Bagikan:

JAKARTA – Sebagai organisasi sosial kemasyarakatan berbasis Islam, jejak rekam Nahdlatul Ulama (NU) terbukti mampu memegang teguh visi kebangsaan yang kukuh. Setia dalam keberagaman dan menjunjung tinggi toleransi keagamaan.

Sehingga, tak berlebihan bila menganggap NU merupakan kekayaan bangsa yang tak ternilai. NU, menurut Romo Benny Susetyo, juga pantas disebut pilar Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Cita-cita NU menjadikan Indonesia sebagai rumah bersama membuat kalangan minoritas merasa nyaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sekaligus bekerja sama,” ujar Romo Benny dalam buku ‘NU Penjaga NKRI’.

Namun kini, tantangan semakin besar. Beragam permasalahan terus menggelayuti bangsa, mulai dari kemiskinan, pengangguran, hingga mengguritanya korupsi. Belum lagi isu-isu seperti radikalisme agama, terorisme, dan melebarnya intoleransi.

Tentu itu ancaman serius bagi eksistensi NKRI. Terlebih, bila melihat kondisi masyarakat Indonesia yang lemah secara literasi, lemah dalam ekonomi, politik, dan sosial budaya. Mereka mudah menjadi sasaran empuk propaganda yang antidemokrasi dan anti keberagaman.

Presiden Joko Widodo menghadiri resepsi puncak satu abad Nahdlatul Ulama (NU) di Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur pada 7 Februari 2023. (BPMI Setpres/Muchlis Jr)

Ancaman akan lebih berbahaya apabila jejaring ideologi yang antipancasila ini memiliki hubungan ideologis dengan kelompok-kelompok radikal yang tampaknya mulai berkembang subur setelah era keterbukaan media sosial.

“Di sinilah peran NU sebagai salah satu komponen moderat Islam sangat diperlukan di barisan depan. NU memiliki kemampuan menggelar soft power dalam rangka membangun wacana tandingan dan dalam kiprah melakukan deradikalisasi,” tutur Romo Benny.

Kiprah NU telah memberikan banyak bentuk penyebaran gagasan dan pemikiran moderat berupa penjelasan dan pelatihan seputar pemahaman Islam yang menekankan prinsip-prinsip toleransi, keadilan, dan peningkatan kesadaran kebangsaan. Juga, memberikan aksi-aksi advokasi nyata di tengah masyarakat, utamanya bagi kelompok minoritas.

Begitu pula dalam pemberantasan korupsi, pemberantasan kemiskinan, pengembangan ekonomi kerakyatan, peningkatan kualitas SDM, dan sebagainya yang pada hakikatnya dapat mewujudkan gagasan Islam sebagai rahmat untuk semesta alam.

“Kita berharap NU mampu memainkan perannya menjadi kekuatan penyeimbang antara poros agama dan pasar. Peran penyeimbang ini signifikan untuk menghindari semakin meruncingnya kutub fundamentalisme agama dan fundamentalisme pasar, yang mana keduanya merupakan ancaman serius bagi keberlangsungan NKRI,” imbuhnya.

Pesan Presiden Jokowi

Presiden Joko Widodo (Jokowi) meyakini memasuki abad kedua, NU akan tumbuh makin kokoh dan mampu memberikan contoh hidup yang sesuai dengan adab-adab Islam di masyarakat.

“Menjunjung akhlakul karimah dan adat ketimuran, tata krama, unggah-ungguh, etika, adab, dan menjaga toleransi, menjaga persatuan, dan menjaga kegotong royongan, serta terus mengikuti perkembangan zaman,” ucap Presiden dalam sambutannya pada resepsi puncak satu abad Nahdlatul Ulama di Gelora Delta Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur pada 7 Februari 2023.

Lambang Nahdlatul Ulama. (Wikimedia Commons)

Sebagai organisasi Islam terbesar di dunia, Jokowi juga optimistis NU laik berkontribusi bagi masyarakat internasional dengan turut aktif membangun peradaban dunia yang lebih baik dan lebih mulia.

“Saya juga berharap agar NU merangkul dan memberi perhatian serius kepada generasi muda agar tetap mengakar kuat kepada tradisi dan adab ahlussunnah wal jamaah dan terus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,” ucap Presiden Jokowi.

Awal Mula NU

NU didirikan pada 16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 di Kota Surabaya. Melansir NU Online, Embrio lahirnya NU berangkat dari sejarah pembentukan Komite Hijaz, komite yang akan dikirim ke Muktamar Dunia Islam di Mekkah, Arab Saudi untuk membahas persoalan Dinasti Saud.

Ketika itu, Raja Abdulaziz bin Abdul Rahman Al Saud ingin menerapkan kebijakan hanya menerapkan Wahabi sebagai mazhab resmi kerajaan. Raja juga sempat mengutarakan keinginanannya untuk memindahkan makam Nabi Muhammad SAW.

Bagi ulama pesantren di sejumlah negara, sentimen antimazhab yang cenderung puritan dengan berupaya memberangus tradisi dan budaya yang berkembang di dunia Islam menjadi ancaman bagi kemajuan peradaban Islam itu sendiri.

Pendiri Nahdlatul Ulama, Kyai Hasyim Asya'ari (duduk kanan) bersama Bung Karno menjelang Proklamasi Kemerdekaan RI 1945. (Facebook IPPNU Balikpapan)

Komite Hijaz mengundang ulama terkemuka untuk mengadakan pembicaraan mengenai utusan yang akan dikirim ke Muktamar di Mekkah. Para ulama dipimpin KH Hasyim Asy’ari datang ke Kertopaten, Surabaya dan sepakat menunjuk KH Raden Asnawi Kudus sebagai delegasi Komite Hijaz.

Namun setelah KH Raden Asnawi terpilih, timbul pertanyaan siapa atau institusi apa yang berhak mengirim Kiai Asnawi? Maka lahirlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama.

Sejarah itu juga membuktikan, NU lahir tidak hanya untuk merespon kondisi rakyat yang sedang terjajah, problem keagamaan, dan problem sosial di Tanah Air, tetapi juga turut berkontribusi dalam kemajuan peradaban Islam secara global.