JAKARTA - Masyarakat Indonesia, sejak dulu, terkenal dengan keramahannya. Mudah memberikan senyuman meski dengan orang yang baru dilihatnya, selalu menjaga sopan santun, tidak individualis, dan suka menolong.
Lihat keramahan masyarakat Bali umumnya ketika bertemu para wisatawan mancanegara. Mereka tersenyum bahkan tak segan lebih dulu menyapa, meski hanya sekadar basa-basi. Menunjukkan ciri khas budaya yang penuh kesantunan.
Lalu, lihat pula sikap masyarakat ketika menanggapi musibah, seperti gempa Cianjur belum lama ini. Semua elemen berbondong-bondong menghimpun gerakan bantuan untuk meringankan korban yang mengalami bencana.
Bahkan, Muklis, pengemis yang beberapa tahun lalu sering mangkal di bawah fly over Kebayoran Lama, Jakarta Selatan saja bisa memiliki tabungan hingga Rp90 juta dari hasil mengemis. Ini bukti nyata masyarakat Indonesia memang suka menolong dan berbagi.
Namun, ciri khas tersebut luntur ketika berada di media sosial. Setiap orang kian bebas berekspresi hingga seenaknya menggurui, menghujat, menghakimi, nyinyir, bahkan sampai mencaci-maki dengan kata-kata yang tak pantas.
Meski sejak 2016 pemerintah sudah mengesahkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), kondisinya tetap saja tak berubah signifikan saat ini. Media sosial, kata ahli psikologi politik dari Universitas Indonesia, Hamdi Muluk, masih penuh dengan hujatan.
Tak heran pula bila Microsoft lewat hasil Digital Civility Index (DCI) pada 2020 pernah mengecap Indonesia sebagai negara dengan netizen paling tidak sopan dibanding negara-negara se-Asia Tenggara. Netizen Indonesia mudah membagikan berita bohong, ujaran kebencian, dan diskriminasi.
“Tentu sangat meresahkan. Perilaku masyarakat di media sosial kebablasan dan cenderung tidak beradab,” kata Hamdi kepada VOI, pada 18 Januari 2023.
Memang ada perbedaan jelas antara dunia maya dengan dunia nyata atau tatap muka. Aktivitas dunia maya di media sosial cenderung anonimitas. Setiap orang bisa menyamarkan identitasnya.
“Jadi, muncul perasaan bebas melakukan sesuatu karena tidak ada yang bisa mengecek siapa dia. Identitasnya samar, ada yang punya akun asli, akun setengah asli, akun palsu, satu orang punya lebih dari 10 akun juga bisa,” ucapnya.
Perilaku di media sosial juga cenderung tidak mengenal tanggung jawab. Semua orang bebas berargumen, bahkan tak segan menggunjing dan mencaci-maki.
“Berbeda kalau dalam dunia nyata sehari-hari. Ketika kita bertemu tatap muka langsung dengan orang lain perasaan bertanggung jawabnya lebih tinggi. Kita tidak bisa mencaci-maki orang seenaknya. Dalam arti, seseorang akan lebih tunduk dan patuh terhadap norma-norma yang berlaku dalam masyarakat,” jelasnya.
“Kalau di media sosial, semua orang mudah kehilangan empati. Makin tidak beradab,” tambah Hamdi.
Yang lebih miris lagi, perilaku masyarakat Indonesia di media sosial cenderung mudah terdoktrin. Mudah mengikuti arus, mudah menelan mentah-mentah semua informasi yang diterima, dan mudah terprovokasi.
Lihat saat ini, hanya berbeda pandangan terkait sosok Ganjar Pranowo atau Anies Baswedan saja, para pegiat media sosial sudah saling hujat. Padahal, kedua tokoh itu belum tentu menjadi calon presiden. Visi misinya pun belum jelas mau ke arah mana.
“Ada orang yang berhipotesa begini, sudahlah mungkin ini cerminan dari sumpeknya kehidupan sehari-hari. Kalau hidup sumpek orang cenderung mengungkapkannya di media sosial. Tapi, ada hipotesa lainnya, jangan-jangan seluruh kacau-balau di dunia media sosial memang sengaja dipelihara oleh segelintir orang demi tujuan politik,” kata Hamdi.
“Bila memang benar begitu adanya, kondisi Indonesia mengkhawatirkan rentan terpecah belah. Sehingga sudah menjadi keniscayaan, masyarakat perlu memperkuat literasi, termasuk literasi digital,” ujar Hamdi menambahkan.
Literasi Digital
Ini sangat penting dalam era globalisasi saat ini ketika arus informasi semakin deras dan teknologi semakin berkembang. Dengan kemampuan literasi, tingkat pemahaman seseorang dalam mengambil kesimpulan dari informasi yang diterima menjadi lebih baik. Seseorang juga akan lebih berpikir secara kritis dan tidak mudah terlalu cepat bereaksi.
BACA JUGA:
“Selain itu, kemampuan literasi juga membantu meningkatkan pengetahuan masyarakat dan membantu menumbuhkan serta mengembangkan nilai budi pekerti yang baik dalam diri seseorang,” seperti yang disarikan dari tulisan Fahri Abdullah di ruangguru.
Cara terbaik memperkuat kemampuan tersebut minimal dengan membaca. Tumbuhkanlah minat dan rutinlah membaca buku. Benar adanya pepatah yang menyebut “buku adalah jendela dunia”.
Budayakan Sejak Dini
Orangtua juga harus menyadari itu. Didiklah anak-anak dengan tradisi dan budaya literasi. Caranya kata Menteri Pendidikan, Nadiem Makarim sangat simpel.
Pertama rutin membacakan buku kepada anak-anak. Menurut dia, “Buku seperti magic. Jangan tanya saya mengapa? Karena ini memang bekerja. Kalau Anda bacain buku kepada anak secara reguler, daya tangkap literasi dia, kemampuan critical thinking dia akan meningkat.”
Lalu, ajak anak berdiskusi mengenai berbagai hal. Pada momen ini, anak umumnya akan lebih banyak bertanya. Semua pertanyaan anak adalah kesempatan mereka untuk belajar.
“Jadi, reaksi positif terhadap pertanyaan tersebut luar biasa penting,” ucap Nadiem, seperti dilansir dari channel YouTube Gita Wirjawan.
Selanjutnya, orangtua harus memberikan anak kepercayaan. Selalu meyakinkan anak bahwa dirinya mampu melakukan sesuatu hal positif.
“Ini persis sama kayak guru, enggak ada bedanya. Terus yakinkan, ‘Saya yakin kamu bisa’. Walaupun dia kesalahan atau kesandung-sandung, anak akan merasa ‘mungkin saya bisa’. Ini luar biasa, awal dari growth mindset,” Nadiem menuturkan.
Yang terpenting dari semua itu tentu adalah waktu. Nadiem mengatakan, “Enggak ada gunanya kita cinta sama anak, tetapi kita enggak pernah mau mengeluarkan sumber daya yang paling mahal untuk anak kita, yakni waktu. Terutama untuk anak usia 5-10 tahun.”