JAKARTA – Sekretaris Jenderal Perkumpulan Dokter Seluruh Indonesia (PDSI), dr. Erfen Gustiawan Suwangto terus mendorong pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan dan DPR RI merevisi aturan terkait kewenangan organisasi profesi kedokteran.
Erfen menilai wewenang Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sebagai organisasi profesi terlalu powerfull dan sangat rentan terjadi penyalahgunaan. Misalnya saja terkait sertifikat kompetensi, surat tanda registrasi, dan rekomendasi izin praktik dokter.
“Semua harus lewat IDI, mengapa tidak langsung di bawah Kementerian Kesehatan melalui konsil kedokteran. Contoh sertifikat uji kompetensi, cukup sertifikat ujian dari negara saja yang berlaku, tidak perlu lagi ada pengakuan kompetensi dari IDI. Toh, soal ujian kompetensi negara dibuat oleh para dosen kedokteran dan sudah standar dengan punya Singapura,” tutur Erfen kepada VOI pada 2 Februari 2023.
Begitu juga surat registrasi dan rekomendasi izin praktik dokter. Erfen pun meminta tetap dilakukan oleh kolegium dokter, baik umum maupun spesialis, tetapi di bawah kewenangan Kementerian Kesehatan. Sebab, IDI hanya organisasi profesi, bukan lembaga negara.
“Sehingga mengontrolnya sulit. Rentan terjadi setoran atau praktik jual-beli dalam mengurus itu semua. Apalagi, standar besaran biayanya tidak jelas. Bahkan, ada yang curhat sampai belasan juta rupiah untuk rekomendasi. Miris, kalau anggota yang banyak duit, mungkin tidak masalah. Tapi kalau mereka yang baru lulus, jangankan belasan juta, jutaan saja mereka merasa berat. Mau komplain tapi gak berani, jadinya susah,” papar Erfen.
“KPK saja sulit turun tangan kalau tidak ada anggota yang melaporkan. Kecuali IDI lembaga negara. Aturan kewenangan ini yang kita mau direvisi. Kalau cuma organisasi profesi ya sama kaya PDSI, enggak perlu neko-neko. Serahkan saja wewenangnya kepada Kemenkes,” Erfen melanjutkan.
Organisasi profesi kedokteran di Amerika dan Inggris juga tidak memiliki wewenang untuk menentukan dokter punya surat izin praktik atau tidak. Mereka justru menjadi wadah perjuangan untuk keadilan dan kesejahteraan para dokter.
“Seharusnya seperti itu, mereka berjuang kalau dokter digaji rendah, dokter digugat malpraktek mereka membela dengan menyediakan bantuan hukum atau pakai asuransi untuk ganti rugi. Bikin usaha bareng biar bisa sama-sama makmur. Jadi, fokus ke hal seperti itu saja,” ucapnya.
Anggota DPR RI Komisi IX Irma Suryani Chaniago pun menginginkan IDI hanya menjadi organisasi profesi seperti yang lainnya. Di RUU Omnibus Law Kesehatan, kewenangan mereka sudah dipreteli karena sangat menyusahkan anggota dan negara.
Indonesia butuh banyak dokter spesialis dan dokter umum, selama ini fakultas kedokteran kita sangat terbatas, sehingga sekolah kedokteran jadi sangat mahal. Belum lagi izin praktek dokter yang sangat sulit dengan berbagai macam alasan yang tidak jelas, bersifat feodal.
“Sehingga, sangat benar bila kewenangan IDI disesuaikan seperti organisasi lain. Semua dialihkan ke pemerintah yang atur, pemerintah kan regulator. Organisasi profesi itu fungsinya lebih kepada kontrol untuk memperjuangkan kebutuhan anggota, bukan malah menghambat dan bikin regulasi sendiri,” kata Irma kepada VOI pada 3 Februari 2023.
“Tetapi jika mereka ngotot tidak mau disesuaikan, sekalian saja dikeluarkan dan dijadikan organisasi profesi biasa, yang konsekuensinya tentu organisasi ini boleh ada lebih dari satu,” tambahnya.
VOI pada 3 Februari 2023 berupaya mengonfirmasi langsung kepada IDI terkait isu tersebut. Namun hingga pukul 18.00 WIB, pihak IDI belum mau memberikan tanggapan.
“Belum ada tanggapan,” kata Humas Eksternal IDI, Elizabeth.
Terstruktur dan Transparan
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin juga menginginkan proses pemberian rekomendasi izin praktik dilakukan berdasarkan sistem yang terstruktur dan transparan. Ini dilakukan untuk menghindari penyalahgunaan wewenang.
Budi tak menampik sudah ada laporan dari banyak dokter masuk ke mejanya terkait praktik-praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme. Ada dokter spesialis mengeluhkan sulit mendapat izin praktik di suatu daerah karena berbagai alasan. Mulai dari harus menyerahkan setoran dan lainnya.
"Beberapa teman merasa sulit masuk rekomendasi kalau misalnya saingan dengan anaknya si pemberi rekomendasi di sana," katanya dalam tayangan YouTube webinar bertajuk 'Polemik Kewenangan Rekomendasi Izin Praktik Dokter' di YouTube Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Riau, seperti yang sudah diberitakan VOI pada 30 Januari lalu.
Para pelaku berpesan agar tutup mulut. Sementara, korbannya juga tidak berani berbuat apa-apa karena khawatir terhadap kariernya.
“Jadi kayak kentut, bau tapi enggak tahu siapa," kata Budi
Bila menerapkan sistem yang terstruktur dan transparan, hal-hal semacam itu bisa diminimalisasi, pengawasannya akan lebih mudah. Budi menyarankan rekomendasi bisa diterbitkan oleh organisasi kedokteran di daerah.
"Misalnya IDI Riau boleh secara transparan bikin mekanisme, dokter yang enggak etis tuh seperti apa. Ada komite etik, kompetensinya. Kalau dia tidak lolos, masukkan saja ke blacklist. Nanti saya bilang ke semua, pemerintah pusat, daerah, orang yang masuk di blacklist IDI Riau tidak boleh praktik," kata Budi.
Sementara yang lolos, tak perlu lagi mengurusi izin praktik. Ini, menurut Budi, “Menghindari abuse of power, negosiasi satu per satu non-sistem, under the table, nobody knows karena adanya pemberian rekomendasi yang sifatnya transaksional.”
Erfen berharap semua permasalahan tersebut dapat terselesaikan dengan baik. Sehingga, dunia kedokteran Indonesia dapat lebih berkembang ke depannya.
“Mumpung Pak Budi yang menjadi menteri. Dia bukan dokter, jadi tidak ada konflik kepentingan dan bisa lebih bebas bergerak. Intinya, kami berharap bisa lebih baik,” kata Erfen Gustiawan Suwangto menandaskan.