Pengentasan Kemiskinan Tak Cukup Hanya dengan Jaminan Sosial
Petugas gabungan Satpol PP dan Sudinsos Jakpus menertibkan manusia gerobak di kawasan Menteng Jakarta Pusat pada April 2022. (VOI/Rizky Sulistio)

Bagikan:

JAKARTA – Memberikan bantuan jaminan pendidikan dan jaminan sosial untuk warga miskin merupakan langkah yang baik. Namun menurut Koordinator Advokasi Urban Poor Consortium, Gugun Muhammad ini belum cukup sebagai upaya mengentaskan kemiskinan.

Sebab, akar masalah kemiskinan ada di struktural. Bukan soal akses terhadap pendidikan dan kesehatan, melainkan terkait ketimpangan penguasaan sumber daya. Sehingga, bila memang ingin mengangkat taraf hidup masyarakat miskin, pemerintah mesti melakukan redistribusi sumber daya dengan menyesuaikan kebutuhan masyarakat setempat.

“Semisal petani miskin di desa. Kesehatan dijamin, tapi dia tidak punya lahan untuk produksi karena lahan yang ada telah dikuasai perusahaan. Pada akhirnya, dia hanya bekerja sebagai buruh tani dengan upah harian kecil. Tidak akan lepas juga dari kemiskinan,” kata Gugun kepada VOI pada 6 Februari 2023.

Begitu pula masyarakat miskin di kota seperti Jakarta. Mereka memang mendapat bantuan lewat Kartu Jakarta Pintar (KJP), operasi pasar murah, bahkan kesehatan mereka terjamin. Namun tanpa adanya tempat tinggal yang laik, kondisi mereka tetap akan sama.

“Rumah digusur jadi mal, mau dagang di pinggir jalan sulit. Hilang semua alat produksinya, ujung-ujungnya tetap miskin juga. Belum lagi, masyarakat yang tinggal di area abu-abu. Kondisinya lebih miris lagi, anggaran bantuan negara dan CSR perusahaan sulit masuk,” katanya.

Kawasan pemukiman padat penduduk, Petamburan, Jakarta pada 2020. (Antara/M Agung Rajasa)

“Jadi, saya pikir yang kartu-kartu dan jaminan sosial itu baik, tetapi hanya sebagai pengaman. Kalau ini dianggap sebagai upaya pengentasan kemiskinan saya kira tidak cukup,” Gugun menambahkan.

Redistribusi sumber daya merupakan hal mutlak. Jangan seluruhnya dikuasai perusahaan.  Setelah itu barulah berlanjut ke pelatihan kerja, bersamaan juga dengan pemberian akses permodalan.

Namun kata Gugun akses permodalan hanya untuk kelompok, bukan individu. Sehingga nantinya mereka bisa berkolaborasi bukan berkompetisi.

“Dana pengentasan kemiskinan sebesar Rp500 triliun seharusnya menyasar ke hal-hal tersebut, jangan lagi bantuan dalam bentuk karitatif yang hanya satu kali belanja selesai. Jangan pula melulu untuk belanja pegawai, rapat, studi banding, perjalanan dinas. Porsi yang turun ke masyarakat harus lebih besar, sehingga lebih terasa dampaknya,” tuturnya.

Lalu terkait panti sosial. Ini lanjut Gugun, juga harus mendapat pembenahan. Kondisi panti sosial yang ada saat ini tak ubahnya seperti penjara. Tidak ada pengamen, pengemis, atau manusia gerobak yang mau masuk ke panti sosial karena kehidupan mereka akan lebih terkekang di dalam panti.

Jaminan pendidikan, kesehatan, maupun bantuan langsung tunai hanya sebagai pengaman. Belum cukup bila dianggap upaya untuk mengentaskan kemiskinan. (Antara/Raisan Al Farisi)

“Saya pernah beberapa kali menangani orang di panti sosial. Kehidupannya sama seperti di penjara, ada jadwal bikin kerajinan, jadwal belajar masak, tetapi mereka tidak bisa bebas memilih. Sulit cari penghasilan di dalam panti. Kalau mau cepat keluar, mereka harus nebus,” ucap Gugun.

“Silakan cek langsung, saya tidak mengada-ada. Makanya pemulung atau manusia gerobak di Jakarta, mereka keluar lewat tengah malam biar tidak ketangkep Satpol PP,” ujar Gugun meyakinkan.

Itulah mengapa, bila panti sosial ingin menjadi wadah untuk menanggulangi kemiskinan, format panti sosial harus diubah 100 persen. Format, menurut Gugun, bisa mengadopsi konsep balai latihan kerja.

“Orang datang dengan sukarela, tidak harus menetap. Mereka juga bisa memilih keahlian apa yang cocok untuk dirinya,” ujarnya.

Reformasi Birokrasi Tematik

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar Anas mengakui, program pengentasan kemiskinan yang saat ini berjalan belum berdampak optimal terhadap masyarakat miskin.

Masih ada instansi di sejumlah daerah yang justru menghabiskan dana pengentasan kemiskinan tidak tepat sasaran. Semisal untuk perjalanan dinas, rapat, seminar, dan studi banding.

“Contoh tujuannya pelestarian sungai, tetapi kegiatan di daerah adalah seminar soal revitalisasi sungai. Bukan berarti seminar tidak penting, tetapi alangkah baiknya digunakan untuk hal yang konkret, semisal membeli bibit pohon untuk ditanam di daerah sekitar sungai atau hal lain,” terang Azwar Anas seperti dilansir dari laman resmi Kementerian PANRB.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB), Abdullah Azwar Anas (kanan). (Antara)

Mengatasi itu, Azwar Anas sudah menyiapkan program reformasi birokrasi tematik pengentasan kemiskinan sebagai dukungan penguatan tata kelola birokrasi.

Program itu mengurai aspek tata kelola pengentasan kemiskinan melalui perbaikan proses bisnis, perbaikan data, perbaikan regulasi/kebijakan, reformulasi program/kegiatan sehingga lebih tepat sasaran. Juga penyediaan dukungan IT melalui Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik/SPBE, dan sebagainya. 

Sehingga nantinya, anggaran perjalanan dinas dapat ditekan. Semua, kata Azwar Ana, via online.

“Pemda-Pemda tidak perlu ke Jakarta. Lebih baik anggarannya dialihkan menambah alokasi pemberdayaan yang langsung berdampak ke masyarakat,” kata Menteri yang pernah menjadi Bupati Banyuwangi itu.

“Target kami angka kemiskinan bisa turun mencapai 7 persen pada 2024. Data BPS per September 2022, kemiskinan Indonesia sebesar 9,57 persen. Artinya, dalam dua tahun ke depan minimal kita harus turunkan kemiskinan kira-kira 1,2 persen per tahun. Ini tugas yang tidak ringan,” Azwar Anas menandaskan.

Redistribusi sumber daya merupakan hal mutlak untuk mengentaskan kemiskinan, jangan seluruhnya dikuasai perusahaan. (Antara/Ali Khumaini)

Selain langkah-langkah tersebut, menurut Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio, hal paling utama dalam mengentaskan kemiskinan adalah merevolusi mental.

“Selama kita masih punya mental perusak, hasilnya tidak akan signifikan. Mental kita kan makelar, mental nyuri. Jatah untuk orang miskin saja dikerjain, kitab suci juga dibohongi, jadi tidak efektif,” kata Agus kepada VOI pada 6 Februari 2023.