Bagikan:

JAKARTA – Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi sebagai terdakwa kasus pembunuhan ajudannya, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat akan menjalani sidang vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin 13 Februari 2023.

Apakah majelis hakim akan memberikan vonis hukuman sesuai dengan tuntutan jaksa? Memperberat tuntutan atau justru meringankannya?

Peneliti ASA Indonesia Institute Reza Indragiri Amriel membedahnya melalui pendekatan psikologis strategic model (SM). Ada tiga target yang bisa dicapai ketika hakim memakai SM saat memutus perkara Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.

Pertama, hakim tentu ingin menjadi hakim agung. Termasuk hakim Wahyu Iman Santoso selaku pimpinan sidang, serta Morgan Simanjuntak dan Alimin Ribut Sujono selaku anggota majelis hakim. Agar bisa mencapai posisi itu, mereka harus punya portofolio yang impresif berupa putusan emas.

“Nah, kalau majelis hakim nanti sanggup menjatuhkan hukuman maksimal terhadap Ferdy Sambo, sekiranya dia divonis bersalah, maka naskah putusan mereka itu nanti akan menjadi aset untuk bersaing ke kursi hakim agung,” kata Reza dalam pesan tertulis kepada VOI pada 12 Februari 2023.

Terdakwa Ferdy Sambo saat diperiksa di Kejaksaan Agung Jakarta pada Oktober 2022. (Arsip Kejaksaan Agung)

Kedua, keyakinan publik bahwa Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi adalah biang kerok peristiwa tersebut sudah sangat besar. Khalayak bahkan lugas ingin Ferdy Sambo dihukum mati.

Jika nantinya majelis hakim menghukum ringan Ferdy Sambo, reputasi Mahkamah Agung dalam survei di mata publik akan sangat negatif.

“Karena itulah, putusan hakim harus memuat hukuman berat bahkan terberat bagi Ferdy Sambo. Nantinya putusan dihasilkan sebagai instrumen untuk mengamankan reputasi Mahkamah Agung. Putusan tersebut sekaligus laksana penawar atas ditangkapnya hakim agung oleh KPK belum lama ini,” lanjut Reza.

Ketiga, ini adalah momen untuk memperbaiki atmosfer penegakan hukum di Indonesia yang sedang morat-marit. Ferdy Sambo kabarnya memiliki kekayaan luar biasa. Terpidana yang punya kekuatan finansial akan bisa membeli hukum dan melakukan berbagai aksi pidana dari dalam penjara.

Lewat putusannya, majelis hakim dapat berkontribusi bagi Indonesia agar lebih aman, bagi dunia penegakan hukum agar lebih bermartabat, dan bagi terdakwa agar tidak melakukan pidana kembali. Hukuman mati merupakan opsi yang tepat untuk maksud-maksud tersebut.

“Bila majelis hakim juga berpikir sampai ke sana, maka strategic model seperti itu sangat mungkin akan berujung pada penjatuhan hukuman mati bagi Ferdy Sambo. Putri pun boleh jadi begitu,” ucapnya.

Terdakwa Putri Candrawathi dalam sidang pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. (VOI/Rizky Adytia Pramana)

Yang pasti, tambah Reza, “Majelis hakim harus dijamin keamanannya. Dengan bekerja secara tenang, cakrawala pemikiran mereka akan terentang luas.”

Sebelumnya, jaksa menuntut terdakwa Ferdy Sambo hukuman penjara seumur hidup karena diyakini bersama-sama dengan terdakwa lain melakukan pembunuhan berencana terhadap Yosua dan merusak barang bukti elektronik terkait pembunuhan tersebut.

Adapun untuk terdakwa Putri, jaksa menuntut hukuman delapan tahun penjara. Putri Candrawathi dinilai jaksa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah turut serta melakukan pembunuhan berencana terhadap Yosua.

Kiranya, inilah tugas paling sulit yang akan dihadapi oleh hakim Wahyu, hakim Morgan, dan hakim Alimin. Penilaian dan keyakinan mereka lah yang akan menentukan nasib pasangan Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi.

Tugas Sulit Hakim

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai pedoman hakim tidak mengatur spesifik berat atau ringan pidana yang dijatuhkan. Hanya menentukan terdakwa dinyatakan tidak bersalah atau bersalah.

Jika pengadilan berpendapat dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas menurut Pasal 191 KUHP.

Sebaliknya, jika pengadilan berpendapat terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana, seperti yang tertera dalam Pasal 193 KUHAP. Pada tahap inilah, menurut Binsar M. Gultom, hakim akan menghadapi tugas sulit.

“Ketika unsur-unsur dakwaan jaksa terbukti, hakim harus menentukan berat-ringannya pidana. Ini tidak diatur dalam undang-undang, melainkan diserahkan sepenuhnya kepada perasaan dan keyakinan hakim,” kata Binsar dalam buku ‘Pandangan Kritis Seorang Hakim’.

Hakim memang memiliki hak prerogatif bila mengacu sistem civil law yang dianut di Indonesia. Hakim dapat menjatuhkan putusan lebih rendah, sama, atau lebih tinggi daripada tuntutan penuntut umum.

Hakim ketua Wahyu Iman Santoso menggali fakta dari terdakwa dan para saksi di sidang pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. (Tangkapan layar YouTube)

Ketua Mahkamah Agung selaku pengawas tertinggi hakim di seluruh Indonesia dan komisioner Komisi Yudisial selaku pengawas eksternal hakim saja dilarang keras mencampuri putusan hakim, seperti diatur dalam Pasal 32 ayat 5 UU No.3 Tahun 2009 tentang MA dan Pasal 20 huruf c UU No.18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial.

Sebagai figur yang disapa ‘Yang Mulia’, hakim harus memiliki moralitas tinggi. Bukan menghakimi terdakwa, melainkan mengadili terdakwa. Makna mengadili adalah mencari kebenaran materiil atau fakta yang sesungguhnya terjadi dan secara netral tanpa ada keberpihakan.

“Setiap putusan yang diucapkan oleh hakim mutlak harus dilaksanakan oleh pihak yang berperkara karena putusan hakim telah dijamin oleh UUD 1945. Sehingga, hakim tidak boleh sembarangan menjatuhkan putusan terhadap terdakwa,” imbuh Binsar.