Kredibilitas Polri Sebagai Penegak Hukum Kembali Dipertanyakan
Ilustrasi - Upaya terbaik meningkatkan kembali kepercayaan publik adalah dengan mereformasi Polri baik secara kultur maupun struktur. (Antara/Aprillio Akbar)

Bagikan:

JAKARTA – Kredibilitas Polri sebagai salah satu lembaga penegak hukum kembali diuji. Setelah kasus Ferdy Sambo, tragedi Kanjuruhan, dan dugaan penyalahgunaan narkoba oleh perwira tinggi, kini Polri kembali mendapat sorotan publik atas kasus kecelakaan lalu lintas yang merenggut nyawa Muhammad Hasya Atallah dan Selvi Amalia.

Pihak keluarga Muhammad Hasya Atallah tidak terima dengan keputusan kepolisian yang justru menetapkan korban sebagai tersangka. Sementara, pengemudi Mitsubishi Pajero yang diketahui adalah pensiunan polisi berpangkat AKBP bernama Eko Setia Budi Wahono tidak mandapat sanksi apapun. Padahal, pensiunan polisi inilah yang menabrak Hasya.

Sedangkan pada kasus Selvi Amalia, keluarga menganggap keterangan polisi bertolak belakang dengan bukti-bukti yang ada. Mereka yakin yang menabrak Selvi adalah kendaraan rombongan pejabat Polri. Kuasa hukum keluarga Yudi Junadi menduga mobil penabrak adalah jenis Innova warna hitam, bukan mobil jenis Audi.

Peneliti Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi tak memungkiri, alih-alih berupaya menunjukkan kinerja yang profesional dan berintegritas, Polri justru cenderung abai terhadap persepsi publik terhadap dirinya.

“Lebih tetap kaku ke hal-hal yang sifatnya prosedural, sekadar melakukan SOP. Itu yang saya kira perlu dikritik. Semisal, soal penersangkaan. Kalau memang belum jelas, buat apa terburu-buru. Ini yang menimbulkan kecurigaan publik,” kata Khairul kepada VOI, Senin (30/1).

Muhammad Hasya Atallah, mahasiswa FISIP UI yang tewas tertabrak mobil pensiunan polisi, tetapi malah ditetapkan menjadi tersangka. (VOI/Rizky Sulistio/repro)

“Pada akhirnya, meski Polri sudah bekerja sesuai prosedur, mungkin sudah sesuai dengan fakta, tetapi dengan cara kerja yang kaku, yang terburu-buru, publik tetap tidak puas karena kepercayaan itu mungkin sudah jauh berkurang saat ini,” tambahnya.

Sehingga, menurut Khairul, upaya terbaik meningkatkan kembali kepercayaan publik adalah dengan mereformasi Polri. Baik secara kultur yang masih kental dengan nuansa militerisme maupun secara struktur yang terkait dengan distribusi kewenangan.

“Biar jelas, Polri adalah pelindung dan pengayom masyarakat, fungsi utamanya adalah memelihara keamanan dan ketertiban di masyarakat dan penegakan hukum. Artinya, pendekatan yang dilakukan juga harus memasyarakat, tidak bisa dengan karakter militer,” tuturnya.

Itulah mengapa, dia termasuk pihak yang menyetujui bila Polri berada di bawah kementerian, tidak lagi di bawah Presiden.

“Bila di bawah kementerian, kewenangan polisi bisa dibatasi. Polisi hanya sebagai pelaksana. Kalau saat ini, Polri sendiri yang merencanakan, yang melaksanakan, dan Polri pula yang mengawasi,” kata Khairul.

Lagipula selama dua dekade pascareformasi, peran Polri ternyata tidak berjalan sesuai harapan sebagaimana tertuang dalam UUD 1945, yakni sebagai alat negara dalam menjaga keamanan dan ketertiban, perlindungan, pengayoman, pelayanan masyarakat serta penegakan hukum.

“Justru memburuk, cenderung ada potensi penyalahgunaan kewenangan karena saking besarnya kewenangan yang dimiliki Polri. Jadi, perlu ada pembenahan regulasi. Ini perlu dukungan dari semua elemen, termasuk dari pemerintah dan wakil rakyat,” Khairul menandaskan.

Pro-Kontra Posisi Polri

Usulan agar Polri berada di bawah kementerian sebenarnya sudah didengungkan sejak lama, antara lain oleh Agus Widjojo semasa masih menjabat Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas).

Agus merasa perlu membentuk Kementerian Keamanan Dalam Negeri. Lembaga inilah yang nantinya menaungi institusi Polri. Sehingga, ada banyak hal yang bisa dikoordinasikan terkait keamanan dan ketertiban masyarakat seperti halnya TNI yang berada di bawah naungan Kementerian Pertahanan.

"Untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban perlu ada penegakan hukum, itu Polri. Seyogianya diletakkan di bawah salah satu kementerian, dan Polri seperti TNI, sebuah lembaga operasional. Operasional harus dirumuskan di tingkat menteri oleh lembaga bersifat politis, dari situ perumusan kebijakan dibuat, pertahanan oleh TNI, dan keamanan ketertiban oleh Polri," paparnya dilansir dari Antara.

Namun, usul tersebut tidak mendapat respon positif dari sejumlah anggota DPR. Anggota Komisi III DPR Habiburokhman menilai meletakkan Polri di berada di bawah kementerian akan membuat birokrasi lebih rumit.

Ferdy Sambo, kasus yang menimpanya menjadi peristiwa yang sangat mencoreng reputasi Polri. (Antara/Sigid Kurniawan)

“Pengawasan kinerja Polri sudah dilakukan oleh DPR, sehingga tidak perlu ada kementerian baru untuk menaungi kepolisian,” kata politisi Partai Gerindra tersebut.

Anggota Komisi III lainnya, Arsul Sani juga khawatir nantinya akan ada kepentingan politik bila Polri tidak berada di bawah Presiden.

“Di dalam tata pemerintahan kita, kabinet juga disusun dari berbagai partai politik dan kalangan non-partai. Ini sesuatu yang sangat strategis dan bahkan sangat sensitif,” kata politisi Partai Persatuan Pembangunan ini.

Akhirnya, sejumlah anggota DPR berharap Kapolri harus melakukan upaya mandiri untuk memperbaiki kepercayaan masyarakat. Bagaimanapun, citra kepolisian juga berdampak terhadap reputasi pemerintah.

Penguatan Presisi

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebenarnya sudah mencanangkan akan menjadikan Polri sebagai institusi Presisi, yakni: prediktif, responsibilitas, dan transparansi berkeadilan. Memiliki makna agar setiap anggota kepolisian mampu melaksanakan tugas secara cepat dan tepat, responsif, humanis, transparan, bertanggung jawab, dan berkeadilan.

Listyo Sigit pun telah berkomitmen siap melakukan langkah-langkah perbaikan dan evaluasi. Perbaikan di bidang struktural, perbaikan di bidang instrumental, dan tentunya yang paling utama adalah di bidang kultural.

Namun, sejumlah kalangan menilai itu masih sebatas slogan. Implementasinya di lapangan belum sepenuhnya terbukti. Anggota Komisi III Adies Kadir, seperti yang sudah diberitakan VOI pun tak menampik.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo meminta para anggota Polri untuk menyesuaikan diri dengan masyarakat, duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi. (VOI/Humas Polri)

“Kalau kita lihat di bawah, tingkat direktur, kapolres, seperti raja-raja kecil di daerah, kadang-kadang kita telepon saja tidak diangkat, WA (whatsapp) tidak dibalas. Perilaku-perilaku seperti ini sudah mulai memperlihatkan bahwa perilakunya sudah luar biasa seperti raja di daerah,” ungkapnya.

Tentu, prosesnya bukan perkara mudah. Sulit mengubah watak dan budaya dalam sekejap. Butuh pengawasan secara terus-menerus agar reformasi kultural berjalan sesuai harapan. Jenderal Listyo Sigit, dalam instagramnya pada Oktober 2022 mengibaratkannya sebagai proses pemurnian emas.

“Polri saat ini sedang diayak dan disaring untuk menjadi emas murni berkadar 24 karat. Kita semua harus bisa menyesuaikan dengan kondisi yang ada sehingga duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, mari kita semua bahu-membahu dalam menghadapi situasi bangsa khususnya dalam bidang Kamtibmas,” kata Kapolri menambahkan.