Dilema Perempuan Korban Kekerasan Seksual
Benarkah Putri Candrawathi menjadi korban kekerasan seksual namun tidak berani membuat laporan secara terbuka?

Bagikan:

JAKARTA – Benarkah perempuan korban kekerasan seksual yang berusia dewasa dan sudah berkeluarga akan lebih mudah menghadapi trauma dibanding korban berusia remaja?

Pendapat ini menurut Psikolog dari Universitas Indonesia, Dr. Rose Mini Agoes Salim, tidak sepenuhnya benar. Dalam beberapa kasus memang ada korban yang hanya mengalami, cemas, rasa bersalah, dan malu. Namun dalam kasus lainnya, ada juga korban yang sampai mengalami stres berat, mengurung diri, putus asa, bahkan ingin melakukan bunuh diri karena malu.

Meski ada perbedaan, itu bukan karena faktor usia, melainkan lebih ke pengalaman hidup, pemahaman agama, lingkungan, dan sejumlah faktor lainnya. Termasuk kepribadian dalam hal ketangguhan korban dalam menghadapi dan mengatasi masalah.

“Ada orang yang sumbu kecemasannya pendek, ada pula yang panjang, jadi banyak faktor, belum tentu juga karena usia. Usia dewasa, berkeluarga tentu punya pengalaman yang lebih banyak dibanding remaja, tetapi apakah dia memiliki daya tahan mengatasi masalah?” kata Rose kepada VOI pada 16 Februari 2023.

Justru korban yang sudah berkeluarga umumnya akan memiliki rasa cemas dan trauma yang lebih besar.

Perlawanan atas kasus kekerasan seksual terhadap kaum perempuan. (Antara/Hafidz Mubarak A/foc)

“Pasti banyak pikiran yang menghantui, apakah suaminya bisa menerimanya, apakah anak-anaknya akan bisa mengerti dan tidak menyalahkannya. Ada perasaan bersalah, belum lagi hujatan dari lingkungan. Kalau korban orang yang populer, dengan status sosial tinggi, kemungkinan hujatannya juga akan semakin besar,” tuturnya.

Tak dapat dipungkiri, sejumlah masyarakat Indonesia masih menganggap korban kekerasan seksual sebagai aib. Apalagi kata Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor kalau sampai hamil. Alih-alih mendapat dukungan, banyak kasus korban kekerasan seksual justru mendapat hujatan dari lingkungannya.

“Kehamilannya dianggap sebagai aib atau risiko yang harus ditanggung sendiri. Bahkan, ada korban sampai dikurung atau diusir dari rumah atau dikeluarkan dari komunitasnya,” ucap Maria kepada VOI pada 16 Februari 2023.

Itulah yang membuat korban kekerasan seksual semakin drop. Pada akhirnya, bukan tidak mungkin korban akan mengalami gangguan penyesuaian dengan efek depresi berat berupa adanya ide bunuh diri yang persisten.

“Bagaimanapun, korban kekerasan seksual tetap butuh support. Jika lingkungan terdekat memberikan dukungan sosial dan pemulihan dengan tidak menstigma negatif, tidak mengkriminalkan, tidak mengucilkan, biasanya proses pemulihan bagi korban relatif lebih cepat. Setidaknya korban merasa aman, bertahap mulai bicara dengan orang yang mendampinginya,” tutur Maria.

Enggan Melapor

Secara umum, rasa malu, khawatir risiko terhadap diri sendiri, semisal disalahkan, dikucilkan, atau dikriminalisasi, dan dampak terhadap keluarga sering menjadi pertimbangan utama korban kekerasan seksual untuk tidak melaporkan apa yang dialaminya. Korban lebih memilih memendam dan berupaya mengatasinya sendiri.

Jangankan melaporkan, kata psikolog anak dan remaja Novita Tandry, melakukan visum saja mungkin enggan. Belum lagi proses hukum yang lazimnya memakan waktu lama.

“Memang tidak mudah untuk bisa melapor. Konsekuensi yang harus ditanggung dari publik, membuat BAP, rekonstruksi, itu akan membuat korban kekerasan seksual lebih merasa stres karena dalam proses tersebut korban harus mengulang kejadian yang sudah dialami. Belum lagi saat menjalani persidangan dan lain sebagainya, sangat berat buat korban,” ucapnya kepada VOI pada 16 Februari 2023.

Faktor lain yang juga kerap menjadi pertimbangan adalah ancaman dari pelaku. Ketika hendak melapor, korban kerap kali mendapat ancaman yang menyangkut dirinya sendiri atau keluarga. Semisal, dengan mengancam akan membunuh, menyebarkan video, dan lainnya.

Ilustrasi - Korban yang sudah berkeluarga umumnya akan memiliki rasa cemas dan trauma yang lebih besar. (Unsplash)

Terlebih, bila pelakunya memiliki relasi kuasa dan memiliki hubungan keluarga.

“Melapor merupakan suatu bentuk konsekuensi terhadap hal yang harus ditanggung, memang tidak mudah bagi korban melapor. Kalau sampai melapor, berarti dia ingin supaya ada penegakan hukum, supaya ada efek jera terhadap pelaku,” kata Novita.

Rose pun menilai dengan melapor, ada risiko tersendiri. Korban kekerasan seksual akan lebih terekspos.

“Memang ada juga lingkungan yang memberi simpati, tetapi biasanya korban merasa enggak nyaman juga karena banyak orang tahu apa yang dialaminya. Ketika banyak orang tahu, korban berpikir lagi apa yang terjadi dengan perencanaan hidupnya kemudian,” imbuh Rose.