JAKARTA - Pada 2012, Lonely Planet merilis daftar negara paling ramah di dunia. Di 2018, data lain menguatkan identitas keramahan Indonesia. Memang, Indonesia dikenal sebagai negara dengan karakteristik kesopanan dan kehangatan. Namun Microsoft baru-baru ini merilis hasil survei yang menempatkan Indonesia sebagai negara paling tak sopan di dunia maya. Seperti apa benang merah dari semua ini? Mari dalami akar keramahan bangsa kita. Sisi mana yang jadi kesejatian kita?
Daftar itu dilansir dari buku Lonely Planet edisi "1000 Ultimate Experiences". Indonesia jadi salah satu negara di daftar itu. Menggambarkan keramahan Indonesia, buku itu menulis pelancong akan disambut dengan senyum lebar penduduk Indonesia di sepanjang wilayah negeri, dari Aceh sampai Papua. Keramahan itu juga dikatakan jadi faktor yang mengundang ketertarikan para pendatang.
Gambaran lebih aktual soal keramahan masyarakat Indonesia terlihat dalam survei Ease of Settling in Index yang dirilis tahun 2019. Survei itu dikerjakan oleh jaringan global untuk orang-orang yang tinggal dan bekerja di luar negeri (ekspatriat), InterNations.
InterNations menggelar polling keanggotaan terhadap 20.259 responden yang berada di lebih dari 187 negara. Survei itu secara spesifik mencari tahu negara mana yang paling hangat menyambut ekspatriat. Para responden diminta menilai beberapa faktor yang dibagi dalam empat sub kategori pada skala 1 (buruk) hingga 7 (sangat baik).
Topik polling tersebut berkisar dari keramahan penduduk setempat hingga seberapa nyaman mereka dengan budaya lokal, termasuk persoalan bahasa dan kemudahan mencari teman. Dari 64 negara, Indonesia masuk ke daftar sepuluh besar yang paling ramah di dunia.
Survei Digital Civility Index (DCI) 2020
Karakteristik masyarakat Indonesia yang ramah itu tiba-tiba terusik sebuah survei yang dilakukan Microsoft: Digital Civility Index (DCI) 2020. Dalam sistem peringkat yang mencantumkan 32 negara, Indonesia jadi salah satu negara yang warganetnya paling tak sopan dalam interaksi daring.
Secara garis besar, Indonesia menempati peringkat ke-29 dari 32 negara yang dicantumkan survei. Indonesia hanya unggul dari Meksiko (DCI 76), Rusia (DCI 80), dan Afrika Selatan (DCI 81) dalam hal kesopanan di dunia maya. Adapun negara yang dinilai paling sopan berinteraksi daring adalah Belanda.
Negeri Kincir Angin memeroleh nilai 51 persen. Setelah Belanda, negara lain yang masuk lima besar adalah Inggris (55%), Amerika Serikat (56%), Singapura (59%), dan Taiwan (61%). Dalam keterangan data, persentase yang makin rendah mencerminkan interaksi daring yang lebih baik.
Survei itu menjelaskan sistem penilaian berkisar di skala nol hingga seratus. Pada dasarnya setiap negara memulai survei dengan nilai seratus poin. Ada tiga indikator risiko yang dipaparkan Microsoft dalam penilaiannya, yakni hoaks dan scam (bertambah 13 poin), ujaran kebencian (bertambah lima poin), dan diskriminasi (berkurang dua poin).
Dari laporan DCI 2020, Microsoft menemukan tingkat kesopanan warganet Indonesia justru memburuk dari tahun sebelumnya, yang membuatnya turun delapan poin ke skor 76. Indonesia dinilai tak sopan karena tingginya aktivitas warganet dalam paparan hal-hal negatif.
Dengan kata lain, ketertarikan kita pada konten negatif yang membuat penilaian ini makin merosot. Laporan DCI, 69 persen koresponden mengatakan tindakan yang paling umum dilakukan warganet Indonesia ketika berinteraksi di dunia maya adalah membela diri dalam memberikan komentar ketika memerlakukan orang lain di jagat internet.
Yang menarik, survei ini menempatkan warganet di kelompok dewasa sebagai yang paling buruk perilaku. Sementara, kelompok remaja justru tampak lebih terdidik soal etika di internet. Remaja tak memberi kontribusi positif ataupun negatif terhadap skor kesopanan warganet Indonesia. Kemerosotan kita yang bertambah 16 poin sepenuhnya didorong oleh warganet dewasa.
"Tidak ada perubahan skor DCI untuk warganet Indonesia kalangan muda. Tapi penurunan minus 16 poin di orang-orang dewasa di Indonesia," tulis Microsoft, dikutip VOI, Jumat, 26 Februari.
DCI adalah survei tahunan Microsoft yang ditujukan “mempromosikan interaksi daring yang lebih aman, lebih sehat, dan lebih saling menghormati di antara semua orang." Dalam survei itu Microsoft menanyakan ribuan responden dari berbagai kalangan usia dan negara berbeda seuai kategori perilaku, seksual, reputasi, serta pribadi/mengganggu.
"Studi tahunan kesopanan digital ini penting untuk meningkatkan kesadaran dan mendorong interaksi positif secara daring," sebut Liz Thomas selaku Regional Digital Safety Lead, Asia-Pacific, Microsoft yang dikutip dari Mashable.
Pendiri sistem analisis jaringan sosial, Drone Emprit, Ismail Fahmi memberi pandangan soal beberapa hal dalam survei. Menurutnya, secara teknis, data yang disajikan Microsoft sejatinya mencerminkan perilaku warganet Indonesia secara utuh. Dilihat dari tiga indikator risiko yang menempatkan Indonesia di posisi bawah, kata Fahmi ketiganya memang identik dengan kebiasaan berselancar daring masyarakat Indonesia.
"Dari kriteria, itu kan bagaimana dia mengukur semua ini. Harus dari sana. Dan yang memang paling tinggi itu soal hoaks. Jadi hoaks itu kan memang luar biasa. Kemudian juga yang hatespeech dan discrimination, itu kan ada kita," katanya kepada VOI, Jumat, 26 Februari.
"Coba dibayangkan kita disuruh deskripsikan soal media sosial Indonesia, apa yang teringat? Pasti itu ada hoaks, pasti buzzer, keributan. Banyak kan tuh kalau ada ramai di Twitter, lalu netizen-nya bilang 'tandain lapak (tweet yang jadi sumber keributan) dulu nanti kembali' atau yang gitu-gitu. Itu kan citra. Pandangan pribadi, soal self-image kita ya itu," Fahmi.
"Microsoft ini bagus memvalidasi kondisi kita. Kita enggak boleh marah," tambahnya.
Temuan menarik lain adalah kelompok usia dewasa yang lebih bobrok perilaku media sosialnya ketimbang para remaja. Menurut Fahmi keterbiasaan jadi kunci. Remaja tumbuh dengan segala sentuhan pada teknologi dan interaksi internet. Sementara orang dewasa melewatkan banyak hal dalam proses pembelajaran bermasyarakat daring.
"Ini edukasi. Kalau kita lihat anak remaja itu kan berojol saja sudah ketemu smartphone, sudah ketemu komputer, sudah ketemu medsos, ketemu game. Mereka sudah terbiasa. Apalagi ada beberapa yang dalam konteks game ini mereka interaksinya internasional. Mereka belajar itu, bagaimana berkomunikasi, bagaimana mengetik kalimat, bahwa 'jangan Capslock karena Capslock adalah tanda bahwa kamu marah.' Hal-hal itu yang tidak dipahami kalangan dewasa ya," Fahmi.
Keramahan semu kita
Pernyataan Fahmi soal validitas hasil survei Microsoft terhadap kondisi nyata warganet Indonesia diperkuat dari sisi sosial. Sosiolog Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Tantan Hermansyah menjelaskan akar karakteristik sosial masyarakat Indonesia yang dikenal ramah. Menurut Tantan, keramahan masyarakat Indonesia didasari oleh motif kompromi.
Indonesia dikenal sebagai negara dengan budaya yang amat kaya. Belum lagi sub budayanya. Seluruh budaya dan sub budaya itu mendorong tumbuhnya sifat tenggang rasa dan saling menghargai yang tinggi. Kenapa? Karena budaya dan sub budaya itu harus saling menopang agar eksistensinya terjaga secara alami.
"Setiap budaya, sekecil dan sesederhana apapun, akan berinteraksi dengan budaya lain. Setiap sub budaya yang intens berinteraksi dengan budaya lainnya akan menghasilkan budaya lain yang lebih besar tingkatannya karena di dalamnya harus memerlihatkan aspek kepercayaan, penghargaan, empati, dan sebagainya," kata Tantan, dihubungi VOI, Jumat, 26 Februari.
"Dengan interaksi yang kemudian menghasilkan tenggang rasa dan saling menghargai, maka eksistensi satu sub-budaya akan memiliki potensi keberlanjutan. Tanpa kemampuan bernegosiasi dan kompromi, satu budaya akan berpeluang musnah," tambah Tantan.
Zaman berkembang. Kondisi sosial, budaya, politik, dan ekonomi mendorong pergeseran struktur bermasyarakat. Karakter Indonesia yang ramah terus bertahan, namun motif komprominya telah berubah. Bukan lagi soal bagaimana saling menjaga tapi justru bergeser ke arah yang lebih pragmatis.
"Saya punya kisah lucu, guru saya, seorang ustaz, profesor juga, alumni LN, datang diundang ceramah ke sebuah tempat. Karena beliau sangat santai, datang pakai kaos oblong, bertopi, dan training. Tidak ada yang peduli. Begitu panitia menjemput, baru semua bubar dan menghormati," Tantan.
"Lagi-lagi, konstruksi sosial dibangun bukan oleh nilai-nilai keluhuran budi lagi, tapi pramatis ... Menurut saya, keramahan penduduk Indonesia sangat termotivasi untuk mengais atau meraih keuntungan tertentu," tambahnya.
Kami ingat dua hasil survei yang kami jabarkan di awal. Keduanya mengukur keramahan masyarakat Indonesia dalam dua konteks kehidupan yang pada praktiknya memang membutuhkan motif keramahan. Survei Lonely Planet, misalnya. Survei itu mengangkat perspektif dari para pelancong atau turis asing. Survel lain, Ease of Settling in Index mengangkat ekspatriat sebagai korseponden.
"Teorinya begini, wisatawan dan ekspat butuh dilayani. Basis pelayanan adalah ramah. Orang ramah, bahkan tidak perlu bawa apa-apa, akan diterima. Penduduk lokal butuh spend of money para wisatawan. Untuk membuat mereka nyaman, ya harus dilayani. Ada simbiosa mutualisme yang kuat antar keduanya. Sebaliknya, ketika wisatawan dan ekspat terganggu karena tidak ramah, maka mereka akan sangat mudah 'kabur'," Tantan.