya hidup childfree memang belum terasa karena adanya bonus demografi. Hasil Sensus Penduduk 2020 oleh BPS menunjukkan jumlah penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 70,72 persen dari total jumlah penduduk Indonesia.

Namun, kalau gaya hidup tersebut semakin bertahan dan berkembang, bukan tidak mungkin Indonesia akan merasakan hal yang sama dengan Jepang dan China.

Keluarga Adalah Fondasi

Rita menilai kian tingginya kesadaran milenial dan generasi Z saat ini dalam meraih pendidikan dan karier memang membuat mereka tidak fokus dalam rencana mencari pasangan. Banyak anak muda semakin individualistis dan tidak lagi memandang penting lembaga pernikahan.

Itulah mengapa, norma-norma agama menjadi faktor penting untuk kembali meletakan pernikahan dan keluarga sebagai institusi penting dalam perjalanan seorang individu. Bahkan bagi mereka yang tidak atau belum ditakdirkan berkeluarga sekalipun.

“Keterikatan dengan keluarga adalah hal yang harus terus dipelihara. Harapannya dengan terus menjaga dan memelihara kasih sayang di antara keluarga akan dapat menumbuhkan kebutuhan akan pentingnya berkeluarga. Keluarga yang harmonis akan menjadi model bagi anak-anak milenial dalam memandang lembaga pernikahan dan keluarga sebagai institusi yang harus terus dilestarikan,” tuturnya.

Ilustrasi - Keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kualitas bangsa. (Pixabay)

Wakil Presiden Ma’ruf Amin pun sempat menyatakan keluarga memiliki peran penting dalam menentukan kualitas bangsa. Ibarat bangunan, keluarga sebagai fondasi dan bangsa adalah bangunannya. Bila fondasi berkualitas maka bangunannya juga kuat.

Sehingga, menurut Rita, “Jika ada yang mengatakan atau penelitian yang menyebutkan pernikahan dan keluarga adalah sumber berbagai masalah, maka pandangan ini jelas menyelisihi petunjuk dalam Alquran. Justru janji Allah mengatakan bahwa berpasangan dan menikah akan membuat manusia tenang dan tentram. Allahu’alam.

“Menikah dan memiliki keturunan memang merupakan pilihan. Tentu ada dampak, baik positif maupun negatif dari pilihan hidup yang diambil. Positif jika perilaku tersebut sesuai dengan tuntutan dan nilai-nilai budaya, khususnya juga agama,” kata Rita menambahkan.