Bagikan:

JAKARTA – Terungkapnya perjanjian utang piutang sebesar Rp50 miliar antara Sandiaga Uno dan Anies Baswedan pada Pilkada 2017, menurut pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Malang, Hutri Agustino, kian menegaskan kondisi politik di Indonesia sudah jauh bergeser dari masa era awal kemerdekaan.

Politik saat ini tak ubahnya seperti pasar yang sarat dengan transaksi. Hanya berbasis kepentingan politik sesaat, bahkan cenderung hanya sebagai alat bagi-bagi kekuasaan.

Berbeda ketika fase Pemilu 1955. Meski sama-sama multipartai, tetapi partai politik ketika itu lebih berbasis ideologi. Pilihan ideologi politik seperti pemilihan jenis kelamin.

“Mungkin kita tidak pernah mendengar ada kader partai, mutasi dari Partai Masyumi menjadi PKI misalnya. Atau dari PKI pindah ke Partai Nasionalis Indonesia Marhaen. Ketika dideklarasikan PNI, sampai mati dia akan tetap PNI,” ucap Hutri kepada VOI pada 8 Februari 2023.

Termasuk juga koalisi, partai yang punya ideologi berbeda kemungkinan kecil berkoalisi. Sehingga, koalisi yang tercipta lebih langgeng dan memiliki visi misi yang kuat.

“Kalau saat ini, fondasi koalisi partai politik sangat rapuh, hanya bersifat 5 tahunan. Misinya juga bukan ideologi melainkan kekuasaan. Lihat saja koalisi partai di pusat dan daerah ada kalanya berbeda. Partai A dan partai B di tingkat pusat misalkan beroposisi, tetapi di level kabupaten kota saling bergandengan tangan mengusung calon bupati atau wali kota yang sama,” lanjut Hutri.

Jejeran berbagai berdera partai politik yang ada di Indonesia. (Antara)

Saat mengusung calon yang sama, para elite partai cenderung rukun. Namun, lima tahun berikutnya, kata Hutri, tidak ada jaminan apapun. Semua saling membongkar terkait oposisi, koalisi, transaksi, hingga terkait pendanaan.

Pada akhirnya, tak jarang itu menjadi komoditas politik yang siap dimainkan untuk mendiskreditkan calon tertentu.

“Jadi persoalan Rp50 miliar mungkin tidak akan muncul kalau mereka tidak pecah kongsi, ini seperti fenomena gunung es. Koalisi yang ada memang sangat rapuh,” ucap Hutri.

Begitu pula kehadiran partai-partai politik baru. Alih-alih menawarkan ideologi politik alternatif, mereka justru hanya menjadikan partai politik sebagai pelampiasan sakit hati

“Jadi, betapa pragmatismenya kondisi partai politik saat ini,” ucap Hutri.

Mengancam Kedaulatan

Transaksi politik akan menjadi isapan jempol seandainya pembekalan pendidikan politik masyarakat berjalan dengan baik. Namun, realitasnya jauh dari harapan. Masyarakat yang semestinya bisa menjadi kontrol justru turut larut terbawa suasana politik praktis.

“Buktinya jelas, kita harus jujur money politics itu masih menjadi daya tarik bagi masyarakat di level grass root. Kenapa ini bisa terjadi? Karena mereka melihat para elite begitu transaksional, kemudian mereka merasa rugi bila harus vote suara tanpa ada imbalan,” tutur Hutri.

“Akhirnya seperti orang Jawa menganalogikan blangkon. Di depan lurus, di belakang ada bendolnya. Orang kampung kalau ketemu dengan calon anggota DPR, di depan baik tapi di belakang ada bisik-bisik senyap, dia berani berapa untuk membeli suara saya,” Hutri menambahkan.

Lebih miris lagi, mereka sudah menganggap perilaku itu sebagai hal yang wajar. Sehingga kepentingan partai politik dan masyarakat saling tumpang tindih, cenderung saling menghakimi dan saling melegitimasi.

Ilustrasi -  Transaksi sudah dianggap sebagai hal wajar dalam budaya politik di Indonesia yang kian miskin ideologi. (Pixabay)

Itu, menurut Hutri, merupakan permasalahan serius yang dapat menggerogoti kedaulatan negara. Bila sistem ini terus dipertahankan, negara sulit mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat.

“Hemat saya, kita harus mengenal ulang, apa saja ideologi politik yang masih ditolerir Pancasila. Nasionalis, agama, sosialis, atau ideologi lain? Kalau memang hanya itu, artinya cukup tiga partai saja. Satu partai mewakili satu ideologi, Kemudian kaderisasinya diperjelas,” tuturnya.

Jangan sampai lebih mementingkan orang dengan kekuatan kapital besar untuk duduk di posisi tertentu. Sementara, kader partai yang merintis karier dari tingkat ranting, cabang, wilayah, sampai pusat dengan hasrat mendapat rekomendasi DPP hanya bisa gigit jari.

“Banyak juga fenomena seperti itu saat ini. Seperti Erick Thohir menjadi menteri BUMN, bukan elite partai tiba-tiba merapat jadi menteri, cek saja ada kader partai yang kecewa atau tidak,” imbuh Hutri.

Perjanjian Utang Piutang

Perjanjian utang piutang sebesar Rp50 miliar antara Sandiaga Uno dan Anies Baswedan pada Pilkada DKI 2017 diungkapkan oleh Wakil Ketua Umum Partai Golongan Karya (Golkar), Erwin Aksa Mahmud di kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored pada 4 Februari 2023.

Menurut Erwin, ada dua perjanjian. Pertama terkait pembagian tugas antara Anies Baswedan sebagai Gubernur DKI Jakarta dan Sandiaga sebagai wakil. Perjanjian ini sudah dilakukan oleh Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla saat menjabat presiden dan wakil presiden.

“Kemudian saya baru tahu juga, waktu putaran pertama, logistik susah. Yang punya logistik kan Sandi, dia banyak saham, likuiditas bagus, dan sebagainya. Ada perjanjian satu lagi yang ada di lawyer. Intinya kalau enggak salah perjanjian utang piutang barangkali ya,” kata Erwin.

Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Erwin Aksa Mahmud dalam wawancara di kanal YouTube Akbar Faizal Uncensored pada 4 Februari 2023. (YouTube Akbar Faizal Uncensored)

“Jadi yang punya likuiditas kebetulan Pak Sandi, kemudian memberikan pinjaman kepada Pak Anies, karena waktu itu kan putaran pertama (Pilkada DKI), namanya juga lagi tertatih-tatih. Nilainya Rp50 miliar barangkali,” Erwin melanjutkan.

Sandiaga Uno kepada awak media pada 7 Februari lalu pun mengakui utang piutang tersebut tetapi, “Setelah saya shalat Istikharah, setelah saya menimbang konsultasi dengan keluarga, saya tidak ingin melanjutkan pembicaraan mengenai ini.”

"Saya ingin fokus pada menatap masa depan, kontestasi demokrasi tinggal sebentar lagi. Mari kita tatap masa depan dengan rasa rasa suka cita gembira dan persatuan dan kesatuan bangsa kita," sambung Sandiaga Uno seperti yang sudah diberitakan VOI.